Jika kekasihmu mengatakan bahwa cinta sejati ada dalam dirinya
untukmu, maka ia sudah melakukan kebohongan besar, karena yang ada hanya
nafsu belaka. Kasih sayang orang tua terhadap anaknya, itulah makna
cinta sejati sebenar-benarnya.
Jika kamu menginginkan sesuatu yang belum pernah kamu miliki, maka lakukanlah sesuatu yang belum pernah kamu lakukan.
Jangan pernah bermimpi akan memetik buah durian jika yang kamu tanam adalah buah rambutan
Tujuan tanpa tindakan adalah khayalan, tindakan tanpa tujuan adalah mimpi buruk
Jangan mengharapkan kebaikan dari orang lain jika kamu tak memberikan kebaikan kepadanya terlebih dahulu
Tidak akan ada reaksi tanpa aksi, tak akan ada aksi tanpa rencana, dan tak akan ada rencana tanpa motivasi
Cara memulai adalah berhenti berbicara dan mulai mengerjakan
Semua yang sudah terjadi adalah pengalaman berarti, tak usah disesali, terutama kejadian yang melukai hati
Jangan terlalu senang mengumbar sedihmu, karena orang lain lebih senang melihat bahagiamu.
Perjalanan hidup itu seperti sebuah kapal, tentukan arah tujuan karena kamu adalah nahkodanya.
Jangan terlalu khawatir kamu tidak menemukan seseorang yang tepat, tapi
khawatirlah jika kamu tidak bisa menjadi seseorang yang tepat.
Ketika merasa kesepian atau kecewa pada orang, jangan mencoba untuk
mengubah mereka. Cobalah mengubah pandangan Anda untuk ikhlas menerima.
Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang
paling kalian kasihi darinya mungkin akan lebih nyata dari kejauhan
seperti gunung yang tampak lebih indah terlihat dari padang dan dataran.
Nilai dari seseorang itu ditentukan dari keberaniannya memikul tanggung jawab, mencintai hidup dan pekerjaannya.
Kerja adalah wujud nyata cinta, bila tidak dapat bekerja dengan
kecintaan, lebih baik tinggalkan pekerjaan itu dan duduklah di gerbang
rumah ibadah dan terimalah sedekah dari dari mereka yang bekerja dengan
penuh suka cita.
Tidak ada sahabat sejati, yang ada hanya kepentingan.
Rumahmu tak akan enjadi sebuah sangkar, melainkan tiang utama sebuah kapal layar.
Inspirasi akan selalu bernyanyi, karena inspirasi tidak akan pernah menjelaskan.
Jika kamu tidak memamahi sahabatmu dalam semua keadaan, maka kamu tidak akan pernah memahaminya sampai kapanpun.
Kebijaksanaan tidak lagi merupakan kebijaksanaan apabila ia menjadi
terlalu angkuh untuk menangis, terlalu serius untuk tertawa dan terlalu
egois untuk melihat yang lain kecuali dirinya sendiri.
Jika didunia ini ada dua orang yang sama, maka dunia tidak akan cukup besar untuk menampung mereka.
Kita tidak akan mencapai kesuksesan dan keberhasilan seorang diri, hargai keberadaan orang lain yang mendukung keberhasilanmu
Cari
-----------------------------
Kamis, 05 April 2012
Selasa, 03 April 2012
Cara Bikin Animasi Lucu di Facebook
[[244961858909298]] = A
[[344113652270150]] = B
[[157919817645224]] = C
[[164461493653696]] = D
[[196752423751220]] = E
[[301630573215430]] = F
[[251496118250464]] = G
[[266394220086654]] = H
[[164866556948132]] = I
[[180599335371968]] = J
[[209067005843651]] = K
[[238594039545396]] = L
[[147702285338528]] = M
[[309221402452022]] = N
[[180901405340714]] = O
[[246506925416551]] = P
[[333343613344059]] = Q
[[123128367803569]] = R
[[316143388416019]] = S
[[334073456605673]] = T
[[199626093460643]] = U
[[224202614323263]] = V
[[157919817645224]] = W
[[205228226232732]] = X
[[142420399202282]] = Y
[[224202614323263]] = Z
[[252346194801306]] = RUMAH
[[266313623412267]] = PINGWIN LINUX
[[191560730921873]] = LOGO GOOGLE CHROME
... [[182809565135565]] = LOGO GOOGLE ++
[[242070735843795]] = LOGO SNAPTU
[[266910496686186]] = LOGO WINDOWS
[[258958334142268]] = LOGO ANDROID
[[249199828481201]] - Konata Izumi
[[250128751720149]] - Domo Kun
... [[223328504409723]] - Gintoki Sakata
[[236147243124900]] - Pokeball
... [[155393057897143]] - Doraemon
[[224502284290679]] - Nobita
[[144685078974802]] - Mojacko
[[334954663181745]] - Spongebob
[[196431117116365]] - Shin chan
[[138529122927104]] - Pedo Bear
[[269153023141273]] - Poring
[[332936966718584]] - Hello Kitty
[[252497564817075]] - Kerokeroppi
[[297354436976262]] - Santa Claus
[[157680577671754]] - Angry Bird
[[zuck]]
[[243344945733611]] = Repost
[[mahochat]] = Maho
[[203443053077888]] = I Love Kaskus
[[205827876172490]] = Bingung
... [[261018420628968]] = Thumbs
[[328740787138287]] = Nope
[[296027833771776]] = Capede
[[311851138846391]] = Alay
[[guengakak]] = Ngakak
[[171108522930776]] = trollface
[[foreveralonecomics]] = forever alone.
[[MegustaMeMe]] = Me Gusta.
[[149333368464171]] = Yao.
[[145768898802324]] = FUUUUUU.
[[168456309878025]] = LoL.
[[FapFapFapFap.B]] = Fap Fap Fap Fap.
[[106043532814443]] = Y U NO.
[[214457085240151]] = Nothing to do here.
[[129627277060203]] = Poker Face.
[[160723207280093]] = Are you f*cking kidding me?
[[ChallengeAceptado]] = challenge Accepted.See More.
[[yahoo]]
[[google]]
[[facebook]]
[[kaskus]]
[[amazon]]
[[youtube]]
[[googlechrome]]
[[opera]]
[[internetexplorer]]
[[flock]]
[[microsoft]]
[[microsoftword]]
[[microsoftexcel]]
[[microsoftpowerpoint]]
[[megaxus]]
[[grandchase]]
[[indovision]]
[[history]]
[[sony]]
[[nokia]]
[[telkomsel]]
[[windows]]
[[transformer]]
[[itones]]
[[photosop]]
[[126134560731830]] - hoam Ngantuk Rek
[[126386227373330]] - ketiduran
... [[391418139674]] - Nenek Sihir
[[110563818986950]] - wew
[[110566395653359]] - cat licking screen
http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=312309238812552
[[344113652270150]] = B
[[157919817645224]] = C
[[164461493653696]] = D
[[196752423751220]] = E
[[301630573215430]] = F
[[251496118250464]] = G
[[266394220086654]] = H
[[164866556948132]] = I
[[180599335371968]] = J
[[209067005843651]] = K
[[238594039545396]] = L
[[147702285338528]] = M
[[309221402452022]] = N
[[180901405340714]] = O
[[246506925416551]] = P
[[333343613344059]] = Q
[[123128367803569]] = R
[[316143388416019]] = S
[[334073456605673]] = T
[[199626093460643]] = U
[[224202614323263]] = V
[[157919817645224]] = W
[[205228226232732]] = X
[[142420399202282]] = Y
[[224202614323263]] = Z
[[252346194801306]] = RUMAH
[[266313623412267]] = PINGWIN LINUX
[[191560730921873]] = LOGO GOOGLE CHROME
... [[182809565135565]] = LOGO GOOGLE ++
[[242070735843795]] = LOGO SNAPTU
[[266910496686186]] = LOGO WINDOWS
[[258958334142268]] = LOGO ANDROID
[[249199828481201]] - Konata Izumi
[[250128751720149]] - Domo Kun
... [[223328504409723]] - Gintoki Sakata
[[236147243124900]] - Pokeball
... [[155393057897143]] - Doraemon
[[224502284290679]] - Nobita
[[144685078974802]] - Mojacko
[[334954663181745]] - Spongebob
[[196431117116365]] - Shin chan
[[138529122927104]] - Pedo Bear
[[269153023141273]] - Poring
[[332936966718584]] - Hello Kitty
[[252497564817075]] - Kerokeroppi
[[297354436976262]] - Santa Claus
[[157680577671754]] - Angry Bird
[[zuck]]
[[243344945733611]] = Repost
[[mahochat]] = Maho
[[203443053077888]] = I Love Kaskus
[[205827876172490]] = Bingung
... [[261018420628968]] = Thumbs
[[328740787138287]] = Nope
[[296027833771776]] = Capede
[[311851138846391]] = Alay
[[guengakak]] = Ngakak
[[171108522930776]] = trollface
[[foreveralonecomics]] = forever alone.
[[MegustaMeMe]] = Me Gusta.
[[149333368464171]] = Yao.
[[145768898802324]] = FUUUUUU.
[[168456309878025]] = LoL.
[[FapFapFapFap.B]] = Fap Fap Fap Fap.
[[106043532814443]] = Y U NO.
[[214457085240151]] = Nothing to do here.
[[129627277060203]] = Poker Face.
[[160723207280093]] = Are you f*cking kidding me?
[[ChallengeAceptado]] = challenge Accepted.See More.
[[yahoo]]
[[google]]
[[facebook]]
[[kaskus]]
[[amazon]]
[[youtube]]
[[googlechrome]]
[[opera]]
[[internetexplorer]]
[[flock]]
[[microsoft]]
[[microsoftword]]
[[microsoftexcel]]
[[microsoftpowerpoint]]
[[megaxus]]
[[grandchase]]
[[indovision]]
[[history]]
[[sony]]
[[nokia]]
[[telkomsel]]
[[windows]]
[[transformer]]
[[itones]]
[[photosop]]
[[126134560731830]] - hoam Ngantuk Rek
[[126386227373330]] - ketiduran
... [[391418139674]] - Nenek Sihir
[[110563818986950]] - wew
[[110566395653359]] - cat licking screen
http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=312309238812552
Senin, 02 April 2012
Novel Puing Kanaya Karya : Widiya Sulistya art-II
Percikan Gerimis di Masjid Al-Muttaqin
Part. 2
“Diego
Waktu
telah menunjukkan pukul sembilan pagi, huh… sudah waktunya aku bangun. Tapi
kepalaku masih berat. Mataku memutar melihat kesekeliling kamar. Tempat tidurku
cukup luas, sprei ungu tampak miring, tiga bantal acak tak karuan. Beralih ke
monitor komputerku yang masih berkedip-kedip. Musik di tepe recorderkutak
berbunyi hanya suara ngerr yang merusak pendengaran saja. Poster-poster yang menurutku keren terpampang tak
tertata, buku dan majalah entah berserakan dimana-mana. Botol alcohol juga
terpajang di meja belajarku tercampur dengan kaset-kaset gila yang pasti
menumbuhkan birahiku. Buku-buku pelajaran, ah entah mereka ada di mana. Dan
satu lagi logo bintang merah menyala gagah di dinding kamarku.
Kamarku
layaknya kapal pecah saja, semalam aku pesta dengan kawan-kawan gilaku. Mereka
mabok di sini dan entah sekarang sudah kabur kemana, palingan juga di usir om
Han.
Dug
dug dug ….
Pintuku
terdengar digedor seseorang, aku yakin itu om Han yang akan memarahiku. Ada-ada saja, di matanya aku memang selalu
salah. Pintu kamarku terbuka dengan paksa.
“Anak macam apa kau! Tak tahu sekarang jam
berapa? Mau jadi apa kau
nanti, hah?! Cepat bangun!!!” suaranya menggema menggetarkan seluruh dinding
kamarku.
Aku
bangun tanpa ekspresi, kesal aku dengan om Han, yah mungkin niatnya baik, tapi
aku malas kuliah….
Meskipun malas, akhirnya aku menuju kamar
mandi juga, membersihkan diri lalu sarapan sendirian di meja makan, om Han dan
Isterinya palingan sudah sejak tadi dan mereka pasti langsung berangkat kerja, Om
Han akan pulang larut malam, benar-benar pekerja handal. Dan Tante Ulli paling
nanti sore pulang, ia guru di sekolah dasar.
Bi
Hani datang menemuiku,
“Ini susu cokelatnya, Den,” ucapnya seakan aku
masih menjadi anak balita yang sejak
dulu ia asuh.
“Makasih Bi,” jawabku sopan, mungkin Bi
Hani yang benar-benar mengasihiku, kadang aku berpikir aku tuh anak siapa… Om
Han menikah dengan Tante Ulli, aku sudah kuliah, sebenarnya mereka baik tapi
tetap saja, Tante Ulli bagiku terlalu perfect, jadi aku yang jelek begini malas
bicara dengan dia. Sedangkan
Om Han, dia tegas, sejak ayahku dipenjara Om Han semakin memperlakukanku
terlalu tegas, aku sebal dengannya. Sempat beberapa kali logo bintang merahku
dilepas, mungkin juga gara-gara Tante Ulli yang mengecek kamarku, sampai aku
marah-marah dan ia tak berani lagi melepas logo itu.
Aku berjalan santai keluar rumah, kaos
hitam dan celana borju ini sudah begitu kental dengan gayaku, apalagi dipadu
tiga anting di telinga kiriku. Rokok ditanganku belum kuhisap masih mengepul di
tangan.
“Go! Ego!” seru seorang wanita saat aku
hampir melangkahkan kakiku melewati gerbang.
“Kamu sudah sarapan sayang? Minum susu?
Hei, rambutmu acak-acakan, sini mama sisirkan, bajumu, coba deh kau ganti
dengan baju yang lebih bagus, bilang sama Bi Rasti untuk menyiapkan pakaianmu,
hati-hati ya Nak, kalau sudah sampai telfon mama ya, ehm.. kalau kau malas
jalan kaki biar Mang Udin mengantarmu,” katannya bertubi-tubi.
Hehm… aku cuma mendengus pelan saat ia
menciumi pipiku.
“Hati-hati ya sayang,” ujarnya seraya
melambaikan tangannya
Seperti melepas anaknya yang baru masuk sekolah
dasar.
Hah… dia memang begitu…
All crazy life,
Around of me
And I don’t know,
Maybe someday will change….
In spite of hopping just silent in me
Sampai juga aku di Kampus.
Sepertinya aku terlambat, cewek
tomboy yang biasanya menungguku di gerbang sudah tak ada, barang kali saja dia
sudah masuk kelas. Dan aku terlambat, Huh.. peduli amat…
Kumasuki
ruang kelas ini dengan tidak peduli padahal sudah ada dosen yang duduk ceramah.
Rokok masih mengepul di tanganku dan aku tetap dengan ketidakpedulianku.
Seorang malaikat menatapku dengan mata tajam yang suci, sejenak aku melirik
matanya yang indah itu, hah… jika aku punya kesempatan bersanding dengannya
betapa beruntungnya aku… tapi, tidak. Ia terlalu suci untuk bersanding dengan
bajingan macam aku.
Aku duduk di samping cewek tomboy
yang langsung menyuruhku mematikan rokokku. Aku segera menurutinya dan duduk mendengarkan ceramah Inggris yang
menurutku tak penting.
“Lu
terlambat setengah jam bodoh!” seru Zie, cewek tomboy yang sangat dekat
denganku. Setelah kuliah selesai.
“Biasa,
ada Ibu yang gila gara-gara suaminya dipenjara, tadi dia memanjakan anaknya
gitu,” jawabku langsung.
“Dasar
lu, memangnya dia nggak terapi lagi?”
“Sudah
terapi kemana-mana juga tetap saja, sepertinya dia hanya pura-pura gila dari
pada malu pada tetangga.”
“Ah
sudahlah, tak usah menjelek-jelekkan ibumu terus, oya ini paper tugas individu
yang kemarin, aku yakin lu belum mengerjakannya kan padahal hari ini harus
segera dikumpulkan.”
“Thanks,
yapz… lu baik banget sih.”
“Hehm… jangan kira gratis, langsung aja imbalannya mana?”
“No
problem, cewek cantik yang kemarin itu kan?! Aku sudah memintanya untuk nonton
dan dia setuju, di atrium 07, nih karcisnya!” ucapku.
“That’s
great, lu tau aja gue sedang naksir sama Heres, I luv u guys!” serunya dengan
tawanya yang manis.
“Sini
tugasnya,” pintaku.
“Eits,
tunggu dulu,ini terakhir, aku mau membuatkan tugas untukmu,”
“Lho apa maksudmu, pasti Tante Ulli
melarangmu ya?”
“Tantemu
yang cantik itu nggak melarangku, tapi aku berpikir kata-katanya saja, ada
benarnya aku memang tak boleh memanjakanmu dengan membuatkanmu tugas, kalo
membantumu sih tak masalah.”
Aku
diam saja mendengarnya, guru SD itu kadang-kadang terlalu ikut campur,huh…
“Oya,
tugas kelompok menterjemahkan ensiklopedi nggak sekelompok denganku, kayaknya
lu bareng Niken, coba tanya deh, dari pada ntar ketinggalan sendiri, kasiankan
kelompokmu…” ujarnya.
“Siapa?
Niken?! Bukankah lebih baik lu yang nanya, lu kan demen ma cewek kayak Niken,”
timpaku.
“Hehm,
oke deh, thanks ya, lu ngasih kesempatan,hehe…”
Setelah
bicara itu, ia berlalu huh dasar cewek aneh, namanya Zieneta Arfi, aku biasa
memanggilnya Zie. Ia cukup baik padaku, mungkin kalau dia normal aja pasti
kupacari, hehe…
Beberapa
saat aku melihatnya bicara dengan Niken, sejenak tangannya membelai rambut
Niken yang terurai, hi… kadang aku jijik dengan cewek lesbong itu, tapi dia
temen yang baik kok..
“Hei,
kopiannya di Dyra, lu minta sendiri aja dengannya, aku gak nafsu sama cewek
yang berjubah gitu,” ungkapnya.
“Apa?
Huh… gimana caranya aku ngomong sama cewek kayak Dyra?! Biasanya kan
cewek-cewek gitu anti sama cowok, mending lu aja deh, lu kan sama-sama cewek…”
Zie
tak menjawab, cuma nyengir sambil ninggalin aku, huh…
“Ego !” seru seorang gadis tinggi, molek,
sexi, ah…
Ia
langsung memeluk dan menciumku.
“Sore ini apa kau ada acara?”
tanyanya.
“Nggak, mang napa?”
“Temenin
aku ya say…?”
“kalo ke salon aku malas.”
“Nggak sayang, kita ke….”
“Hotel
Agri kamar nomor 70i setuju?!”
“Ohw….
I agree with you,” bisiknya di telingaku sambil berlenggok menjauhiku.
“Dasar,
gadis bodoh!” umpatku dalam hati sambil berjalan menuju ke ruang kelasku.
“Zie,
sepertinya ucapanku kutarik,” ucapku setelah sepuluh menit berfikir.
“Maksud
loe?”
“Tiket
nonton bareng Heres kutarik, mungkin lebih baik lu ke Hotel Agri kamar nomor
70i,”
“Lu
mau menjebakku ya?!”
“Aku
janji dengan Nikita di sana, bukankah Nikita lebih sexi dari Heres?”
“Gue
nggak suka sek.”
“Bulshit
lu?!”
“Sumpeh!”
“Trus,
aku gimana nih…?”
“Layani aja…”
“Gila
loe?!”
“Napa,
takut ya?”
“Gue males tanggung jawab.”
“Bego!
Pake pengaman dunkz…”
“Tetep
aja gue males.”
“Bilang aja takut.”
“Terserah
loe!”
“Ya
udah, bilang kamu lupa or gimanalah,”
“Tau
ah…”
Jujur
aja aku tak suka bahkan tak sungguh-sungguh janji dengan Nikita, ah tu cewek
gampangan banget sih…
Pulang
kuliah aku langsung pulang, kamarku seperti disihir saja sekarang sudah rapi
banget. Hah, kadang aku merasa seperti putera mahkota saja, hehe…
Setelah
makan aku beranjak ngumpul dengan anak-anak bandku, aku drummer, Zie juga ikut
tapi sepertinya dia tak datang ke basecamp ya dia kan mau nonton film sama
Heres, huh.. cewek aneh…
Ngomong-ngomong
soal cewek, ada juga cewek yang lagi berjalan sendirian di depan tongkrongan
kami. Biasanya kalo ada cewek lewat langsung semua beraksi kampungan banget
memang yah kalo mereka mabok mang gitu, tapi mabok tak mabok kalo yang lewat
tertutup rapat gini semua diam deh, tapi… aku melihat matanya, aku kenal dia,
Dyra.
“Dy….”
Aku sendiri tak tahu kenapa tiba-tiba aku memanggilnya. Teman-temanku yang
melihat kejadian itu menatapku dengan rasa heran banget… aku yakin itu. Tapi
aku malah bingung pada diriku sendiri, aku harus apa, sedangkan gadis itu
berhenti tanpa berbalik ke arahku. Akhirnya kakiku melangkah menghampiri wanita
berjilbab itu.
Aku
diam sesaat mengatur nafas dan kata yang tepat untuk berbicara dengannya, ya
baru kali ini aku mau bicara dengan gadis berjilbab ini.
“Tugas
menterjemahkan ensiklopedi itu, aku sekelompok denganmu kan?!” akhirnya aku
menemukan kata-kata yang kupikir tepat.
Dia
hanya mengangguk pelan.
“Kau
sudah mengkopinya kan?!” lanjutku.
Tanpa
bicara ia hanya membuka tasnya dan mengambil buku fotokopian Ensiklopedi dan
menyerahkan Ensiklopedi berbahasa Inggris itu padaku. “Bab ke 3 dan 4,” sepatah
kata yang kudengar seperti sapuan angin yang lembut dan suci, benar-benar
damai.
“
Gak salah loe tadi bicara dengan siapa?” ujar Joe padaku.
“Sialan
loe, ya sama orang lah…”
“Berani
loe bicara sama cewek kayak dia,” sambung Ipang.
“Lain kali sadar diri ya, hahaha….” Mereka
menertawakan aku.
“Diam
kalian, harusnya loe semua malu, loe semua kalah sama Ego, liat aja gebetan
barunya cewek muslimah, keren kan?!”
“Dia
bukan gebetanku, cuma rekan sekelompok aja,” jawabku sambil duduk di depan
drumku dan siap menggebuknya. Akhirnya aku memainkannya juga dengan rasa yang benar-benar tak menentu.
Aku
tak sadar tadi, siapa aku dan siapa dia, kenapa aku berani benar memanggilnya
tapi aku jadi semakin ingin memanggilnya. Semakin ingin mengenalinya semakin
ingat matanya, huh.. drum semakin kukugebuk keras alunannya yang bar-bar seakan
rasaku saja, tapi sungguh aku tak ingin perasaanku hanya akan menyakitinya
saja, aku tak ingin dia ternoda karena Lumpur yang melekat di seluruh tubuhku.
Lumpur hitam yang mengalir di aliran darahku. Aku terlalu kotor untuk bidadari
seperti Dyra.
Setelah
itu aku pulang sambil membawa ensiklopedi itu dan berniat sungguh-sungguh besok
aku harus menyelesaikannya.
Entahlah
aku tiba-tiba bersemangat jadi mahasiswa, hehm….
Aku
masuk rumah sudah hampir Maghrib, tapi , hehm…
“Anakku sayang baru pulang ya?! Kau sudah makan belum Nak, bagaimana
sekolahmu? Kau tak dimarahi guru kan?!” suara dari orang yang harusnya membawa
surgaku, tapi entahlah di telapak kakinya ada surgaku tidak.
“Iya,”
jawaban singkatku sambil senyum entah itu senyum apa yang jelas aku mencoba
untuk tersenyum.
Sejak
ayah dipenjara aku memang sulit tersenyum dan ibuku jadi begitu. Huh.. sudah lima
belas tahun lebih ayah berada di tahanan Nusa Kambangan, semua gara-gara
tuduhan ayahku antek-antek PKI, kukira reformasi akan melepaskannya hehm
nyatanya sama saja. Ayahku tetap di sana dan ibu tetap gila. Mungkin karena
kekesalanku pada Negara aku jadi ikut-ikutan jadi komunis. Dan sengaja juga
kupasang logo bintang merah yang selalu menyala megah di kamarku. Selain itu
aku juga ikut organisasi bawah tanah.
Triiiitt….
Handphoneku
berbunyi.
“Apa?”
jawabku langsung sambil merebahkan diri di tempat tidurku.
“Ngumpul!
Ada misi!” serunya.
“Malas!”
jawabku langsung.
“Anjing
Lu!”
Kumatikan
handphoneku. Hah, organisasi gila, mereka ingin jadi komunis, entahlah kenapa
aku malas padahal awalnya aku sangat bersemangat, mungkin karena kemarin, tiga
hari yang lalu aku mengunjungi ayahku.
“Go,
kau harus buktikan dalam dirimu mengalir darah nasionalisme!” ujarnya, “Yang
berbakti untuk negeri Indonesia dan berjiwa Pancasila.” Lanjutnya lagi.
Nasihat
itu masih benar-benar nyata kuingat. Ayahku berbeda dari yang kulihat dulu. Aku
memang jarang mengunjunginya tapi akhir-akhir aku mengunjunginya ia memakai
peci bahkan waktu itu aku menunggunya sholat. Apa dia sudah punya Tuhan, lalu
bagaimana denganku?
Dari
pada boring ngurusi organisasi gila itu akhirnya iseng-iseng kuhubungi Zie
dengan ponselku,
“Hei,
gimana Heres?” tanyaku langsung.
“Gila
lu, masa gue disuruh nonton film yang nangis-nangis gitu,” jawabnya sebal.
“Mampus
lu!”
“Kukira
film horror biar dia meluk gue, hehe…”
“Katanya
dia suka drama percintaan gitu, ya kali aja lu bakalan tersentuh!”
“Hah,
ngantuk gue nonton film gitu.”
“Oya, si Nikita gimana?”
lanjutnya.
“Gue
gak dateng!”
“Ati-ati lu, besok dia ngamuk-ngamuk…”
“Biarin ajalah,”
“Mang
lu siap putus neh…?”
“Gak masalah, kan masih ada lu Zie…”
“Cih!”
“Cepetan
sembuh ya Say, aku menantimu….”
“Shit..!!!” serunya kesal sambil menutup
telfon.
Hehm….
Dasar cewek aneh, coba deh kalo dia sembuh en normal. Pasti aku gak bakalan
pusing-pusing nyari cewek lo aku lagi sumpek….
Sayangnya dia lesbong.
Huh,
malam semakin memalam saja rasanya, mataku memutar ke sekeliling ruangan
kamarku ini. Malam ini aku sedang malas keluar rumah, palingan juga kalo keluar
ujung-ujungnya aku mabok lagi. Lagian uangku mulai menipis gara-gara guru SD
yang kadang-kadang ikut campur itu, jadi uang bulananku dikurangi, tau lah buat
apa aku tak peduli. Yang jelas guru SD yang lumayan cantik itu membuat aku
sebal saja.
Mataku tiba-tiba melihat setumpuk perkamen
di mejaku. Tugas kelompok terjemahan
bahasa Inggris. Aku jadi ingat kalo aku
sekelompok dengan wanita muslimah, Dyra. Entah kenapa aku jadi bersemangat
mengerjakan tugas itu. Dan aku langsung menuju laptopku, laptop yang selama ini
hanya kugunakan untuk copy paste tugas kali ini benar-benar untuk mengerjakan
tugas. Mungkin malam ini laptopku tersenyum lega.
Kampus,
Menjadi tempat berkumpulnya berbagai
manusia, dari yang pakaiannya terpotong-potong sampai kumpulan pakaian rapat
bercadar. Aku menjadi bagian mahasiswa yang pakaiannya terpotong-potong. Gaya
urakan aneh yang menurutku stile dan keren abis, kadang juga aku datang ke
kampus dengan pakaian cuekku. Hah peduli amat. Mataku berputar mencari seorang wanita
yang biasanya berjilbab besar warna cream, warna kesukaannya mungkin. Perkamen
tugas di tanganku akan segera kuserahkan pada Dyra, meski aku ragu menemuinya.
Aku tahu dia ada di mana tapi aku ragu, ya jelas saja, pakaianku begini dan
lagi biasanya cewek-cewek gerombolannya kan anti cowok apalagi cowok berandalan
macam aku. Setelah berpikir berkali-kali akhirnya kuberanikan diri juga, meski
aku tahu barang kali dia tak akan mempedulikanku. Biar saja, toh tujuanku cuma
ingin menyerahkan tugas ini saja.
Kakiku
melangkah pelan menuju gerombolan yang sibuk dengan kitabnya masing-masing.
Sebenarnya aku cukup takut juga mendekati mereka, mungkin lebih baik jika Dyra
kupanggil jadi aku tak perlu ke arah gerombolan itu.
“Dy….”
Suaraku keluar juga akhirnya. Tapi yang kurasa seperti ada busur panah runcing
yang tepat mengenai wajahku. Aku merasa benar-benar salah memanggilnya.
Ah
peduli amat,
Kakiku
akhirnya melewati beberapa langkah.
“Sori
ganggu, nih paper terjemahanku,” ucapku sambil menyerahkan perkamen tugas di mejanya.
Sesaat
mataku ini mengarah pada matanya, terpancar kedamaian di sinar matanya yang
bening itu. Tuhan….
Upst, kenapa aku tiba-tiba menyebut Tuhan…..
Matanya
hangatkan pagi saja,
Berkilau
oleh sinat mentari
Meski
aku tahu aku tiadalah pantas dengannya
Bolehkan
jika sekedar mengaguminya,
Karena
aku takut mengusik keindahannya….
Wanita
itu langsung tertunduk menyembunyikan sorot matanya yang indah itu. Dan aku
segera tahu kalau aku harus pergi meninggalkan perkamen tugasku yang
melambai-lambai oleh angin seolah memanggilku.
Sekarang aku sudah berada di depan ruang
kelasku. Mencari-cari
Zie yang entah ada di mana. Tapi,
“Go,
lu gila ya?! Napa kemarin lu gak dateng?!” seru Nikita langsung.
“Sori
Nick, gue lupa.”
“Gak
ada gunanya cowok kayak lu! Penakut!!!” ujarnya sambil berlalu kesal.
“Thanks
God,” bisikku saat cewek gampangan itu
berlalu menjauhiku. Hah, akhirnya aku terlepas darinya. Sebal juga pacaran sama
cewek macam dia. Untung sih nggak ngeluarin duit tapi tetep aja buntung
waktunya suruh sama dia mulu, ah nggak banget deh. Mending aku menghabiskan
waktu sama sahabatku yang tomboy ini.
Ternyata
Zie sudah ada di sampingku, dia tersenyum getir melihatku.
“Tobat
ya, lain kali lu gak boleh mainin cewek lagi…” ungkapnya dengan nada suara lembut.
“Ya,
tergantung cewek macam apa dulu,” jawabku sambil melihat ke arah kumpulan
wanita berjilbab.
“Kamu,
Zieneta Arfi?” suara itu membuat mataku beralih meskipun Zie yang dipanggil.
Ternyata seorang laki-laki berbaju rapi berkaca mata minus. Zie tampak
tersentak menatapnya, dia juga cukup kikuk beberapa saat meski ia segera bisa
kembali cuek.
“Mang
napa?” jawabnya dengan nada yang kembali cuek. Zie mang selalu cuek pada
lelaki, ya kecuali aku.
“Kenalkan
aku Rafanda, panggil aja Rafa, aku semester akhir jurusan Psikologi.”
“Oh…”
jawab Zie lebih tak peduli lagi dengan tidak membalas jabatan tangannya.
“Boleh kita mengobrol sebentar?”
“Gue
sibuk.”
“Keine
problem, not now, pastinya kalo kamu punya waktu luang,” ujar lelaki itu tanpa
memaksanya sedikit pun.
Zie hanya tersenyum garing sambil berlalu
denganku.
“Sapa Zie?” tanyaku saat kami sudah ada di
kantin.
“Tau!”
“Naksir
lu kali…”
“Cih!!!,
enek gue ma cowok-cowok gitu, mungkin dia mau njadiin gue kelinci percobaannya,
dasar !!” umpatnya kesal.
Beberapa
kali Zie memang didekati cowok dan kukira sih cowok itu mang beneran suka sama
Zie, eh ternyata Zie dijadiin sarana penelitian buat paper tentang lesbian,
kurang ajar banget tu orang. Zie bilang dia gak hanya benci cowok tapi dia enek
sama mahasiswa psikologi yang sok tau. Kasian banget Zie, meski aku ingin dia sembuh tapi bukan dengan cara gitu
kan…
Kehidupanya
memang tak seindah orang lain, sejak kecil Zie tak punya orang tua, dia tinggal
di panti asuhan sampai waktu TK ia dipungut oleh keluarga dan diangkat jadi
anak angkatnya. Hanya saja semua tak seindah yang ia harapkan. Kehidupan
Jakarta berbeda dari kota Magelang tempat kelahirannya. Paparan mengerikan
sudah ia lihat sejak ia kecil, mungkin kalo ingat kisahnya aku jadi merasa
lebih beruntung. Padahal kami sama saja dari kumpulan orang-orang yang kotor.
Pulang kuliah,
Aku
sempat bertemu dengan lelaki bernama Rafa itu, dia mungkin sengaja menunggu
Zie, tapi Zie tak segera keluar kelas entah dia tampak mengobrol dengan seorang
wanita bercadar, sepertinya Dyra.
“Kamu,
Diego temannya Zieneta Arfi kan?!” tanya Rafa padaku.
“Iya
mang napa?”
“Aku
cuma ingin tahu hal kepribadian Zie.”
“Terserah,
tapi satu hal, kalo lu cuma mau memanfaatkan dia buat penelitian, mending lu
gak usah kenal sama dia.”
Aku
berlalu meninggalkannya tapi belum sampat keluar gerbang aku dihadang oleh dua
orang, aku tahu kaau mereka bukan mahasiswa sini. Salah seorang dengan
janggutnya yang tebal dan seorang lagi berbacu biasa.
“Siang Diego,” sapa mereka padaku. Aku
tahu kalo itu cuma basa-basi saja.
“Kenapa?
Kalian bertugas menghukumku karena semalam aku gak ikut rapat?” tanyaku
langsung, ya mereka berdua adalah anggota organisasi bawah tanah yang mungkin
jadi antek-antek PKI.
“Tidak,
tak masalah kamu semalam tak datang, kami hanya ingin menasihatimu saja, kalo
kamu harus berhati-hati karena sudah beberapa kali kau tak darang di
perkumpulan. Mungkin untuk anggota lain dikenakan sanksi tapi entahlah, ketua
tak membebankanmu sanksi karena itu kau harus lebih hati-hati,” terang mereka.
“Makasih,
aku tahu kok, dan aku memang sudah berniat keluar dari organisasi, aku sudah muak
dengan komunis.”
“Jaga ucapanmu Go, nyawamu
terancam.”
“Biar saja aku memang sudah muak,
kebenaran yang kalian katakan Bullshit!”
“Tapi
Go, kita harus cari kebenaran termasuk otak di balik peristiwa G30S yang aku
yakin bukan ulah PKI.”
“Cari
saja sendiri, beberapa hari ini aku berubah pikiran,” jawabku sambil berlalu
meninggalkan mereka. Aku pulang dengan rasa lelah yang benar-benar menjalar.
Di
rumah aku tak disambut oleh ibu ku lagi, tumben kemana dia….
“Kau
sudah pulang Go?!” itu suara guru SD yang menjadi tanteku.
Aku
tak menjawab berlalu ke kamarku.
“Sudah makan?” ternyata Tante Ulli
mengikutiku sampai masuk kamar.
“Aku
mau ganti baju,” ungkapku supaya Tante keluar dari kamarku.
Tante
Uli keluar kamar dan pintu kukunci. Aku tak langsung ganti baju, tiduran sebentar merasa lelah. Mataku tertuju
pada logo bintang merah itu, dan entah kekuatan dari mana aku bangkit dan
melepasnya. Memasukannya dalam lemari dan tak berniat memasangnya lagi.
Sebatang rokok kuhisap pelan, perutku terasa perih minta makan, aku keluar saja
dari kamar, tapi guru SD itu ternyata menungguku di pintu. Kucuekin aja,
biasanya juga gitu. Langsung ke meja makan. Dan makan.
Tante
Ulli duduk di sampingku, kenapa sih ni orang…. Setelah makan, aku beranjak
pergi dari ruang makan itu.
“Sebentar
Go,” suaranya yang lembut itu, terasa di telingaku bahkan kadang bisa
menggetarkan jantungku, makanya aku malas bicara dengannya.
Aku
diam saja dan tetap duduk di kursiku.
“Habis ini kita ke rumah sakit,”
ungkapnya.
“Kenapa
nggak minta anter Mang Udin aja, sekarang dia kan sopirmu…”
“Tante
ingin sama kamu.”
“Aku
bukan sopirmu.”
“Tante
yang nyetir kalo kamu nggak mau.”
“Aku sibuk.”
“Harus
Ego!”
“Maksa
banget sih…”
“Tapi
ini harus.”
“Iya,”
jawabku singkat dan berlalu ke kamarku, mengambil dompetku dan kunci mobilku.
Aku melihatnya membereskan meja makan dibantu Bi Hani.
“Cepetan!”
teriakku.
“Sudah
Non, biar Bibi saja, tuh sudah ditunggu Den Ego,” suara Bi Hani yang terdengar.
“Makasih
ya Bi,” itu suara guru SD yang jadi tanteku.
Aku
memanaskan Fiat hitamku, tak berapa lama Tante Ulli duduk di sampingku.
“Nggak
jadi pake mobil Tante?” ucapnya.
“Stirnya
nggak enak,” ejekku.
Viatku
melaju di lalu lalang Jakarta, kota yang makin lama makin ramai saja. My lecon
sengaja kubunyikan biar dia tak mengajakku bicara. Akhirnya sampai juga di
pelataran Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta. Ia mengajakku ke lantai tiga, dan tiba pula
di kamar no. 237a.
Pintu
itu terbuka dan tampak seorang wanita separuh baya terlelap di tempat tidurnya.
“Ibu….”
Aku berlalu mendekatinya.
Matanya
terpejam seperti melepaskan rasa lelahnya.
“Dia
kenapa, mencoba bunuh diri lagi?” tanyaku tanpa menatap ke arah orang yang
kutanyai.
Tangannya
mengusap kepalaku, “Kau sabar ya Go,” suaranya keluar juga akhirnya. Sebenarnya
aku ingin menangis, “Tuhan… tolong Ibuku….”
Aku, aku menyebut Tuhan….
Sungguh
Tuhan, sembuhkan ibuku….. aku tak canggung lagi kali ini, aku akui,manusia tak
akan jadi apa tanpa Tuhan, karena Tuhan yang menciptakan manusia, dan Tuhan
pula yang Maha berkehendak.
Tante Ulli terdiam menunduk, ia sedang
berdoa. Aku mengikutinya saja
dengan kata-kataku sendiri. Yang aku tahu, aku meminta pada Tuhanku.
“Tante….”
Suaraku memanggilnya. Mungkin ini kali pertama aku memanggilnya.
“Kenapa
Go?”
“Ajari
aku berdoa ya….” pintaku dengan penuh harap.
Aku juga tak tahu, rasanya ada suatu hal
yang menggetarkan sisi jantungku.
Tante
Ulli menatapku dengan matanya yang sayu, ia memelukku sambil menangis, “Pasti
Nak, pasti…” suaranya parau tertahan tangis haru yang ia sembunyikan.
Kami
berdoa bersama.
Sekitar
pukul tiga Tante menyuruhku mandi untuk membersihkan diri dan ia mengajakku ke
masjid, Masjid Al-Muttaqin.
“Kamu
sholatlah, jika kamu tak tahu gerakannya kamu bisa mengikuti saja imamnya,
setelah itu minta ampun pada Allah, dan berdoalah untuk kesembuhan ibumu.”
ucapnya sebelum masuk ke masjid.
Aku diam mendengar kata-katanya. Dan
memasuki masjid untuk sholat, ini kali pertama aku sholat, entah sudah berapa
tahun, sejak ayah dipenjara, ibu gila, dan aku terlunta-lunta oleh kerabat yang
mau mengurus aku dan ibuku. Di rumah yang mengurusi kami secara tetap ya para pembantu. Sampai akhirnya Om Han menikah dengan
Tante Ulli dan tinggal di Jakarta bersamaku dan Ibuku. Tapi sudah lewat, aku
masuk kuliah dan jadi komunis, aku sudah begitu jauh dengan Tuhan kali itu, dan
kini aku bersimpuh lagi, aku bersujud lagi.
“Ya Allah, Aku masih bisa jadi hamba-Mu kan?!”
Pagi
hari aku bangun oleh Adzan Subuh yang kudengar dari masjid yang kemarin
kudatangi, masjid itu memang bersebelahan dengan Rumah Sakit ini, aku diam tak
tahu harus apa, sholat, ehm… aku tak bisa. Kemarin sholat ashar pun aku hanya ikut-ikutan
depanku saja. Masih canggung dan sangat bingung. Dari kecil aku memang tak
pernah diajari sholat, eh tidak sepertinya pernah tapi ketika aku masih SD,
bayangkan saja sekarang umurku sudah berapa. Apalagi sejak SMA aku seperti
enggan beragama meskipun dalam arsip, biodata atau apapun itu agamaku
tertuliskan Islam. Siapa yang
mengajariku tentang agama dan sholat jika pelajaran agama di sekolah aku juga
palingan bolos, untung saja aku bersekolah di tempat yang sangat santai dan tak
peduli pada muridnya yang penting uang SPP lancar dan uang pembangunan lunas ya
pasti naik kelas. Kemudian kuliah aku malah bertemu dengan rombongan organisasi
aneh itu, ya sudah aku jadi tak kenal agama. Sebutan hak asasi manusia menjadi
sesuatu yang memperkuat aku untuk santai, ya aku percaya adanya Tuhan tapi aku
tak tahu apa agamaku, hanya percaya saja. Tapi kemarin aku tersadar selama ini
aku melalaikan Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Sungguh aku semakin
ingin bertobat. Semoga nanti ada yang membantuku.
Aku hanya sendiri menjaga ibu, Tante Ulli semalam pulang dengan Om Han,
sebentar lagi Bi Rasti datang menggantikanku karena aku harus ke kampus.
Kutatap wajah sendu ibuku, sungguh sebenarnya aku sangat menyayangi ibuku.
Wanita ini benar-benar kuat, meski otakntya kacau. Mungkin ia lelah dengan
segala penderitaan hidup. Dia tak hanya dikucilkan dari warga sekitar tapi dari
keluarganya juga. Orang tuanya sudah tidak mengakuinya. Yang masih sedikit
peduli itu keluarga dari ayahku. Keluarga dari ibuku mana mau tahu tentang
kami. Hubungan kekeluargaan kami sapartinya sudah putus. Ya sejak ayah
dipenjara gara-gara dituduh PKI atau dia memang PKI ah entahlah tapi kurasa
tidak, ayah bukan PKI. Kutinggalkan wanita berwajah sendu itu untuk mandi. Setelah aku mandi Bi Rasti datang sekitar jam
tujuh pagi.
“Aden
udah sarapan?” tanyanya.
“Belum
nanti di kampus saja,” jawabku.
“Ini,
bibi bawain Roti selai caramel sama telur mata sapi setengah matang, Aden kan
suka, tadi yang mbuatin Non Ulli, katanya Aden wajib sarapan, ini juga titipan
dari Bi Hani, cokelat manis, diminum Den mumpung masih hangat,” rayunya.
Bisa
saja dia merayuku, akhirnya kumakan juga bekal sarapan itu, sebenarnya banyak
kok orang yang mempedulikanku, kenapa selama ini aku malah tak memperhatikan
mereka?
Selesai
makan aku pamit untuk berangkat ke kampus,Viat hitamku yang menemani di lalu
lalang kota pagi ini, Jakarta memang selalu ramai, pikirku. Karena itu aku lebih baik jalan kaki dari pada harus
mengantri macet seperti sekarang ini. Untung saja macetnya tak terlalu lama.
Pembangunan jalan semakin bagus jadi macetnya berkurang meskipun tata letak
kota belum begitu sempurna tapi mendinglah untuk mengatasi berbagai kemajuan
teknologi karena manusia semakin malas menggerakkan organ tubuhnya.
Ah
tak tahu lah aku berpikir ke arah mana. Yang jelas aku masih bisa berpikir.
Sampai di kampus aku memarkirkan mobilku. Belum juga aku keluar dari area
parker itu aku dihadang oleh tiga orang. Aku tahu siapa mereka. Dengan wajah santai kuhadapi saja mereka.
“Lu masih boleh milih?” suaranya terdengar
menyebalkan di telingaku.
“Aku
sudah bilang kemarin dan gak berubah sampai detik ini.” Jawabku tenang.
“Oke
kalo itu maumu, meskipun Bos masih memberimu kesempatan, jika kamu masih ingin
gabung datang di rapat ntar sore di markas gudang bawah tanah. Tapi terserah kamu…”
Aku
tak peduli omongannya, mereka berbalik dan pergi dari hadapanku membaur dengan
yang lain hingga tak ada yang tahu mereka komplotan mafia kecil yang makin lama
bisa besar kecuali banyak yang tobat. Kali ini aku yang berbalik dan….
“Zie,
sejak kapan lu di sini?” tanyaku kaget saat melihat Zie yang tiba-tiba ada di
hadapanku.
“Lumayan, sejak Viatmu masuk parkiran.”
“Lu gak denger aku ngomong sama mereka
kan?!”
“Denger.”
“Terus?”
“Ya,
aku mau tanya, lu mau rapat apa sama mereka?”
“Hehm
biasa orang iseng, tapi aku gak ikut rapat kok….”
“Napa?”
“Males
aja…”
“Oya,
Tante Ulli bilang ibumu masuk rumah sakit lagi ya?” tanya Zie mengalihkan
pembicaraan.
“Iya, biasa orang gila jadi gitu. Eh sejak
kapan guru SD itu selalu cerita-cerita urusanku denganmu?” kenapa Tante Ulli
sampai cerita pada Zie.
“Dia
tak sengaja cerita kok, tadi pagi kan aku ke rumahmu, dia bilang lu di rumah
sakit jagain ibu, eh tapi sepertinya Tante Ulli mengira kita pacaran, heh aneh
banget, sapa lagi yang mau sama lu….”
“Ih
dasar, gue juga ogah sama lesbong macam lu…”
Kami
berjalan memasuki ruang kelas, bentar lagi juga ada dosen.
Selesai
kuliah aku dipanggil Mr. Albert. Entahlah urusan apa, kalo tugas sepertinya
tugas individu aku sudah semua kan Zie yang
mengerjakan, hehe…
“May
be you know about some articles in ‘D’One’ tabloid, cause there is article from
you?”
“Article? Sorry, you are wrong Sir,
cause I don’t write anything in this tabloid…”
“But Diego is your name, isn’t you?”
“Yeah, you are right, but I don’t
write anything Sir, may be just same of name…” tegasku sekali lagi, karena
memang itu bukan aku.
“This article about Learning History
in Our Campuz… and it is Our Campuz….”
“No Sir, it’s not by me….”
“Obey, it doesn’t matter. And how
about your Task? Ensiklopedi…” sepertinya ia merasa salah orang hingga ia
menanyakan hal lain.
“I’ve finished, but my group not
yet.”
“That’s right, may be next week your
group must finished.”
“Okay Sir, I’ll try, Thanks…”
“You’re welcome.”
Aku pun kembali ke kelasku,
sepertinya kuliah nanti aku bareng dengan Dyra. Ah aku jadi ingat wanita
bercadar itu.
Siang ini aku menuju masjid tapi cuma
di depannya saja, bingung mau masuk, padahal tadi aku melangkah ke masjid
gara-gara denger suara adzan. Kalau nggak salah ini waktunya sholat dzuhur.
Seorang lelaki menghampiriku,
“Kenapa berdiri saja? Kamu gak ikut sholat?” tanyanya sopan. Jarang
sepertinya lelaki sopan seperti ini di lingkungan kampus sastra meskipun pasti
ada. Kalau tidak salah ia anggota Rokhis,
sejenis organisasi untuk mahasiswa yang suka ke masjid. Setahuku sih begitu.
Kalau tidak salah juga namanya Yusuf.
“Ehm….”
Aku bingung sambil berpikir, aku kan gak bisa sholat…
“Maaf,
aku duluan, kalau kamu mau sholat segeralah menyusul sebelum terlambat.”
Lelaki
bernama Yusuf itu berlalu ke tempat wudhu, dengan canggung aku mengikutinya dan
mengikuti tiap gerakannya ketika wudhu, entah itu benar tata cara atau
kebiasaannya saja, aku gak tahu, dan aku cuma mengikutinya saja. Ketika sholat,
aku berdiri di sampingnya dan sekali lagi aku cuma mengikutinya saja tanpa tahu
ia membaca apa.
Selesai
sholat, kami langsung berpisah karena ia langsung ada kuliah sedangkan aku
masih ada jeda waktu sekitar setengah jam, lumayan untuk istirahat.
“Go,
ngapain tadi lu di mesjid?” tanya Joe, dia vokalis di bandku. Anaknya urakan
juga, tak jauh beda denganku. Dia mahasiswa Sastra Perancis. Meskipun
tampangnya gila tapi dia cerdas lho…
Aku
tak menjawab hanya senyum saja.
“Latian
sembahyang ya…?” tanya Yosep, dia gitaris bandku, mahasiswa Sastra Rusia, tapi
dia taat beribadah, dia Nasrani.
“Masalahnya
gue gak mau kalah sama loe…” jawabku asal.
Baru aja aku duduk di kantin tiba-tiba
mataku melihat malaikat berjalan sendirian dari musholah.
Entah
kekuatan apa tiba-tiba aku mengikutinya, mungkin Joe dan Yoseph hanya kaget melihatku
mengikuti wanita berjilbab itu.
“Dy…”
suaraku keluar saat jarak kami hanya tinggal beberapa langkah saja. Yang
kupanggil berhenti tanpa menoleh dan aku maju satu langkah, aku tak berani maju
lagi. Cukup di sini saja.
“Minggu depan paper terjemahan harus
segera dikumpulkan, tadi aku bertemu Mr. Albert dan beliau bilang begitu,”
ucapku dengan kata yang kupilih secara hati-hati. Sebenarnya aku tak berniat
bilang begitu tapi entah mungkin cuma kalimat itu yang bisa kusampaikan.
Wanita itu mengangguk pelan, dengan mata melihat ke arah bawah. Ia
sepertinya enggan menatapku dan aku juga tak berharap, aku ingat kok siapa aku
dan siapa dia lagi pula wanita seperti dia kan tak boleh menatap lelaki.
“Permisi,
aku buru-buru, ya, nanti aku bilang Niken, biar dia yang menjilid tugas
kelompok kita.” Suaranya terdengar lembut meski terkesan cepat dan gugup.
“It’s
Okay!” jawabku santai. Dan
dia pun berlalu cepat.
Aku
kembali ke kantin dan mereka seperti biasa memperolokku yang berani bicara sama
cewek bercadar itu.
Dari
pada sebel-sebel oleh kata-kata mereka, aku akhirnya menuju kelasku. Tampak
Dyra sudah di kelas bercakap dengan Niken. Tak berapa lama ia kembali ke
kursinya saat seorang dosen memasuki ruang kelas ini. Prosa Inggris, begitulah
mata kuliah kali ini. Dyra tampak asik memperhatikan tata cara pembuatan puisi
bahasa Inggris, sepertinya dia begitu tertarik, upst kenapa aku malah
memperhatikan Dyra….
“Matamu dari tadi ke arah mana Go???”
bisik Zie tiba-tiba.
Upst,
ternyata cewek yang satu ini memperhatikan aku….
Aku tak menjawabnya hanya beralih menatap
ke arah dosen. Dan kuliah pun
kini terasa lebih menyenangkan.
Pulang
kuliah aku sengaja mengajak Zie ke rumah sakit, untung saja dia mau, padahal
aku yakin dia mau karena sengaja untuk alasan sehingga tak perlu menemui Rafa
yang tadi memintanya untuk ketemu. Ada-ada saja tuh cewek.
“Eh
Tante,” sapa Zie sambil menyalami Tante Ulli.
Guru
SD itu cuma tersenyum menyambut sapaan Zie.
“Yang datang siapa Dik…?” suara ibu
terdengar sangat lemah.
“Ego,
Kak sama pacarnya…” jawab Tante Ulli langsung.
Upst, pacar…..
Aku
dan Zie cuma bertatapan saja,
“Apa?
Ego sudah bawa pacar? Hehm… anak mama ini…. Sini Nak, kenalin siapa namanya?”
tanya ibu langsung.
“Saya
Zie, Zieneta Arfi,” jawab Zie
“Cantiknya….”
Ujar ibu, ah kupikir ibu ngaco, cewek macam Zie dibilang cantik, eh pas Nikita
yang molek itu ke rumahku malah disebut cewek gak cantik, heran deh….
Zie
tersipu oleh pujian ibu, ia layaknya Dewi Arimbi yang dipuji Dewi Kunthi ketika
bersama Bima, saking senengnya sampai Dewi Arimbi yang tadinya raksasa berubah
menjadi Dewi yang cantiknya melebihi Bidadari. Hehm.. tapi Zie tak kan berubah
jadi bidadari, mana ada bidadari tomboy macam dia.
Ia
bercakap akrab dengan ibu dan Tante Ulli, aku malah merasa asing atau memang ini
tempatnya wanita ngerumpi jadi aku ngerasa nggak nyambung gini. Jika melihat
ibu yang ceria begitu aku jadi senang, sedikit pun ia tak tampak gila, ia ngobrol
dengan Zie sebagai ibu, bukan orang gila seperti biasanya. Tuh kan makanya
kadang aku menganggap ibu cuma pura-pura gila saja dari pada malu pada
tetangga.
Sekitar
pukul empat sore Zie meminta pamit pulang, aku pun mengantarkannya sampai
rumah. Meskipun kami akrab sejak masuk kuliah tapi sekali pun aku belum pernah
main ke rumah Zie, dia bilang dia bisa dimarahi kalo ada temannya yang main ke
rumahnya. Aneh sekali keluarganya. Kalaupun aku mengantarnya paling hanya
sebatas di ujung jalan saja tak sampai masuk rumah. Depan rumah saja tidak.
“Sampe
sini saja ya Go, makasih…” tuh kan belum juga masuk jalan eh sudah ngomong
gitu.
“Kali ini nyampe depan rumahmu, please….” Pintaku.
“Lu
mau gue dibunuh? Udah deh,
pokoknya sampe sini aja.”
Dasar
keras kepala.
Sengaja
gas kutambah dan masuk ke jalan,
“Eh,
apa-apaan sih lu?! Turun sekarang!!! Ato gue loncat….?!” Teriaknya
dengan muka marah.
“Ih, jangan ngambek gitu dong, iya
deh…” kuhentikan juga laju mobilku tepat di depan rumah mewah dengan cat
pagarnya hijau tua. Di depan rumah
tampak seorang wanita sedang menyirami tanaman.
“Terlambat.”
Suara Zie terdengar sangat
kesal.
Dia turun dari mobil dengan wajah
kesalnya. Aku mengikutinya, wanita itu menatap Zie dengan matanya yang runcing.
“Siapa Zie?” tanya wanita itu.
“Temen.”
Jawab Zie ketus.
“Kayaknya
ganteng juga nih, apa kau sudah sembuh Zie dan sekarang deket ma cowok….?!”
“Terserahlah,
enek gue sama lu!!!” suara
Zie terdengar semakin kesal saja pada wanita itu.
“Buruan pulang, ngapain juga di sini terus….!!!”
teriaknya menyuruhku pulang.
“Ya
sudah Tante, aku pulang dulu.” ucapku dan pulang dengan pikiran aneh yang
mengitari otakku. Wanita itu, mungkin dia ibu tirinya Zie, atau lebih tepatnya
isteri baru ayah angkat Zie. Pantas saja Zie tak begitu suka dengannya.
Kasihan
dia,
Keluarganya
begitu, pantas saja ia enggan berusaha untuk sembuh.
Setelah
mengantar Zie, aku kembali lagi ke rumah sakit, malam ini mungkin aku akan
tidur di rumah sakit lagi. Tante Ulli pulang, sepertinya aku tak punya teman
jaga, dan satu hal yang membuatku sabal, dari tadi ibu mengoceh terus, dia
mengoceh tentang keluarganya di Solo, dulu ibu memang orang Solo, sudah lama
sekali ibu tak dianggap anak oleh keluarganya, kasihan dia.
Dalam
ocehannya, sesekali ibu menangis lalu memanggil nama-nama orang entah siapa
mereka. Sepertinya saudaranya atau temannya atau entah siapalah. Yang paling
sering disebut nama Aliya, sepertinya ibu sedang mengobrol dengan nama Aliya.
Sesekali ia bilang,
“Kenapa dulu kau tak mengajakku saja ke
Australi saja? Kau tahu aku kesepian di sini, kau enak di sana, oya kau tahu
anakku sudah dewasa lho, dia tampan seperti Surya, anakmu gimana kau sudah
punya anak kan? Jika laki-laki anakmu pasti setampan Hamsah suamimu ya, apa
lagi dia orang Pajajaran kan tampan-tampan, kau benar-benar hebat, dijodohkan
dengan orang yang sesuai kau suka, sedangkan aku, hiks…hiks…. Lari dari perjodohan dan menderita seperti
ini, hiks…..hiks….”
Ia menangis juga akhirnya. Yang kutahu
memang dulu ibu dijodohkan dengan seorang putera kerajaan di Solo tapi dia
malah memilih Ayahku yang waktu itu tinggal di Madiun. Mereka menikah tanpa
restu orang tua, mereka pun menetap di Madiun dan aku tumbuh di Madiun dengan
penuh kebahagiaan tapi semua berubah saat ayah dituduh antek-antek PKI dan dipenjara,
kalau tidak salah waktu itu aku kelas dua SMP sampai aku harus pindah ke
Jakarta dan tinggal bersama Pak Dhe ku di Jakarta. Pak Dhe tak punya anak, jadi
aku benar-benar dimanjakan tapi ibu semakin lama semakin aneh kelakuannya
hingga ia harus masuk rumah sakit jiwa. Tapi usia pak Dhe semakin tua, ia pun menyusul Bu Dhe ke akhirat. Aku
sendirian kali itu, terlunta-lunta dari keluarga ke keluarga yang lain. Entah sebab apa aku juga dapat bagian atas
harta peninggalan Pak Dhe, ya maklum pak Dhe hanya tiga bersaudara dengan ayah
dan om Han. Aku terlunta pun dengan entah paman atau bibi dari keluarga mana.
Sampai ketika om Han menikah dengan Tante
Ulli dan tinggal serumah di rumah peninggalan Pak Dhe. Aku akhirnya punya
keluarga tetap dan ibu kembali ke rumah dalam kondisi yang seperti itu.
Hari sudah malam, sepertinya ibu sudah capek
mengoceh dan ia kini hampir terlelap.
Triiiit…..
Ponselku berbunyi,
“Go, mamafin aku ya…” itu suara Zie.
“Hei… santai saja,” jawabku
sambil melangkah ke luar kamar supaya tidak mengganggu ibu.
“Kau sudah lihat kan bagaimana sikap
wanita itu,”
“Nyante saja Zie, jangan judes gitu sama
dia.”
“Ugh…, oya Go, aku kok jadi ingin sembuh
ya…”
“Apa? Tak salah nih…?”
“Rafa sering menelfonku, entahlah dia tahu
nomorku dari siapa, sepertinya Heres yang memberikannya, atau Niken barangkali
mereka kan gemes banget kalo denger ada cowok yang deketin aku…. Rafa sering
bilang supaya aku deket sama cewek yang tak menimbulkan nafsu dan selanjutnya
aku disuruh tanya-tanya bagaiman caranya jadi cewek, aku juga disuruh
sering-sering ke gereja dan tanya pada biarawati juga, aku disuruh untuk sering membaca
Al-kitab, dia cerewet banget tau, kadang aku muak dengannya,” Zie menceritakan
tentang Rafa dengan sangat bersemangat. Hehm, baru kali ini dia cerita cowok
yang segitu perhatian padanya.
“Lu bisa kan menurutinya, yang dia suruh
baik kok buat kelangsungan hidup lu, hehe…”
“Ngaco lu, huh tapi iya juga
sih, cuma rada sebel aja.”
“Ehm, trus lu mau ndeketi sapa,
mang ada cewek yang gak membuat jantungmu gak karuan???”
“Ada,
Dyra.”
“What,
Dyra, are you crazy girl…?!”
“Iya
bener, lu tau dia keren banget, gue kira gak bakalan mau ngomong sama gue eh
ternyata dia asik juga kok, ramah dan baik, beda sama orang-orang pesma yang
kukira sebagian besar ogah ngomong sama orang gak bener kayak gue.”
“Gak
salah lu, gue gak nyangka aja….”
“Ehm,
besok juga gue rencana mau tanya-tanya supaya jadi wanita tenang macam Dyra.”
“Ya,
moga sukses aja ya bro, gue pasti dukung lu…”
“Yoi
coy, nais drim yah…”
Telfon
kumatiin, hehm… Dyra, gak nyangka aja gimana jadinya cewek tomboy itu deket
sama Dyra.
Pagi
hari seperti biasa aku siap-siap ke kampus, bedanya aku sarapan di rumah karena
tadi Bi Rasti dan Mang Udin datang lebih awal, dan mereka tak bawa sarapan
untukku. Aku nyampai rumah dengan Viat hitamku, Tante Ulli masih menungguku
untuk sarapan. Kami pun sarapan bersama, om Han juga belum berangkat.
“Nanti
sore pulang kuliah kita ke rumah sakit bareng ya Go,” kata Tante Ulli setelah
selesai sarapan.
Aku cuma mengangguk saja. Sepertinya juga aku memang harus membatalkan
ngeband bareng teman-teman.
Di kampus tak banyak hal istimewa. Aku
kuliah bareng dengan Zie hanya jam terakhir itu pun dia langsung pulang dengan
Dyra yang sudah menunggunya di depan kelas, aku sempat melihat matanya yang
indah itu, wajahnya yang manis, dan senyum yang teriring saat ia bercakap
dengan Zie,
“Sungguh
Tuhan, ampuni aku jika telah lancang melihat wanita rupawan itu, aku hanya
ingin mengagumi ciptaan-Mu saja dan tak bermaksud melihatnya dengan nafsuku,” bisikku dalam hati.
Mereka berjalan berdua entah kemana, dan
aku hendak pulang tapi…
“Go, tar sore kita gak jadi nge-band kita
mau pada tanding basket aja, lu mau ikut gak?” seru Joe tiba-tiba.
“Sori bro, gue gak bisa.”
“Napa loe, tumben-tumbennya loe
ninggalin jadwal basket,” kali ini Hekkar yang menimpali, meskipun dia bukan anak
band tapi aku mang selalu main basket bareng dia.
“Or loe pengen bowling aja neh,
refreshing bro, yar otak loe gak spanneng gitu,”
“Sumpeh gue gi ogah ngapa-ngapa,
nyokap gue masuk rumah sakit lagi dan gue pengen jagain dia.”
“Tumben loe perhatian ma nyokap,
bagus deh lo gitu, kita jenguk kapan-kapan ya… jadi anak yang baik ya Go,” seru
mereka sambil berlalu.
Aku tahu kok, mereka mang paham banget
siapa aku dan gimana ibuku. Ya mereka kan biasa mabok di rumahku. Meski sejak
Tante Ulli marahin mereka, mereka agak gimana kalo harus ke rumahku.
Tante Ulli, jadi inget, aku kan harus
jemput Tanteku yang cantik itu di SD, kami kan janjian mau ke rumah sakit. Dia dah nungguin belum ya…
Tapi, ada satu gangguan lagi,
Geng bawah Tanah.
“Kamu mau coba pergi dari kami?!”
seru seorang lelaki dengan dua gerombolannya, aku tahu kalo mereka bukan anak
UI, dari wajah mereka pun sudah ketahuan.
Hehm, aku diam saja, dan….
“Pak satpam, ada orang luar mau
mengeroyokku…!!!!!!” teriakku otomatis mereka pun panik dan melihat ke berbagai
arah, kesempatan itu kugunakan untuk segera masuk mobil dan,
“Lets Go,” Viatku pun ngebut di
garangnya lalu lalang kendaraan kota siang itu.
Tindakan konyol memang, sangat
tidak gentleman, tapi apa daya, aku
malas berkelahi, lagi pula berantem di kampus hanya akan menimbulkan hal-hal
rumit yang aku enggan mengurusnya.
Viatku pun terus saja melaju,
SDN kompleks Bayangkara, itu nama kompleks SD tempat Tante Ulli mengajar, waktu
sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tante sudah menunggu di depan gerbang sembari duduk dengan beberapa rekan
gurunya. Setelah melihat mobilku ia bangkit dan berjalan ke arahku.
“Langsung ke rumah sakit Go?!” tanyanya
basa-basi.
Aku cuma mengangguk dan bersiap jalan.
Sekitar lima belas menit kami sampai di area parkir rumah sakit, memakai lift
ke kamar ibu, mengobrol sebentar dengan Bi Rasti yang sejak pagi menjaga ibu
lalu terdengar suara Adzan dan Tante Ulli pun mengajakku ke masjid yang kemarin
kami datangi, kalau tak salah namanya Masjid Al-Muttaqin.
Seperti kemarin aku hanya mengikuti saja
gerakan-gerakan sholat, jujur, aku cuma tahu kalau aku harus membaca surat
Al-Fatihah yang untungnya aku masih hafal sedangkan bacaan sholat yang lain aku
lupa, huh… gara-gara alkohol yang meracuni otakku aku jadi tak bisa mengingat
bacaan-bacaan sholat.
Selesai sholat kami berjalan hendak
kembali lagi ke rumah sakit, tapi…
“Diego…” seru seseorang, aku kaget sekali
mendengarnya, sepertinya aku kenal dengan suara itu.
Dan
benar saja, Zie. Dia di masjid, heran aku. Dia tampak menarik lengan seorang
wanita berjilbab, dia Dyra, wajah manisnya itu dari kejauhan juga sudah tampak
di mataku… Mereka berdua berjalan ke
arahku.
“Lu
ngapain di sini?” tanya Zie langsung.
“Harusnya
aku yang tanya lu ngapain di sini…?” balasku. Terang saja aku heran, Zie kan
Khatolik.
“Aku
sama Dyra,” jawabnya.
“Oh…”
jawabku pendek karena aku merasa seperti kehilangan kata melihat Dyra di
depanku yang terus menunduk, sesekali ia menatap ke arah Tante Ulli. Ia tak
mengeluarkan suaranya sedikit pun dan tenggorokanku pun serasa tercekik tak
satu pun kata keluar untuk menyapanya.
Ah,
pasti wanita itu heran juga kenapa cowok berandalan macam aku ada di masjid.
“Eh Zie…” sapa Tante Ulli yang berjalan ke
arah kami. Dyra tambah semakin memperhatikan Tante Ulli.
“Tante,
ehm… ibunya Diego masih di rumah sakit?” tanya Zie akrab.
“Iya,
ehm kamu tak mampir menjenguk ibu, dengan temanmu juga, siapa namanya?”
“Saya
Dyra, Tante…” suara itu akhirnya
terdengar juga meski terasa sedikit canggung sambil menyalami Tante Ulli.
Akhirnya
kami pun ke rumah sakit bersama.
Mereka
asik mengobrol bertiga dan aku diam karena leherku masih terasa seperti
tercekik. Ternyata Dyra asik juga mengobrol, dia ramah dan mudah bergaul,
kupikir.
Aku
tak banyak bicara, sampai di kamar Ibu pun aku cuma diam.
“Siapa lagi Dik?” tanya ibu saat melihat
Dyra memasuki kamar ini.
“Ini
Zie dan temannya, namanya Dyra…”
“Oh….”
Dyra
menyalami ibu , dan mata ibu itu menatapnya tajam.
“Nak….
Sepertinya ibu kenal denganmu…” kata ibu tiba-tiba.
“Ehm,”
Dyra tampak salah tingkah dengan kata-kata ibu, oh, please Bu, jangan kau
tunjukkan kau gila di depan bidadari ini….
“Melihat
wajahmu, aku jadi teringat seseorang, aku sepertinya mengenalimu Nak…” suaranya
lagi, sambil mengusapkan tangannya menyentuh kulit wajah Dyra, aku jadi semakin
tak tahu harus bagaimana. Please Bu….
“Oh,
maaf Kak, jangan begitu, oh ya Dyra kau diajak Zie keluar…” kata Tante Ulli
padanya, syukurlah Tante Ulli bisa menanganinya. Aku hanya terpaku di sudut
ruangan ini.
“Go,
temani ibu dulu ya, Tante mau bicara sebentar,”
aku mengangguk saja dan Tante
Ulli keluar menemui Dyra dan Zie.
“Maafkan
Kak Rahma ya, kadang dia memang begitu.”
“Tidak
apa-apa Tante,” jawabnya dengan suara yang masih terdengar dari kamar ini.
Langkah
kaki mereka terdengar menjauhi ruangan rumah sakit ini, dan pastinya mereka
pulang.
“Go,
mata wanita itu, mirip dengan mata Aliya, teman ibu sewaktu kecil….” Bisik ibu
dengan suaranya yang merintih.
Aku
jadi ingat semalam ibu mengigau dan menyebut-nyebut nama Aliya, ah mungkin ibu
kepikiran saja.
Aku
pun menenangkannya dengan kata sebisaku. Dan menyelimutinya. Tak berapa lama
Tante Ulli kembali ke kamar ini dan kami pun menjaga ibu.
“Go
minum…” suara Joe menawarkan segelas minuman untukku. Kala itu aku lagi
nongkrong di tempat ngumpul teman-teman yang cukup gila itu.
“No,
Thanks….”
“Rokok?” lanjut Joe.
“No.”
“Loe
beda ya Go,” kali ini Ipang yang bicara.
“Gak
apa, lagi gak pengen aja…” jawabku sante…
“Zie….”
Panggilku pada cewek tomboy itu.
“Napa?” jawabnya cuek tapi ia jalan juga
ke arahku
Sesampai
dia di sampingku aku malah diam tak bicara apapun, aku sedang bingung dengan
pikiranku sendiri, dari kemarin aku sholat, pertama waktu di ajak Tante Ulli di
masjid dekat Rumah Sakit, terus di musholah kampus diajak mahasiswa rokhis yang
kalau tidak salah namanya Yusuf, terus diajak Tante Ulli lagi, tapi aku nggak
tahu bacaannya, cuma ikut-ikutan aja, aku cuma tahu baca Al-Fatihah yang
syukurlah aku masih hafal, tapi bacaan lain aku benar-benar lupa, lupa atau
malah tak tahu….
Aku ingin bisa sholat.
“Hei,
kok malah diem sih…?” suara Zie seperti terdengar sebal kucuekin.
“Tau
tuh, Diego napa sih…?”
“Loe
naksir cewek lagi Go???”
“Sapa Go, seksi gak neh?”
Entah siapa lagi yang bicara kali
itu, aku hanya mendengarnya samar-samar dan selanjutnya aku ngeloyor pergi dari
kerumunan orang-orang itu, berjalan mengikuti arah kaki dan sampai di kamarku. Kuambrukkan saja badanku ini ke tempat
tidurku, rasa lelah terasa menjalar di semua sudut ragaku.
I’m tired
With everything….
Cause, many mistakes
there
And not to know, maybe…..
Want to be angel, and fly
around
Never see darkness
Pukul delapan malam, kubuka botol
Sands untuk sekedar melegakan tenggorokanku yang kering, di samping botol Sands
ada Bir yang menggodaku, kusembunyikan setanku, aku tak boleh minum lagi, cukup
Sands saja jangan Bir, please…. Oh
aku tak kuat rasa ini benar-benar menggerakkanku untuk mengambilnya. Tante Ulli
menjaga ibu di rumah sakit, ia tak tahu dan ia tak akan akan memarahiku jika aku tak sampai mabok, Om
Han, hehm… dia juga belum pulang kerja lagian kalau pun melihatku minum Bir ia
tak akan memarahiku, maklum dia ingat dia juga dulu begitu meskipun dia sama
sekali tak menyentuhnya lagi setelah menikah dengan Tante Ulli.
Sungguh,
sepertinya aku akan kalah….
Oh,
Tuhan, ampuni aku……
Dadaku
sedikit lega perlahan, botol sands juga ku taruh lagi di kulkas. Tanganku
bergerak ke arah botol Bir, tapi aku melewati Botol Bir itu dan menyentuh botol
yang tak kalah dingin, air putih. Ternyata ini yang akan kuminum.
Bismillahirahmanirohim……
Rasa
segarnya merasuk di tiap sel darahku, aku merasa di gurun pasir dan menemukan
oase yang sejuk.
Entah
kenapa dadaku yang sesak menjadi lumayan tenang.
Seperti cahaya itu menerangiku,
Hingga berbisik pelan menyusup di sela otakku…
Entah apa ini,
Kerinduan pada cahaya
Yang kuharap muncul,
Ketika aku tersesat dalam kegelapan.
Aku kembali ke kamarku dan meraih
ponselku.
“Zie,
aku pengen belajar sholat,” ucapku tiba-tiba, entah heran juga atas dasar apa
aku tanya peda Zie, dia kan Non-Islam kenapa aku bilangnya pada Zie… ah jika
aku tahu nomor hape Yusuf saja aku pasti menghubunginya, tapi kalo bilang pada
Tante Ulli atau Om Han, jujur saja aku malu…
“Wah,
bagus itu Go, ehm gimana kalo besok gue bilang pada Dyra biar dia yang
mengajarimu…?” suara Zie terasa sangat segar di pendengaranku, tak salah nih,
dia mendukungku….
“Gila
lu, dia kan cewek, pa lagi orang macam dia kan ogah lama-lama sama cowok…”
jawabku karena merasa pilihannya kurang tepat, hehm, atau malah tidak tepat,
mana mau cewek anti cowok gitu ngajarin aku…
“Tenang
aja Go, besok gue deh yang bilang…. Eh, gue gi ada tamu neh, sori ya, bye….” Ungkapnya.
Tamu,
mang sapa yang berani bertamu, malam minggu lagi, biasanya kan Zie asik dugen
sama gebetan ceweknya….
Tumben
dia ada yang ngapel, ah biarin aja, yang penting besok aku ingin belajar
sholat.
Malam
pun memalam dan aku tertidur pulas di kamarku.
Benar, cahaya itu….
Menerangi sepotong senyap kalbuku,
Semoga niat ini terlaksana….
‘Go,
jam tiga sore ke masjid Al-Muttaqin, tar lu nebeng gue ma Rafa aja.’ Itu
sepotong pesan yang terkirim jam delapan pagi tapi baru kubaca jam sepuluhan,
maklum aku baru bangun….
Hari minggu memang waktuku bermalas-malasan.
Masjid Al-Muttaqin, ehm di mana
ya?! Oya, di deket rumah
sakit kalo tak salah.
“Go,
kau sudah bangun kan?! Lihat tuh di kamar ibu, ibumu sudah pulang,” ucap Tante
Ulli.
Aku segera keluar kamar dan menemui ibu.
Ia tersenyum melihatku di pintu.
“Go,
besok ibu mau ke Bogor untuk proses penyembuhan sarafnya, ibu butuh ketenangan,
dan dokter menyarankan di rehabilitasi Bogor, gimana boleh tidak?” tanya Tante.
Meskipun Tante keras dan suka
ngatur-ngatur tapi aku suka tante yang demokratis gini.
“Kalo
itu buat kesembuhan ibu, aku setuju aja,” jawabku dan aku ke kamar mandi untuk
membersihkan diri.
Jam
dua siang Zie dan Rafa sudah menjemputku, lho padahal Zie bilang jam tiga, ya
tak apalah, aku pun ikut semobil dengan mereka. Heran juga, Zie mau ya akhirnya
deket sama Rafa.
Kami
sampai di depan masjid, Rafa memarkirkan mobilnya di bahu jalan tak jauh dari
gerbang masjid, sementara aku turun dan menuju gerbang masjid, Rafa tetap
menunggu di mobil, mereka bilang setelah mengantarku mereka akan ke gereja.
Tak
seberapa lama ada dua wanita berjilbab berjalan ke arahku, seorang aku
mengenalnya dan satunya tidak, pakaian mereka sama warna cokelat muda dengan
kerudung lebar dan bermotif bunga. Yang kukenal kerudungnya polos tak bermotif
satu pun, aku tahu kalau dia adalah Dyra.
“Sudah
dari tadi Zie, maaf ya kami membuat kalian menunggu lama….” Sapa wanita yang
tadi Zie bilang namanya Tari.
“Tidak
kok, kami yang terlalu bersemangat ke sini…” jawab Zie, dan mereka pun mengobrol
sejenak, aku melihat Dyra diam sibuk dengan ponselnya.
Tak
lama, seorang lelaki seumuran denganku tapi postur tubuhnya jelas lebih tinggi
aku. Dia Yusuf.
“Oh, Diego, ehm tidak usah canggung ayo ke
rumah….” Pinta Yusuf ramah, kami berdua
pun berjalan beriring ke rumah Yusuf.
Di sana aku dikenalkan dengan seorang
lelaki dia bernama Ustadz Hafez, dia imam masjid, orang tua Yusuf. Dia baik dan
sabar mengajariku. Mereka tak tanya latar belakangku dan aku juga enggan untuk
menceritakannya. Aku cuma bilang alamat rumahku, Om Han yang bekerja di sebuah
perusahaan, dan Tante Ulli yang seorang Guru, aku bilang mereka waliku.
Rumah
Yusuf sederhana tapi terasa sejuk, aku juga ditunjukkan tempat TPQ dan asrama
kecil yang digunakan untuk menginap siapa saja, semua yang di sini khusus
lelaki dan wanita dipisah dibatasi rumah Ustadz Hafez. Dari lihat-lihat tempat
aku kenal dengan beberapa orang, seorang akuntan di Bank bernama Ustadz Fauzan,
dan Seorang Dokter yang tak mau disebut ustadz, ia bernama Zaki, Mas Zaki begitu
ia menyuruhku memanggilnya.
Mereka
ramah dan baik, tak seperti yang kukira, hehm… senang juga belajar dengan mereka. Apalagi Mas Zaki,
jujur meski baru pertama aku ketemu tapi aku langsung kagum padanya.
Waktu
Ashar, kami sholat berjamaah di Masjid, yang jadi imam Ustadz Fauzan. Selesai
sholat aku mohon diri untuk pulang, Ustadz Fauzan menawarkanku untuk menumpang
di mobilnya tapi aku ingin jalan kaki saja. Dari sini lewat jalan pintas di
samping rumah sakit melewati are persawahan, mungkin cuma itu sisa sawah di
Jakarta, yang aku tahu sih… kalau lewat sana aku bisa melihat sunset, kan
keren….
Aku
jalan sendiri, tapi di tikungan sepi belakang rumah sakit tiba-tiba ada mobil
yang berhenti dan mereka langsung menghajarku, jika satu atau dua orang pun aku
yakin bisa menang tapi lima orang yang langsung mengeroyokku dan aku pun
terkapar di tepi sawah dengan luka memar dimana-mana. Aku tak sadar apa yang
terjadi, mataku terbuka perlahan dan aku sudah di suatu tempat yang lain. Ini
sebuah kamar. Tapi sepertinya bukan kamarku, hehm.. tempat apa ini, bau ini,
sepertinya aku di rumah sakit…
“Kamu
sudah sadar Diego…” ucap seorang laki-laki dengan baju putih, seragam dokter.
“Ehm… Mas, Mas Zaki ya?!”
“Iya,
tadi habis maghrib satpam menemukanmu di tepi sawah pingsan, kau kenapa,
sapertinya ada yang mengeroyokmu ya? Sayangnya waktu petang jadi tak ada saksi
mata yang, melihat kejadian itu.”
“Ehm, iya, tapi sepertinya ulah organisasi
itu.” Jawabku ngelantur.
“Apa?
Organisasi apa maksudmu?”
“Eh
tidak, aku tadi cuma bercanda, ehm… cuma ingat nama organisasi di komik
Detective Conan saja….” Hehm, tak mungkin aku menceritakan pada dokter ini,
bisa-bisa malah aku dibunuh dan lebih parah kalau dia yang dibunuh.
“Detective
Conan, kau suka, hehm… Dyra
juga suka baca Detective Conan….” Ucapnya
What,
Dyra, jadi Mas Zaki kenal Dyra, memangnya dia siapanya….
“Mas Zaki kenal Dyra?” tanyaku langsung.
“Ya,
sebatas tahu saja, sudah kamu istirahat di sini saja untuk malam ini, besok kau
baru boleh pulang.”
Dia berjalan keluar dari kamar inapku.
Sepertinya ia enggan membicarakan wanita. Hehm… kurapatkan selimutku dan
mengistirahatkan badanku yang terasa nyeri, untung aku pingsan jadi mereka tak
menghajarku berlebihan.
Pagi harinya aku pulang bersiap ke kampus,
Alhamdulillah, kesehatan ibu semakin membaik, jadi aku tenang hari ini. Dan selain
itu aku juga sudah enggan menyebutnya gila. Bagiku ia ibu terbaik di dunia ini,
dan dia tak gila.
Hari
ini cuma ada satu mata kuliah jadi aku bisa langsung pulang, dengan Viatku kuputar
arah, tidak ke rumahku tapi ke timur arah pantura, aku terus melajukan Viatku
menjauhi Jakarta, kota yang begitu ramai oleh ribuan orang, entah sudah
mencapai jutaan belum. Kadang aku ingin kembali ke Madiun saja, rumahku di sana
dikontrakkan, dan aku ingin ke sana meski aku sedikit lupa arah jalannya.
Sampai juga di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, dibilang ngebut, iya, aku
memang ngebut dan ingin segera sampai ke tempat tujuanku.
Jalan
bebas hambatan atau orang biasanya menyebutnya jalan tol, aku sudah sampai
Losari, berbelok ke selatan terus sampai menuju pantai Selatan. Jam tiga sore
aku sampai di pelabuhan Cilacap, sebentar lagi aku akan menaiki kapal dan
menuju ke Nusa Kambangan. Paparan pulau itu sudah ada di hadapanku. Tinggal
beberapa menit lagi.
Ayah,
Anakmu ini datang….
Gerbang
tahanan itu menganga dengan congkaknya, sepertinya di sana banyak sumpah keji
yang terlontar dari suara-suara naas yang bersembunyi di tiap balik jeruji besi
itu. Aku melihatnya seperti
penjara Azkaban saja dalam film Harry Potter. Dan polisi penjaga itu seperti
para Dementor yang matanya tak bisa berkedip.
Lima
menit aku menunggu di ruang tunggu, ayah sedang dipanggilkan oleh seorang
polisi penjaga bernama Chandra, aku melihat dari nama yang terpampang di baju
seragamnya.
Benar
saja, lima menit. Ayah datang dan langsung memelukku.
“Anakku….”
Suaranya terasa parau di telingaku, aku selalu merindukan suara ini, meskipun
wajahnya sangar tapi ayah tetaplah seorang ayah yang lembut dan rapuh pada
keadaan, ia menangis sambil memelukku.
“Bagaimana
kabarmu Nak? Kau sudah bukan berandalan lagi kan?! Firasat ayah kamu sudah
lebih baik, dan ayah percaya semakin kau dewasa kau akan semakin tahu jalan
mana yang memang harus kau tempuh, berhati-hatilah pada kawan, jangan sampai kamu
terjerumus, jangan seperti ayah Nak….”
Aku
diam mendengar tiap kata yang ia ucapkan dengan terbata-bata. Aku seperti kehilangan kata, semua
terjepit di tenggorokanku yang sesak.
“Kabar Rahma gimana Nak? Dia baik-baik
saja kan, ah.. dia pasti menderita karena aku, coba saja dulu aku tidak mencintainya
atau setidaknya aku sadar diri untuk tidak mengutarakan perasaanku, mungkin dia
tidak akan menderita seperti sekarang ini, mungkin dia akan bahagia dan tinggal
di keraton bersama keluarga Raja yang lain, kenapa ayahmu begitu bodoh dan
menjerumuskan ibumu yang baik hati itu…..”
Cukup
ayah, kau tak harus membodoh-bodohkan diri begitu, dan kau juga tak salah
menikahi ibuku, karena jika kau tak menikahi ibuku aku tak akan terlahir di
dunia ini, dan semuanya pasti tidak akan lebih baik dari sekarang ini.
Langganan:
Postingan (Atom)