Cari

-----------------------------

Kamis, 05 April 2012

Kata Kata Mutiara

Jika kekasihmu mengatakan bahwa cinta sejati ada dalam dirinya untukmu, maka ia sudah melakukan kebohongan besar, karena yang ada hanya nafsu belaka. Kasih sayang orang tua terhadap anaknya, itulah makna cinta sejati sebenar-benarnya.

Jika kamu menginginkan sesuatu yang belum pernah kamu miliki, maka lakukanlah sesuatu yang belum pernah kamu lakukan.

Jangan pernah bermimpi akan memetik buah durian jika yang kamu tanam adalah buah rambutan

Tujuan tanpa tindakan adalah khayalan, tindakan tanpa tujuan adalah mimpi buruk

Jangan mengharapkan kebaikan dari orang lain jika kamu tak memberikan kebaikan kepadanya terlebih dahulu

Tidak akan ada reaksi tanpa aksi, tak akan ada aksi tanpa rencana, dan tak akan ada rencana tanpa motivasi

Cara memulai adalah berhenti berbicara dan mulai mengerjakan

Semua yang sudah terjadi adalah pengalaman berarti, tak usah disesali, terutama kejadian yang melukai hati

Jangan terlalu senang mengumbar sedihmu, karena orang lain lebih senang melihat bahagiamu.

Perjalanan hidup itu seperti sebuah kapal, tentukan arah tujuan karena kamu adalah nahkodanya.

Jangan terlalu khawatir kamu tidak menemukan seseorang yang tepat, tapi khawatirlah jika kamu tidak bisa menjadi seseorang yang tepat.

Ketika merasa kesepian atau kecewa pada orang, jangan mencoba untuk mengubah mereka. Cobalah mengubah pandangan Anda untuk ikhlas menerima.

Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang paling kalian kasihi darinya mungkin akan lebih nyata dari kejauhan seperti gunung yang tampak lebih indah terlihat dari padang dan dataran.

Nilai dari seseorang itu ditentukan dari keberaniannya memikul tanggung jawab, mencintai hidup dan pekerjaannya.

Kerja adalah wujud nyata cinta, bila tidak dapat bekerja dengan kecintaan, lebih baik tinggalkan pekerjaan itu dan duduklah di gerbang rumah ibadah dan terimalah sedekah dari dari mereka yang bekerja dengan penuh suka cita.

Tidak ada sahabat sejati, yang ada hanya kepentingan.

Rumahmu tak akan enjadi sebuah sangkar, melainkan tiang utama sebuah kapal layar.

Inspirasi akan selalu bernyanyi, karena inspirasi tidak akan pernah menjelaskan.

Jika kamu tidak memamahi sahabatmu dalam semua keadaan, maka kamu tidak akan pernah memahaminya sampai kapanpun.

Kebijaksanaan tidak lagi merupakan kebijaksanaan apabila ia menjadi terlalu angkuh untuk menangis, terlalu serius untuk tertawa dan terlalu egois untuk melihat yang lain kecuali dirinya sendiri.

Jika didunia ini ada dua orang yang sama, maka dunia tidak akan cukup besar untuk menampung mereka.

Kita tidak akan mencapai kesuksesan dan keberhasilan seorang diri, hargai keberadaan orang lain yang mendukung keberhasilanmu

Selasa, 03 April 2012

Cara Bikin Animasi Lucu di Facebook

[[244961858909298]] = A
[[344113652270150]] = B
[[157919817645224]] = C
[[164461493653696]] = D
[[196752423751220]] = E
[[301630573215430]] = F
[[251496118250464]] = G
[[266394220086654]] = H
[[164866556948132]] = I
[[180599335371968]] = J
[[209067005843651]] = K
[[238594039545396]] = L
[[147702285338528]] = M
[[309221402452022]] = N
[[180901405340714]] = O
[[246506925416551]] = P
[[333343613344059]] = Q
[[123128367803569]] = R
[[316143388416019]] = S
[[334073456605673]] = T
[[199626093460643]] = U
[[224202614323263]] = V
[[157919817645224]] = W
[[205228226232732]] = X
[[142420399202282]] = Y
[[224202614323263]] = Z

[[252346194801306]] = RUMAH
[[266313623412267]] = PINGWIN LINUX
[[191560730921873]] = LOGO GOOGLE CHROME
... [[182809565135565]] = LOGO GOOGLE ++
[[242070735843795]] = LOGO SNAPTU
[[266910496686186]] = LOGO WINDOWS

[[258958334142268]] = LOGO ANDROID

[[249199828481201]] - Konata Izumi
[[250128751720149]] - Domo Kun
... [[223328504409723]] - Gintoki Sakata
[[236147243124900]] - Pokeball
... [[155393057897143]] - Doraemon
[[224502284290679]] - Nobita
[[144685078974802]] - Mojacko
[[334954663181745]] - Spongebob
[[196431117116365]] - Shin chan
[[138529122927104]] - Pedo Bear
[[269153023141273]] - Poring
[[332936966718584]] - Hello Kitty
[[252497564817075]] - Kerokeroppi
[[297354436976262]] - Santa Claus

[[157680577671754]] - Angry Bird

[[zuck]]
[[243344945733611]] = Repost
[[mahochat]] = Maho
[[203443053077888]] = I Love Kaskus
[[205827876172490]] = Bingung
... [[261018420628968]] = Thumbs
[[328740787138287]] = Nope
[[296027833771776]] = Capede
[[311851138846391]] = Alay
[[guengakak]] = Ngakak
[[171108522930776]] = trollface

[[foreveralonecomics]] = forever alone.

[[MegustaMeMe]] = Me Gusta.

[[149333368464171]] = Yao.

[[145768898802324]] = FUUUUUU.

[[168456309878025]] = LoL.

[[FapFapFapFap.B]] = Fap Fap Fap Fap.

[[106043532814443]] = Y U NO.
[[214457085240151]] = Nothing to do here.

[[129627277060203]] = Poker Face.

[[160723207280093]] = Are you f*cking kidding me?

[[ChallengeAceptado]] = challenge Accepted.See More.

[[yahoo]]
[[google]]
[[facebook]]
[[kaskus]]
[[amazon]]
[[youtube]]
[[googlechrome]]
[[opera]]
[[internetexplorer]]
[[flock]]
[[microsoft]]
[[microsoftword]]
[[microsoftexcel]]
[[microsoftpowerpoint]]
[[megaxus]]
[[grandchase]]
[[indovision]]
[[history]]
[[sony]]
[[nokia]]
[[telkomsel]]
[[windows]]
[[transformer]]
[[itones]]
[[photosop]]
[[126134560731830]] - hoam Ngantuk Rek
[[126386227373330]] - ketiduran
... [[391418139674]] - Nenek Sihir
[[110563818986950]] - wew
[[110566395653359]] - cat licking screen 

http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=312309238812552

Senin, 02 April 2012

Novel Puing Kanaya Karya : Widiya Sulistya art-II


Percikan Gerimis di Masjid Al-Muttaqin

Part.  2

“Diego

            Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi, huh… sudah waktunya aku bangun. Tapi kepalaku masih berat. Mataku memutar melihat kesekeliling kamar. Tempat tidurku cukup luas, sprei ungu tampak miring, tiga bantal acak tak karuan. Beralih ke monitor komputerku yang masih berkedip-kedip. Musik di tepe recorderkutak berbunyi hanya suara ngerr yang merusak pendengaran saja. Poster-poster yang menurutku keren terpampang tak tertata, buku dan majalah entah berserakan dimana-mana. Botol alcohol juga terpajang di meja belajarku tercampur dengan kaset-kaset gila yang pasti menumbuhkan birahiku. Buku-buku pelajaran, ah entah mereka ada di mana. Dan satu lagi logo bintang merah menyala gagah di dinding kamarku.
            Kamarku layaknya kapal pecah saja, semalam aku pesta dengan kawan-kawan gilaku. Mereka mabok di sini dan entah sekarang sudah kabur kemana, palingan juga di usir om Han.
            Dug dug dug ….
            Pintuku terdengar digedor seseorang, aku yakin itu om Han yang akan memarahiku. Ada-ada saja, di matanya aku memang selalu salah. Pintu kamarku terbuka dengan paksa.
            “Anak macam apa kau! Tak tahu sekarang jam berapa? Mau jadi apa kau nanti, hah?! Cepat bangun!!!” suaranya menggema menggetarkan seluruh dinding kamarku.
            Aku bangun tanpa ekspresi, kesal aku dengan om Han, yah mungkin niatnya baik, tapi aku malas kuliah….
Meskipun malas, akhirnya aku menuju kamar mandi juga, membersihkan diri lalu sarapan sendirian di meja makan, om Han dan Isterinya palingan sudah sejak tadi dan mereka pasti langsung berangkat kerja, Om Han akan pulang larut malam, benar-benar pekerja handal. Dan Tante Ulli paling nanti sore pulang, ia guru di sekolah dasar.
            Bi Hani datang menemuiku,
 “Ini susu cokelatnya, Den,” ucapnya seakan aku masih menjadi  anak balita yang sejak dulu ia asuh.
“Makasih Bi,” jawabku sopan, mungkin Bi Hani yang benar-benar mengasihiku, kadang aku berpikir aku tuh anak siapa… Om Han menikah dengan Tante Ulli, aku sudah kuliah, sebenarnya mereka baik tapi tetap saja, Tante Ulli bagiku terlalu perfect, jadi aku yang jelek begini malas bicara dengan dia. Sedangkan Om Han, dia tegas, sejak ayahku dipenjara Om Han semakin memperlakukanku terlalu tegas, aku sebal dengannya. Sempat beberapa kali logo bintang merahku dilepas, mungkin juga gara-gara Tante Ulli yang mengecek kamarku, sampai aku marah-marah dan ia tak berani lagi melepas logo itu.
Aku berjalan santai keluar rumah, kaos hitam dan celana borju ini sudah begitu kental dengan gayaku, apalagi dipadu tiga anting di telinga kiriku. Rokok ditanganku belum kuhisap masih mengepul di tangan.
“Go! Ego!” seru seorang wanita saat aku hampir melangkahkan kakiku melewati gerbang.
“Kamu sudah sarapan sayang? Minum susu? Hei, rambutmu acak-acakan, sini mama sisirkan, bajumu, coba deh kau ganti dengan baju yang lebih bagus, bilang sama Bi Rasti untuk menyiapkan pakaianmu, hati-hati ya Nak, kalau sudah sampai telfon mama ya, ehm.. kalau kau malas jalan kaki biar Mang Udin mengantarmu,” katannya bertubi-tubi.
Hehm… aku cuma mendengus pelan saat ia menciumi pipiku.
“Hati-hati ya sayang,” ujarnya seraya melambaikan tangannya
Seperti melepas anaknya yang baru masuk sekolah dasar.
            Hah… dia memang begitu…

All crazy life,
Around of me
And I don’t know,
Maybe someday will change….
In spite of hopping just silent in me

            Sampai juga aku di Kampus.
            Sepertinya aku terlambat, cewek tomboy yang biasanya menungguku di gerbang sudah tak ada, barang kali saja dia sudah masuk kelas. Dan aku terlambat, Huh.. peduli amat…
Kumasuki ruang kelas ini dengan tidak peduli padahal sudah ada dosen yang duduk ceramah. Rokok masih mengepul di tanganku dan aku tetap dengan ketidakpedulianku. Seorang malaikat menatapku dengan mata tajam yang suci, sejenak aku melirik matanya yang indah itu, hah… jika aku punya kesempatan bersanding dengannya betapa beruntungnya aku… tapi, tidak. Ia terlalu suci untuk bersanding dengan bajingan macam aku.
            Aku duduk di samping cewek tomboy yang langsung menyuruhku mematikan rokokku. Aku segera menurutinya dan duduk mendengarkan ceramah Inggris yang menurutku tak penting.
            “Lu terlambat setengah jam bodoh!” seru Zie, cewek tomboy yang sangat dekat denganku. Setelah kuliah selesai.
            “Biasa, ada Ibu yang gila gara-gara suaminya dipenjara, tadi dia memanjakan anaknya gitu,” jawabku langsung.
            “Dasar lu, memangnya dia nggak terapi lagi?”
            “Sudah terapi kemana-mana juga tetap saja, sepertinya dia hanya pura-pura gila dari pada malu pada tetangga.”
            “Ah sudahlah, tak usah menjelek-jelekkan ibumu terus, oya ini paper tugas individu yang kemarin, aku yakin lu belum mengerjakannya kan padahal hari ini harus segera dikumpulkan.”
            “Thanks, yapz… lu baik banget sih.”
            “Hehm… jangan kira gratis, langsung aja imbalannya mana?”
            “No problem, cewek cantik yang kemarin itu kan?! Aku sudah memintanya untuk nonton dan dia setuju, di atrium 07, nih karcisnya!” ucapku.
            “That’s great, lu tau aja gue sedang naksir sama Heres, I luv u guys!” serunya dengan tawanya yang manis.
            “Sini tugasnya,” pintaku.
            “Eits, tunggu dulu,ini terakhir, aku mau membuatkan tugas untukmu,”
            “Lho apa maksudmu, pasti Tante Ulli melarangmu ya?”
            “Tantemu yang cantik itu nggak melarangku, tapi aku berpikir kata-katanya saja, ada benarnya aku memang tak boleh memanjakanmu dengan membuatkanmu tugas, kalo membantumu sih tak masalah.”
            Aku diam saja mendengarnya, guru SD itu kadang-kadang terlalu ikut campur,huh…
            “Oya, tugas kelompok menterjemahkan ensiklopedi nggak sekelompok denganku, kayaknya lu bareng Niken, coba tanya deh, dari pada ntar ketinggalan sendiri, kasiankan kelompokmu…” ujarnya.
            “Siapa? Niken?! Bukankah lebih baik lu yang nanya, lu kan demen ma cewek kayak Niken,” timpaku.
            “Hehm, oke deh, thanks ya, lu ngasih kesempatan,hehe…”
            Setelah bicara itu, ia berlalu huh dasar cewek aneh, namanya Zieneta Arfi, aku biasa memanggilnya Zie. Ia cukup baik padaku, mungkin kalau dia normal aja pasti kupacari, hehe…
            Beberapa saat aku melihatnya bicara dengan Niken, sejenak tangannya membelai rambut Niken yang terurai, hi… kadang aku jijik dengan cewek lesbong itu, tapi dia temen yang baik kok..
            “Hei, kopiannya di Dyra, lu minta sendiri aja dengannya, aku gak nafsu sama cewek yang berjubah gitu,” ungkapnya.
            “Apa? Huh… gimana caranya aku ngomong sama cewek kayak Dyra?! Biasanya kan cewek-cewek gitu anti sama cowok, mending lu aja deh, lu kan sama-sama cewek…”
            Zie tak menjawab, cuma nyengir sambil ninggalin aku, huh…
            “Ego !” seru seorang gadis tinggi, molek, sexi, ah…
            Ia langsung memeluk dan menciumku.
            “Sore ini apa kau ada acara?” tanyanya.
            “Nggak, mang napa?”
            “Temenin aku ya say…?”
            “kalo ke salon aku malas.”
            “Nggak sayang, kita ke….”
            “Hotel Agri kamar nomor 70i setuju?!”
            “Ohw…. I agree with you,” bisiknya di telingaku sambil berlenggok menjauhiku.
            “Dasar, gadis bodoh!” umpatku dalam hati sambil berjalan menuju ke ruang kelasku.
            “Zie, sepertinya ucapanku kutarik,” ucapku setelah sepuluh menit berfikir.
            “Maksud loe?”
            “Tiket nonton bareng Heres kutarik, mungkin lebih baik lu ke Hotel Agri kamar nomor 70i,”
            “Lu mau menjebakku ya?!”
            “Aku janji dengan Nikita di sana, bukankah Nikita lebih sexi dari Heres?”
            “Gue nggak suka sek.”
            “Bulshit lu?!”
            “Sumpeh!”
            “Trus, aku gimana nih…?”
            “Layani aja…”
            “Gila loe?!”
            “Napa, takut ya?”
            “Gue males tanggung jawab.”
            “Bego! Pake pengaman dunkz…”
            “Tetep aja gue males.”
            “Bilang aja takut.”
            “Terserah loe!”
            “Ya udah, bilang kamu lupa or gimanalah,”
            “Tau ah…”
            Jujur aja aku tak suka bahkan tak sungguh-sungguh janji dengan Nikita, ah tu cewek gampangan banget sih…

            Pulang kuliah aku langsung pulang, kamarku seperti disihir saja sekarang sudah rapi banget. Hah, kadang aku merasa seperti putera mahkota saja, hehe…
            Setelah makan aku beranjak ngumpul dengan anak-anak bandku, aku drummer, Zie juga ikut tapi sepertinya dia tak datang ke basecamp ya dia kan mau nonton film sama Heres, huh.. cewek aneh…
            Ngomong-ngomong soal cewek, ada juga cewek yang lagi berjalan sendirian di depan tongkrongan kami. Biasanya kalo ada cewek lewat langsung semua beraksi kampungan banget memang yah kalo mereka mabok mang gitu, tapi mabok tak mabok kalo yang lewat tertutup rapat gini semua diam deh, tapi… aku melihat matanya, aku kenal dia, Dyra.
            “Dy….” Aku sendiri tak tahu kenapa tiba-tiba aku memanggilnya. Teman-temanku yang melihat kejadian itu menatapku dengan rasa heran banget… aku yakin itu. Tapi aku malah bingung pada diriku sendiri, aku harus apa, sedangkan gadis itu berhenti tanpa berbalik ke arahku. Akhirnya kakiku melangkah menghampiri wanita berjilbab itu.
            Aku diam sesaat mengatur nafas dan kata yang tepat untuk berbicara dengannya, ya baru kali ini aku mau bicara dengan gadis berjilbab ini.
            “Tugas menterjemahkan ensiklopedi itu, aku sekelompok denganmu kan?!” akhirnya aku menemukan kata-kata yang kupikir tepat.
            Dia hanya mengangguk pelan.
            “Kau sudah mengkopinya kan?!” lanjutku.
            Tanpa bicara ia hanya membuka tasnya dan mengambil buku fotokopian Ensiklopedi dan menyerahkan Ensiklopedi berbahasa Inggris itu padaku. “Bab ke 3 dan 4,” sepatah kata yang kudengar seperti sapuan angin yang lembut dan suci, benar-benar damai.
            “ Gak salah loe tadi bicara dengan siapa?” ujar Joe padaku.
            “Sialan loe, ya sama orang lah…”
            “Berani loe bicara sama cewek kayak dia,” sambung Ipang.
            “Lain kali sadar diri ya, hahaha….” Mereka menertawakan aku.
            “Diam kalian, harusnya loe semua malu, loe semua kalah sama Ego, liat aja gebetan barunya cewek muslimah, keren kan?!”
            “Dia bukan gebetanku, cuma rekan sekelompok aja,” jawabku sambil duduk di depan drumku dan siap menggebuknya. Akhirnya aku memainkannya juga dengan rasa yang benar-benar tak menentu.
            Aku tak sadar tadi, siapa aku dan siapa dia, kenapa aku berani benar memanggilnya tapi aku jadi semakin ingin memanggilnya. Semakin ingin mengenalinya semakin ingat matanya, huh.. drum semakin kukugebuk keras alunannya yang bar-bar seakan rasaku saja, tapi sungguh aku tak ingin perasaanku hanya akan menyakitinya saja, aku tak ingin dia ternoda karena Lumpur yang melekat di seluruh tubuhku. Lumpur hitam yang mengalir di aliran darahku. Aku terlalu kotor untuk bidadari seperti Dyra.
            Setelah itu aku pulang sambil membawa ensiklopedi itu dan berniat sungguh-sungguh besok aku harus menyelesaikannya.
            Entahlah aku tiba-tiba bersemangat jadi mahasiswa, hehm….
                                                     
            Aku masuk rumah sudah hampir Maghrib, tapi , hehm…
            “Anakku sayang baru pulang ya?! Kau sudah makan belum Nak, bagaimana sekolahmu? Kau tak dimarahi guru kan?!” suara dari orang yang harusnya membawa surgaku, tapi entahlah di telapak kakinya ada surgaku tidak.
            “Iya,” jawaban singkatku sambil senyum entah itu senyum apa yang jelas aku mencoba untuk tersenyum.
            Sejak ayah dipenjara aku memang sulit tersenyum dan ibuku jadi begitu. Huh.. sudah lima belas tahun lebih ayah berada di tahanan Nusa Kambangan, semua gara-gara tuduhan ayahku antek-antek PKI, kukira reformasi akan melepaskannya hehm nyatanya sama saja. Ayahku tetap di sana dan ibu tetap gila. Mungkin karena kekesalanku pada Negara aku jadi ikut-ikutan jadi komunis. Dan sengaja juga kupasang logo bintang merah yang selalu menyala megah di kamarku. Selain itu aku juga ikut organisasi bawah tanah.
            Triiiitt….
            Handphoneku berbunyi.
            “Apa?” jawabku langsung sambil merebahkan diri di tempat tidurku.
            “Ngumpul! Ada misi!” serunya.
            “Malas!” jawabku langsung.
            “Anjing Lu!”
            Kumatikan handphoneku. Hah, organisasi gila, mereka ingin jadi komunis, entahlah kenapa aku malas padahal awalnya aku sangat bersemangat, mungkin karena kemarin, tiga hari yang lalu aku mengunjungi ayahku.
            “Go, kau harus buktikan dalam dirimu mengalir darah nasionalisme!” ujarnya, “Yang berbakti untuk negeri Indonesia dan berjiwa Pancasila.” Lanjutnya lagi.
            Nasihat itu masih benar-benar nyata kuingat. Ayahku berbeda dari yang kulihat dulu. Aku memang jarang mengunjunginya tapi akhir-akhir aku mengunjunginya ia memakai peci bahkan waktu itu aku menunggunya sholat. Apa dia sudah punya Tuhan, lalu bagaimana denganku?
            Dari pada boring ngurusi organisasi gila itu akhirnya iseng-iseng kuhubungi Zie dengan ponselku,
            “Hei, gimana Heres?” tanyaku langsung.
            “Gila lu, masa gue disuruh nonton film yang nangis-nangis gitu,” jawabnya sebal.
            “Mampus lu!”
            “Kukira film horror biar dia meluk gue, hehe…”
            “Katanya dia suka drama percintaan gitu, ya kali aja lu bakalan tersentuh!”
            “Hah, ngantuk gue nonton film gitu.”
            “Oya, si Nikita gimana?” lanjutnya.
            “Gue gak dateng!”
            “Ati-ati lu, besok dia ngamuk-ngamuk…”
            “Biarin ajalah,”
            “Mang lu siap putus neh…?”
            “Gak masalah, kan masih ada lu Zie…”
            “Cih!”
            “Cepetan sembuh ya Say, aku menantimu….”
            “Shit..!!!” serunya kesal sambil menutup telfon.
            Hehm…. Dasar cewek aneh, coba deh kalo dia sembuh en normal. Pasti aku gak bakalan pusing-pusing nyari cewek lo aku lagi sumpek….
Sayangnya dia lesbong.
            Huh, malam semakin memalam saja rasanya, mataku memutar ke sekeliling ruangan kamarku ini. Malam ini aku sedang malas keluar rumah, palingan juga kalo keluar ujung-ujungnya aku mabok lagi. Lagian uangku mulai menipis gara-gara guru SD yang kadang-kadang ikut campur itu, jadi uang bulananku dikurangi, tau lah buat apa aku tak peduli. Yang jelas guru SD yang lumayan cantik itu membuat aku sebal saja.
            Mataku tiba-tiba melihat setumpuk perkamen di mejaku.  Tugas kelompok terjemahan bahasa Inggris.  Aku jadi ingat kalo aku sekelompok dengan wanita muslimah, Dyra. Entah kenapa aku jadi bersemangat mengerjakan tugas itu. Dan aku langsung menuju laptopku, laptop yang selama ini hanya kugunakan untuk copy paste tugas kali ini benar-benar untuk mengerjakan tugas. Mungkin malam ini laptopku tersenyum lega.
           
Kampus,
Menjadi tempat berkumpulnya berbagai manusia, dari yang pakaiannya terpotong-potong sampai kumpulan pakaian rapat bercadar. Aku menjadi bagian mahasiswa yang pakaiannya terpotong-potong. Gaya urakan aneh yang menurutku stile dan keren abis, kadang juga aku datang ke kampus dengan pakaian cuekku. Hah peduli amat. Mataku berputar mencari seorang wanita yang biasanya berjilbab besar warna cream, warna kesukaannya mungkin. Perkamen tugas di tanganku akan segera kuserahkan pada Dyra, meski aku ragu menemuinya. Aku tahu dia ada di mana tapi aku ragu, ya jelas saja, pakaianku begini dan lagi biasanya cewek-cewek gerombolannya kan anti cowok apalagi cowok berandalan macam aku. Setelah berpikir berkali-kali akhirnya kuberanikan diri juga, meski aku tahu barang kali dia tak akan mempedulikanku. Biar saja, toh tujuanku cuma ingin menyerahkan tugas ini saja.
            Kakiku melangkah pelan menuju gerombolan yang sibuk dengan kitabnya masing-masing. Sebenarnya aku cukup takut juga mendekati mereka, mungkin lebih baik jika Dyra kupanggil jadi aku tak perlu ke arah gerombolan itu.
            “Dy….” Suaraku keluar juga akhirnya. Tapi yang kurasa seperti ada busur panah runcing yang tepat mengenai wajahku. Aku merasa benar-benar salah memanggilnya.
            Ah peduli amat,
            Kakiku akhirnya melewati beberapa langkah.
            “Sori ganggu, nih paper terjemahanku,” ucapku sambil menyerahkan perkamen tugas di mejanya.
            Sesaat mataku ini mengarah pada matanya, terpancar kedamaian di sinar matanya yang bening itu. Tuhan….
Upst, kenapa aku tiba-tiba menyebut Tuhan…..

Matanya hangatkan pagi saja,
Berkilau oleh sinat mentari
Meski aku tahu aku tiadalah pantas dengannya
Bolehkan jika sekedar mengaguminya,
Karena aku takut mengusik keindahannya….

            Wanita itu langsung tertunduk menyembunyikan sorot matanya yang indah itu. Dan aku segera tahu kalau aku harus pergi meninggalkan perkamen tugasku yang melambai-lambai oleh angin seolah memanggilku.

            Sekarang aku sudah berada di depan ruang kelasku. Mencari-cari Zie yang entah ada di mana. Tapi,
            “Go, lu gila ya?! Napa kemarin lu gak dateng?!” seru Nikita langsung.
            “Sori Nick, gue lupa.”
            “Gak ada gunanya cowok kayak lu! Penakut!!!” ujarnya sambil berlalu kesal.
            “Thanks God,”  bisikku saat cewek gampangan itu berlalu menjauhiku. Hah, akhirnya aku terlepas darinya. Sebal juga pacaran sama cewek macam dia. Untung sih nggak ngeluarin duit tapi tetep aja buntung waktunya suruh sama dia mulu, ah nggak banget deh. Mending aku menghabiskan waktu sama sahabatku yang tomboy ini.
            Ternyata Zie sudah ada di sampingku, dia tersenyum getir melihatku.
            “Tobat ya, lain kali lu gak boleh mainin cewek lagi…” ungkapnya dengan nada suara lembut.
            “Ya, tergantung cewek macam apa dulu,” jawabku sambil melihat ke arah kumpulan wanita berjilbab.
            “Kamu, Zieneta Arfi?” suara itu membuat mataku beralih meskipun Zie yang dipanggil. Ternyata seorang laki-laki berbaju rapi berkaca mata minus. Zie tampak tersentak menatapnya, dia juga cukup kikuk beberapa saat meski ia segera bisa kembali cuek.
            “Mang napa?” jawabnya dengan nada yang kembali cuek. Zie mang selalu cuek pada lelaki, ya kecuali aku.
            “Kenalkan aku Rafanda, panggil aja Rafa, aku semester akhir jurusan Psikologi.”
            “Oh…” jawab Zie lebih tak peduli lagi dengan tidak membalas jabatan tangannya.
            “Boleh kita mengobrol sebentar?”
            “Gue sibuk.”
            “Keine problem, not now, pastinya kalo kamu punya waktu luang,” ujar lelaki itu tanpa memaksanya sedikit pun.
            Zie hanya tersenyum garing sambil berlalu denganku.
            “Sapa Zie?” tanyaku saat kami sudah ada di kantin.
            “Tau!”
            “Naksir lu kali…”
            “Cih!!!, enek gue ma cowok-cowok gitu, mungkin dia mau njadiin gue kelinci percobaannya, dasar !!” umpatnya kesal.
            Beberapa kali Zie memang didekati cowok dan kukira sih cowok itu mang beneran suka sama Zie, eh ternyata Zie dijadiin sarana penelitian buat paper tentang lesbian, kurang ajar banget tu orang. Zie bilang dia gak hanya benci cowok tapi dia enek sama mahasiswa psikologi yang sok tau. Kasian banget Zie, meski aku ingin dia sembuh tapi bukan dengan cara gitu kan…
            Kehidupanya memang tak seindah orang lain, sejak kecil Zie tak punya orang tua, dia tinggal di panti asuhan sampai waktu TK ia dipungut oleh keluarga dan diangkat jadi anak angkatnya. Hanya saja semua tak seindah yang ia harapkan. Kehidupan Jakarta berbeda dari kota Magelang tempat kelahirannya. Paparan mengerikan sudah ia lihat sejak ia kecil, mungkin kalo ingat kisahnya aku jadi merasa lebih beruntung. Padahal kami sama saja dari kumpulan orang-orang yang kotor.
Pulang kuliah,
            Aku sempat bertemu dengan lelaki bernama Rafa itu, dia mungkin sengaja menunggu Zie, tapi Zie tak segera keluar kelas entah dia tampak mengobrol dengan seorang wanita bercadar, sepertinya Dyra.
            “Kamu, Diego temannya Zieneta Arfi kan?!” tanya Rafa padaku.
            “Iya mang napa?”
            “Aku cuma ingin tahu hal kepribadian Zie.”
            “Terserah, tapi satu hal, kalo lu cuma mau memanfaatkan dia buat penelitian, mending lu gak usah kenal sama dia.”
            Aku berlalu meninggalkannya tapi belum sampat keluar gerbang aku dihadang oleh dua orang, aku tahu kaau mereka bukan mahasiswa sini. Salah seorang dengan janggutnya yang tebal dan seorang lagi berbacu biasa.
            “Siang Diego,” sapa mereka padaku. Aku tahu kalo itu cuma basa-basi saja.
            “Kenapa? Kalian bertugas menghukumku karena semalam aku gak ikut rapat?” tanyaku langsung, ya mereka berdua adalah anggota organisasi bawah tanah yang mungkin jadi antek-antek PKI.
            “Tidak, tak masalah kamu semalam tak datang, kami hanya ingin menasihatimu saja, kalo kamu harus berhati-hati karena sudah beberapa kali kau tak darang di perkumpulan. Mungkin untuk anggota lain dikenakan sanksi tapi entahlah, ketua tak membebankanmu sanksi karena itu kau harus lebih hati-hati,” terang mereka.
            “Makasih, aku tahu kok, dan aku memang sudah berniat keluar dari organisasi, aku sudah muak dengan komunis.”
            “Jaga ucapanmu Go, nyawamu terancam.”
            “Biar saja aku memang sudah muak, kebenaran yang kalian katakan Bullshit!”
            “Tapi Go, kita harus cari kebenaran termasuk otak di balik peristiwa G30S yang aku yakin bukan ulah PKI.”
            “Cari saja sendiri, beberapa hari ini aku berubah pikiran,” jawabku sambil berlalu meninggalkan mereka. Aku pulang dengan rasa lelah yang benar-benar menjalar.
            Di rumah aku tak disambut oleh ibu ku lagi, tumben kemana dia….
            “Kau sudah pulang Go?!” itu suara guru SD yang menjadi tanteku.
            Aku tak menjawab berlalu ke kamarku.
            “Sudah makan?” ternyata Tante Ulli mengikutiku sampai masuk kamar.
            “Aku mau ganti baju,” ungkapku supaya Tante keluar dari kamarku.
            Tante Uli keluar kamar dan pintu kukunci. Aku tak langsung ganti baju, tiduran sebentar merasa lelah. Mataku tertuju pada logo bintang merah itu, dan entah kekuatan dari mana aku bangkit dan melepasnya. Memasukannya dalam lemari dan tak berniat memasangnya lagi. Sebatang rokok kuhisap pelan, perutku terasa perih minta makan, aku keluar saja dari kamar, tapi guru SD itu ternyata menungguku di pintu. Kucuekin aja, biasanya juga gitu. Langsung ke meja makan. Dan makan.
            Tante Ulli duduk di sampingku, kenapa sih ni orang…. Setelah makan, aku beranjak pergi dari ruang makan itu.
            “Sebentar Go,” suaranya yang lembut itu, terasa di telingaku bahkan kadang bisa menggetarkan jantungku, makanya aku malas bicara dengannya.
            Aku diam saja dan tetap duduk di kursiku.
            “Habis ini kita ke rumah sakit,” ungkapnya.
            “Kenapa nggak minta anter Mang Udin aja, sekarang dia kan sopirmu…”
            “Tante ingin sama kamu.”
            “Aku bukan sopirmu.”
            “Tante yang nyetir kalo kamu nggak mau.”
            “Aku sibuk.”
            “Harus Ego!”
            “Maksa banget sih…”
            “Tapi ini harus.”
            “Iya,” jawabku singkat dan berlalu ke kamarku, mengambil dompetku dan kunci mobilku. Aku melihatnya membereskan meja makan dibantu Bi Hani.
            “Cepetan!” teriakku.
            “Sudah Non, biar Bibi saja, tuh sudah ditunggu Den Ego,” suara Bi Hani yang terdengar.
            “Makasih ya Bi,” itu suara guru SD yang jadi tanteku.
            Aku memanaskan Fiat hitamku, tak berapa lama Tante Ulli duduk di sampingku.
            “Nggak jadi pake mobil Tante?” ucapnya.
            “Stirnya nggak enak,” ejekku.
            Viatku melaju di lalu lalang Jakarta, kota yang makin lama makin ramai saja. My lecon sengaja kubunyikan biar dia tak mengajakku bicara. Akhirnya sampai juga di pelataran Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta. Ia mengajakku ke lantai tiga, dan tiba pula di kamar no. 237a.
            Pintu itu terbuka dan tampak seorang wanita separuh baya terlelap di tempat tidurnya.
            “Ibu….” Aku berlalu mendekatinya.
            Matanya terpejam seperti melepaskan rasa lelahnya.
            “Dia kenapa, mencoba bunuh diri lagi?” tanyaku tanpa menatap ke arah orang yang kutanyai.
            Tangannya mengusap kepalaku, “Kau sabar ya Go,” suaranya keluar juga akhirnya. Sebenarnya aku ingin menangis, “Tuhan… tolong Ibuku….”
Aku, aku menyebut Tuhan….
            Sungguh Tuhan, sembuhkan ibuku….. aku tak canggung lagi kali ini, aku akui,manusia tak akan jadi apa tanpa Tuhan, karena Tuhan yang menciptakan manusia, dan Tuhan pula yang Maha berkehendak.
            Tante Ulli terdiam menunduk, ia sedang berdoa. Aku mengikutinya saja dengan kata-kataku sendiri. Yang aku tahu, aku meminta pada Tuhanku.
            “Tante….” Suaraku memanggilnya. Mungkin ini kali pertama aku memanggilnya.
            “Kenapa Go?”
            “Ajari aku berdoa ya….” pintaku dengan penuh harap.
            Aku juga tak tahu, rasanya ada suatu hal yang menggetarkan sisi jantungku.
            Tante Ulli menatapku dengan matanya yang sayu, ia memelukku sambil menangis, “Pasti Nak, pasti…” suaranya parau tertahan tangis haru yang ia sembunyikan.
            Kami berdoa bersama.
            Sekitar pukul tiga Tante menyuruhku mandi untuk membersihkan diri dan ia mengajakku ke masjid, Masjid Al-Muttaqin.
            “Kamu sholatlah, jika kamu tak tahu gerakannya kamu bisa mengikuti saja imamnya, setelah itu minta ampun pada Allah, dan berdoalah untuk kesembuhan ibumu.” ucapnya sebelum masuk ke masjid.
            Aku diam mendengar kata-katanya. Dan memasuki masjid untuk sholat, ini kali pertama aku sholat, entah sudah berapa tahun, sejak ayah dipenjara, ibu gila, dan aku terlunta-lunta oleh kerabat yang mau mengurus aku dan ibuku. Di rumah yang mengurusi kami secara tetap ya para pembantu. Sampai akhirnya Om Han menikah dengan Tante Ulli dan tinggal di Jakarta bersamaku dan Ibuku. Tapi sudah lewat, aku masuk kuliah dan jadi komunis, aku sudah begitu jauh dengan Tuhan kali itu, dan kini aku bersimpuh lagi, aku bersujud lagi.
            “Ya Allah, Aku masih bisa jadi hamba-Mu kan?!”
                                                                                   

            Pagi hari aku bangun oleh Adzan Subuh yang kudengar dari masjid yang kemarin kudatangi, masjid itu memang bersebelahan dengan Rumah Sakit ini, aku diam tak tahu harus apa, sholat, ehm… aku tak bisa. Kemarin sholat ashar pun aku hanya ikut-ikutan depanku saja. Masih canggung dan sangat bingung. Dari kecil aku memang tak pernah diajari sholat, eh tidak sepertinya pernah tapi ketika aku masih SD, bayangkan saja sekarang umurku sudah berapa. Apalagi sejak SMA aku seperti enggan beragama meskipun dalam arsip, biodata atau apapun itu agamaku tertuliskan Islam.  Siapa yang mengajariku tentang agama dan sholat jika pelajaran agama di sekolah aku juga palingan bolos, untung saja aku bersekolah di tempat yang sangat santai dan tak peduli pada muridnya yang penting uang SPP lancar dan uang pembangunan lunas ya pasti naik kelas. Kemudian kuliah aku malah bertemu dengan rombongan organisasi aneh itu, ya sudah aku jadi tak kenal agama. Sebutan hak asasi manusia menjadi sesuatu yang memperkuat aku untuk santai, ya aku percaya adanya Tuhan tapi aku tak tahu apa agamaku, hanya percaya saja. Tapi kemarin aku tersadar selama ini aku melalaikan Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Sungguh aku semakin ingin bertobat. Semoga nanti ada yang membantuku.
Aku hanya sendiri menjaga ibu,  Tante Ulli semalam pulang dengan Om Han, sebentar lagi Bi Rasti datang menggantikanku karena aku harus ke kampus. Kutatap wajah sendu ibuku, sungguh sebenarnya aku sangat menyayangi ibuku. Wanita ini benar-benar kuat, meski otakntya kacau. Mungkin ia lelah dengan segala penderitaan hidup. Dia tak hanya dikucilkan dari warga sekitar tapi dari keluarganya juga. Orang tuanya sudah tidak mengakuinya. Yang masih sedikit peduli itu keluarga dari ayahku. Keluarga dari ibuku mana mau tahu tentang kami. Hubungan kekeluargaan kami sapartinya sudah putus. Ya sejak ayah dipenjara gara-gara dituduh PKI atau dia memang PKI ah entahlah tapi kurasa tidak, ayah bukan PKI. Kutinggalkan wanita berwajah sendu itu untuk mandi.  Setelah aku mandi Bi Rasti datang sekitar jam tujuh pagi.
            “Aden udah sarapan?” tanyanya.
            “Belum nanti di kampus saja,” jawabku.
            “Ini, bibi bawain Roti selai caramel sama telur mata sapi setengah matang, Aden kan suka, tadi yang mbuatin Non Ulli, katanya Aden wajib sarapan, ini juga titipan dari Bi Hani, cokelat manis, diminum Den mumpung masih hangat,” rayunya.
            Bisa saja dia merayuku, akhirnya kumakan juga bekal sarapan itu, sebenarnya banyak kok orang yang mempedulikanku, kenapa selama ini aku malah tak memperhatikan mereka?
            Selesai makan aku pamit untuk berangkat ke kampus,Viat hitamku yang menemani di lalu lalang kota pagi ini, Jakarta memang selalu ramai, pikirku. Karena itu  aku lebih baik jalan kaki dari pada harus mengantri macet seperti sekarang ini. Untung saja macetnya tak terlalu lama. Pembangunan jalan semakin bagus jadi macetnya berkurang meskipun tata letak kota belum begitu sempurna tapi mendinglah untuk mengatasi berbagai kemajuan teknologi karena manusia semakin malas menggerakkan organ tubuhnya.
            Ah tak tahu lah aku berpikir ke arah mana. Yang jelas aku masih bisa berpikir. Sampai di kampus aku memarkirkan mobilku. Belum juga aku keluar dari area parker itu aku dihadang oleh tiga orang. Aku tahu siapa mereka. Dengan wajah santai kuhadapi saja mereka.
            “Lu masih boleh milih?” suaranya terdengar menyebalkan di telingaku.
            “Aku sudah bilang kemarin dan gak berubah sampai detik ini.” Jawabku tenang.
            “Oke kalo itu maumu, meskipun Bos masih memberimu kesempatan, jika kamu masih ingin gabung datang di rapat ntar sore di markas gudang bawah tanah. Tapi terserah kamu…”
            Aku tak peduli omongannya, mereka berbalik dan pergi dari hadapanku membaur dengan yang lain hingga tak ada yang tahu mereka komplotan mafia kecil yang makin lama bisa besar kecuali banyak yang tobat. Kali ini aku yang berbalik dan….
            “Zie, sejak kapan lu di sini?” tanyaku kaget saat melihat Zie yang tiba-tiba ada di hadapanku.
            “Lumayan, sejak Viatmu masuk parkiran.”
            “Lu gak denger aku ngomong sama mereka kan?!”
            “Denger.”
            “Terus?”
            “Ya, aku mau tanya, lu mau rapat apa sama mereka?”
            “Hehm biasa orang iseng, tapi aku gak ikut rapat kok….”
            “Napa?”
            “Males aja…”
            “Oya, Tante Ulli bilang ibumu masuk rumah sakit lagi ya?” tanya Zie mengalihkan pembicaraan.
            “Iya, biasa orang gila jadi gitu. Eh sejak kapan guru SD itu selalu cerita-cerita urusanku denganmu?” kenapa Tante Ulli sampai cerita pada Zie.
            “Dia tak sengaja cerita kok, tadi pagi kan aku ke rumahmu, dia bilang lu di rumah sakit jagain ibu, eh tapi sepertinya Tante Ulli mengira kita pacaran, heh aneh banget, sapa lagi yang mau sama lu….”
            “Ih dasar, gue juga ogah sama lesbong macam lu…”
            Kami berjalan memasuki ruang kelas, bentar lagi juga ada dosen.
            Selesai kuliah aku dipanggil Mr. Albert. Entahlah urusan apa, kalo tugas sepertinya tugas individu aku sudah semua kan Zie yang  mengerjakan, hehe…
            “May be you know about some articles in ‘D’One’ tabloid, cause there is article from you?”
            “Article? Sorry, you are wrong Sir, cause I don’t write anything in this tabloid…”
            “But Diego is your name, isn’t you?”      
            “Yeah, you are right, but I don’t write anything Sir, may be just same of name…” tegasku sekali lagi, karena memang itu bukan aku.
            “This article about Learning History in Our Campuz… and it is Our Campuz….”
            “No Sir, it’s not by me….”
            “Obey, it doesn’t matter. And how about your Task? Ensiklopedi…” sepertinya ia merasa salah orang hingga ia menanyakan hal lain.
            “I’ve finished, but my group not yet.”
            “That’s right, may be next week your group must finished.”
            “Okay Sir, I’ll try, Thanks…”                                    
            “You’re welcome.”
            Aku pun kembali ke kelasku, sepertinya kuliah nanti aku bareng dengan Dyra. Ah aku jadi ingat wanita bercadar itu.
            Siang ini aku menuju masjid tapi cuma di depannya saja, bingung mau masuk, padahal tadi aku melangkah ke masjid gara-gara denger suara adzan. Kalau nggak salah ini waktunya sholat dzuhur.
            Seorang lelaki menghampiriku,
            “Kenapa berdiri saja? Kamu gak ikut sholat?” tanyanya sopan. Jarang sepertinya lelaki sopan seperti ini di lingkungan kampus sastra meskipun pasti ada. Kalau tidak salah ia anggota Rokhis, sejenis organisasi untuk mahasiswa yang suka ke masjid. Setahuku sih begitu. Kalau tidak salah juga namanya Yusuf.
            “Ehm….” Aku bingung sambil berpikir, aku kan gak bisa sholat…
            “Maaf, aku duluan, kalau kamu mau sholat segeralah menyusul sebelum terlambat.”
            Lelaki bernama Yusuf itu berlalu ke tempat wudhu, dengan canggung aku mengikutinya dan mengikuti tiap gerakannya ketika wudhu, entah itu benar tata cara atau kebiasaannya saja, aku gak tahu, dan aku cuma mengikutinya saja. Ketika sholat, aku berdiri di sampingnya dan sekali lagi aku cuma mengikutinya saja tanpa tahu ia membaca apa.
            Selesai sholat, kami langsung berpisah karena ia langsung ada kuliah sedangkan aku masih ada jeda waktu sekitar setengah jam, lumayan untuk istirahat.
            “Go, ngapain tadi lu di mesjid?” tanya Joe, dia vokalis di bandku. Anaknya urakan juga, tak jauh beda denganku. Dia mahasiswa Sastra Perancis. Meskipun tampangnya gila tapi dia cerdas lho…
            Aku tak menjawab hanya senyum saja.
            “Latian sembahyang ya…?” tanya Yosep, dia gitaris bandku, mahasiswa Sastra Rusia, tapi dia taat beribadah, dia Nasrani.
            “Masalahnya gue gak mau kalah sama loe…” jawabku asal.
            Baru aja aku duduk di kantin tiba-tiba mataku melihat malaikat berjalan sendirian dari musholah.
            Entah kekuatan apa tiba-tiba aku mengikutinya, mungkin Joe dan Yoseph hanya kaget melihatku mengikuti wanita berjilbab itu.
            “Dy…” suaraku keluar saat jarak kami hanya tinggal beberapa langkah saja. Yang kupanggil berhenti tanpa menoleh dan aku maju satu langkah, aku tak berani maju lagi. Cukup di sini saja.
“Minggu depan paper terjemahan harus segera dikumpulkan, tadi aku bertemu Mr. Albert dan beliau bilang begitu,” ucapku dengan kata yang kupilih secara hati-hati. Sebenarnya aku tak berniat bilang begitu tapi entah mungkin cuma kalimat itu yang bisa kusampaikan.
Wanita itu mengangguk pelan, dengan mata melihat ke arah bawah. Ia sepertinya enggan menatapku dan aku juga tak berharap, aku ingat kok siapa aku dan siapa dia lagi pula wanita seperti dia kan tak boleh menatap lelaki.                       
            “Permisi, aku buru-buru, ya, nanti aku bilang Niken, biar dia yang menjilid tugas kelompok kita.” Suaranya terdengar lembut meski terkesan cepat dan gugup.
            “It’s Okay!” jawabku santai. Dan dia pun berlalu cepat.
            Aku kembali ke kantin dan mereka seperti biasa memperolokku yang berani bicara sama cewek bercadar itu.
            Dari pada sebel-sebel oleh kata-kata mereka, aku akhirnya menuju kelasku. Tampak Dyra sudah di kelas bercakap dengan Niken. Tak berapa lama ia kembali ke kursinya saat seorang dosen memasuki ruang kelas ini. Prosa Inggris, begitulah mata kuliah kali ini. Dyra tampak asik memperhatikan tata cara pembuatan puisi bahasa Inggris, sepertinya dia begitu tertarik, upst kenapa aku malah memperhatikan Dyra….
            “Matamu dari tadi ke arah mana Go???” bisik Zie tiba-tiba.
            Upst, ternyata cewek yang satu ini memperhatikan aku….
            Aku tak menjawabnya hanya beralih menatap ke arah dosen. Dan kuliah pun kini terasa lebih menyenangkan.
            Pulang kuliah aku sengaja mengajak Zie ke rumah sakit, untung saja dia mau, padahal aku yakin dia mau karena sengaja untuk alasan sehingga tak perlu menemui Rafa yang tadi memintanya untuk ketemu. Ada-ada saja tuh cewek.
            “Eh Tante,” sapa Zie sambil menyalami Tante Ulli.
            Guru SD itu cuma tersenyum menyambut sapaan Zie.
            “Yang datang siapa Dik…?” suara ibu terdengar sangat lemah.
            “Ego, Kak sama pacarnya…” jawab Tante Ulli langsung.
            Upst, pacar…..
            Aku dan Zie cuma bertatapan saja,
            “Apa? Ego sudah bawa pacar? Hehm… anak mama ini…. Sini Nak, kenalin siapa namanya?” tanya ibu langsung.
            “Saya Zie, Zieneta Arfi,” jawab Zie
            “Cantiknya….” Ujar ibu, ah kupikir ibu ngaco, cewek macam Zie dibilang cantik, eh pas Nikita yang molek itu ke rumahku malah disebut cewek gak cantik, heran deh….
            Zie tersipu oleh pujian ibu, ia layaknya Dewi Arimbi yang dipuji Dewi Kunthi ketika bersama Bima, saking senengnya sampai Dewi Arimbi yang tadinya raksasa berubah menjadi Dewi yang cantiknya melebihi Bidadari. Hehm.. tapi Zie tak kan berubah jadi bidadari, mana ada bidadari tomboy macam dia.
            Ia bercakap akrab dengan ibu dan Tante Ulli, aku malah merasa asing atau memang ini tempatnya wanita ngerumpi jadi aku ngerasa nggak nyambung gini. Jika melihat ibu yang ceria begitu aku jadi senang, sedikit pun ia tak tampak gila, ia ngobrol dengan Zie sebagai ibu, bukan orang gila seperti biasanya. Tuh kan makanya kadang aku menganggap ibu cuma pura-pura gila saja dari pada malu pada tetangga.
            Sekitar pukul empat sore Zie meminta pamit pulang, aku pun mengantarkannya sampai rumah. Meskipun kami akrab sejak masuk kuliah tapi sekali pun aku belum pernah main ke rumah Zie, dia bilang dia bisa dimarahi kalo ada temannya yang main ke rumahnya. Aneh sekali keluarganya. Kalaupun aku mengantarnya paling hanya sebatas di ujung jalan saja tak sampai masuk rumah. Depan rumah saja tidak.
            “Sampe sini saja ya Go, makasih…” tuh kan belum juga masuk jalan eh sudah ngomong gitu.
            “Kali ini nyampe depan rumahmu, please….” Pintaku.
            “Lu mau gue dibunuh? Udah deh, pokoknya sampe sini aja.”
            Dasar keras kepala.
            Sengaja gas kutambah dan masuk ke jalan,
            “Eh, apa-apaan sih lu?! Turun sekarang!!! Ato gue loncat….?!” Teriaknya dengan muka marah.
            “Ih, jangan ngambek gitu dong, iya deh…” kuhentikan juga laju mobilku tepat di depan rumah mewah dengan cat pagarnya hijau tua. Di depan rumah tampak seorang wanita sedang menyirami tanaman.
            “Terlambat.”
            Suara Zie terdengar sangat kesal.
            Dia turun dari mobil dengan wajah kesalnya. Aku mengikutinya, wanita itu menatap Zie dengan matanya yang runcing.
            “Siapa Zie?” tanya wanita itu.
            “Temen.” Jawab Zie ketus.
            “Kayaknya ganteng juga nih, apa kau sudah sembuh Zie dan sekarang deket ma cowok….?!”
            “Terserahlah, enek gue sama lu!!!” suara Zie terdengar semakin kesal saja pada wanita itu.
            “Buruan pulang, ngapain juga di sini terus….!!!” teriaknya menyuruhku pulang.
            “Ya sudah Tante, aku pulang dulu.” ucapku dan pulang dengan pikiran aneh yang mengitari otakku. Wanita itu, mungkin dia ibu tirinya Zie, atau lebih tepatnya isteri baru ayah angkat Zie. Pantas saja Zie tak begitu suka dengannya.
            Kasihan dia,
            Keluarganya begitu, pantas saja ia enggan berusaha untuk sembuh.

            Setelah mengantar Zie, aku kembali lagi ke rumah sakit, malam ini mungkin aku akan tidur di rumah sakit lagi. Tante Ulli pulang, sepertinya aku tak punya teman jaga, dan satu hal yang membuatku sabal, dari tadi ibu mengoceh terus, dia mengoceh tentang keluarganya di Solo, dulu ibu memang orang Solo, sudah lama sekali ibu tak dianggap anak oleh keluarganya, kasihan dia.
            Dalam ocehannya, sesekali ibu menangis lalu memanggil nama-nama orang entah siapa mereka. Sepertinya saudaranya atau temannya atau entah siapalah. Yang paling sering disebut nama Aliya, sepertinya ibu sedang mengobrol dengan nama Aliya. Sesekali ia bilang,
“Kenapa dulu kau tak mengajakku saja ke Australi saja? Kau tahu aku kesepian di sini, kau enak di sana, oya kau tahu anakku sudah dewasa lho, dia tampan seperti Surya, anakmu gimana kau sudah punya anak kan? Jika laki-laki anakmu pasti setampan Hamsah suamimu ya, apa lagi dia orang Pajajaran kan tampan-tampan, kau benar-benar hebat, dijodohkan dengan orang yang sesuai kau suka, sedangkan aku, hiks…hiks…. Lari dari perjodohan dan menderita seperti ini, hiks…..hiks….”
Ia menangis juga akhirnya. Yang kutahu memang dulu ibu dijodohkan dengan seorang putera kerajaan di Solo tapi dia malah memilih Ayahku yang waktu itu tinggal di Madiun. Mereka menikah tanpa restu orang tua, mereka pun menetap di Madiun dan aku tumbuh di Madiun dengan penuh kebahagiaan tapi semua berubah saat ayah dituduh antek-antek PKI dan dipenjara, kalau tidak salah waktu itu aku kelas dua SMP sampai aku harus pindah ke Jakarta dan tinggal bersama Pak Dhe ku di Jakarta. Pak Dhe tak punya anak, jadi aku benar-benar dimanjakan tapi ibu semakin lama semakin aneh kelakuannya hingga ia harus masuk rumah sakit jiwa. Tapi usia pak Dhe semakin tua, ia pun menyusul Bu Dhe ke akhirat. Aku sendirian kali itu, terlunta-lunta dari keluarga ke keluarga yang lain. Entah sebab apa aku juga dapat bagian atas harta peninggalan Pak Dhe, ya maklum pak Dhe hanya tiga bersaudara dengan ayah dan om Han. Aku terlunta pun dengan entah paman atau bibi dari keluarga mana.
Sampai ketika om Han menikah dengan Tante Ulli dan tinggal serumah di rumah peninggalan Pak Dhe. Aku akhirnya punya keluarga tetap dan ibu kembali ke rumah dalam kondisi yang seperti itu.
Hari sudah malam, sepertinya ibu sudah capek mengoceh dan ia kini hampir terlelap.
Triiiit…..
Ponselku berbunyi,
 “Go, mamafin aku ya…” itu suara Zie.
“Hei… santai saja,” jawabku sambil melangkah ke luar kamar supaya tidak mengganggu ibu.
“Kau sudah lihat kan bagaimana sikap wanita itu,”
“Nyante saja Zie, jangan judes gitu sama dia.”
“Ugh…, oya Go, aku kok jadi ingin sembuh ya…”
“Apa? Tak salah nih…?”
“Rafa sering menelfonku, entahlah dia tahu nomorku dari siapa, sepertinya Heres yang memberikannya, atau Niken barangkali mereka kan gemes banget kalo denger ada cowok yang deketin aku…. Rafa sering bilang supaya aku deket sama cewek yang tak menimbulkan nafsu dan selanjutnya aku disuruh tanya-tanya bagaiman caranya jadi cewek, aku juga disuruh sering-sering ke gereja dan tanya pada biarawati  juga, aku disuruh untuk sering membaca Al-kitab, dia cerewet banget tau, kadang aku muak dengannya,” Zie menceritakan tentang Rafa dengan sangat bersemangat. Hehm, baru kali ini dia cerita cowok yang segitu perhatian padanya.
“Lu bisa kan menurutinya, yang dia suruh baik kok buat kelangsungan hidup lu, hehe…”
“Ngaco lu, huh tapi iya juga sih, cuma rada sebel aja.”
“Ehm, trus lu mau ndeketi sapa, mang ada cewek yang gak membuat jantungmu gak karuan???”
“Ada, Dyra.”
“What, Dyra, are you crazy girl…?!”
“Iya bener, lu tau dia keren banget, gue kira gak bakalan mau ngomong sama gue eh ternyata dia asik juga kok, ramah dan baik, beda sama orang-orang pesma yang kukira sebagian besar ogah ngomong sama orang gak bener kayak gue.”
“Gak salah lu, gue gak nyangka aja….”
“Ehm, besok juga gue rencana mau tanya-tanya supaya jadi wanita tenang macam Dyra.”
“Ya, moga sukses aja ya bro, gue pasti dukung lu…”
“Yoi coy, nais drim yah…”
Telfon kumatiin, hehm… Dyra, gak nyangka aja gimana jadinya cewek tomboy itu deket sama Dyra.

Pagi hari seperti biasa aku siap-siap ke kampus, bedanya aku sarapan di rumah karena tadi Bi Rasti dan Mang Udin datang lebih awal, dan mereka tak bawa sarapan untukku. Aku nyampai rumah dengan Viat hitamku, Tante Ulli masih menungguku untuk sarapan. Kami pun sarapan bersama, om Han juga belum berangkat.
“Nanti sore pulang kuliah kita ke rumah sakit bareng ya Go,” kata Tante Ulli setelah selesai sarapan.
Aku cuma mengangguk saja.  Sepertinya juga aku memang harus membatalkan ngeband bareng teman-teman.
Di kampus tak banyak hal istimewa. Aku kuliah bareng dengan Zie hanya jam terakhir itu pun dia langsung pulang dengan Dyra yang sudah menunggunya di depan kelas, aku sempat melihat matanya yang indah itu, wajahnya yang manis, dan senyum yang teriring saat ia bercakap dengan Zie,
“Sungguh Tuhan, ampuni aku jika telah lancang melihat wanita rupawan itu, aku hanya ingin mengagumi ciptaan-Mu saja dan tak bermaksud melihatnya dengan nafsuku,” bisikku dalam hati.
Mereka berjalan berdua entah kemana, dan aku hendak pulang tapi…
“Go, tar sore kita gak jadi nge-band kita mau pada tanding basket aja, lu mau ikut gak?” seru Joe tiba-tiba.
“Sori bro, gue gak bisa.”
“Napa loe, tumben-tumbennya loe ninggalin jadwal basket,” kali ini Hekkar yang menimpali, meskipun dia bukan anak band tapi aku mang selalu main basket bareng dia.
“Or loe pengen bowling aja neh, refreshing bro, yar otak loe gak spanneng gitu,”
“Sumpeh gue gi ogah ngapa-ngapa, nyokap gue masuk rumah sakit lagi dan gue pengen jagain dia.”
“Tumben loe perhatian ma nyokap, bagus deh lo gitu, kita jenguk kapan-kapan ya… jadi anak yang baik ya Go,” seru mereka sambil berlalu.
Aku tahu kok, mereka mang paham banget siapa aku dan gimana ibuku. Ya mereka kan biasa mabok di rumahku. Meski sejak Tante Ulli marahin mereka, mereka agak gimana kalo harus ke rumahku.
Tante Ulli, jadi inget, aku kan harus jemput Tanteku yang cantik itu di SD, kami kan janjian mau ke rumah sakit. Dia dah nungguin belum ya…
Tapi, ada satu gangguan lagi,
Geng bawah Tanah.
“Kamu mau coba pergi dari kami?!” seru seorang lelaki dengan dua gerombolannya, aku tahu kalo mereka bukan anak UI, dari wajah mereka pun sudah ketahuan.
Hehm, aku diam saja, dan….
“Pak satpam, ada orang luar mau mengeroyokku…!!!!!!” teriakku otomatis mereka pun panik dan melihat ke berbagai arah, kesempatan itu kugunakan untuk segera masuk mobil dan,
“Lets Go,” Viatku pun ngebut di garangnya lalu lalang kendaraan kota siang itu.
Tindakan konyol memang, sangat tidak gentleman, tapi apa daya, aku malas berkelahi, lagi pula berantem di kampus hanya akan menimbulkan hal-hal rumit yang aku enggan mengurusnya.
Viatku pun terus saja melaju, SDN kompleks Bayangkara, itu nama kompleks SD tempat Tante Ulli mengajar, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tante sudah menunggu di depan gerbang sembari duduk dengan beberapa rekan gurunya. Setelah melihat mobilku ia bangkit dan berjalan ke arahku.
“Langsung ke rumah sakit Go?!” tanyanya basa-basi.
Aku cuma mengangguk dan bersiap jalan. Sekitar lima belas menit kami sampai di area parkir rumah sakit, memakai lift ke kamar ibu, mengobrol sebentar dengan Bi Rasti yang sejak pagi menjaga ibu lalu terdengar suara Adzan dan Tante Ulli pun mengajakku ke masjid yang kemarin kami datangi, kalau tak salah namanya Masjid Al-Muttaqin.
Seperti kemarin aku hanya mengikuti saja gerakan-gerakan sholat, jujur, aku cuma tahu kalau aku harus membaca surat Al-Fatihah yang untungnya aku masih hafal sedangkan bacaan sholat yang lain aku lupa, huh… gara-gara alkohol yang meracuni otakku aku jadi tak bisa mengingat bacaan-bacaan sholat.
Selesai sholat kami berjalan hendak kembali lagi ke rumah sakit, tapi…
 “Diego…” seru seseorang, aku kaget sekali mendengarnya, sepertinya aku kenal dengan suara itu.
            Dan benar saja, Zie. Dia di masjid, heran aku. Dia tampak menarik lengan seorang wanita berjilbab, dia Dyra, wajah manisnya itu dari kejauhan juga sudah tampak di mataku…  Mereka berdua berjalan ke arahku.
            “Lu ngapain di sini?” tanya Zie langsung.
            “Harusnya aku yang tanya lu ngapain di sini…?” balasku. Terang saja aku heran, Zie kan Khatolik.
            “Aku sama Dyra,” jawabnya.
            “Oh…” jawabku pendek karena aku merasa seperti kehilangan kata melihat Dyra di depanku yang terus menunduk, sesekali ia menatap ke arah Tante Ulli. Ia tak mengeluarkan suaranya sedikit pun dan tenggorokanku pun serasa tercekik tak satu pun kata keluar untuk menyapanya.
            Ah, pasti wanita itu heran juga kenapa cowok berandalan macam aku ada di masjid.
            “Eh Zie…” sapa Tante Ulli yang berjalan ke arah kami. Dyra tambah semakin memperhatikan Tante Ulli.
            “Tante, ehm… ibunya Diego masih di rumah sakit?” tanya Zie akrab.
            “Iya, ehm kamu tak mampir menjenguk ibu, dengan temanmu juga, siapa namanya?”
            “Saya Dyra, Tante…” suara itu akhirnya  terdengar juga meski terasa sedikit canggung  sambil menyalami Tante Ulli.
            Akhirnya kami pun ke rumah sakit bersama.
            Mereka asik mengobrol bertiga dan aku diam karena leherku masih terasa seperti tercekik. Ternyata Dyra asik juga mengobrol, dia ramah dan mudah bergaul, kupikir.
            Aku tak banyak bicara, sampai di kamar Ibu pun aku cuma diam.
            “Siapa lagi Dik?” tanya ibu saat melihat Dyra memasuki kamar ini.
            “Ini Zie dan temannya, namanya Dyra…”
            “Oh….”
            Dyra menyalami ibu , dan mata ibu itu menatapnya tajam.
            “Nak…. Sepertinya ibu kenal denganmu…” kata ibu tiba-tiba.
            “Ehm,” Dyra tampak salah tingkah dengan kata-kata ibu, oh, please Bu, jangan kau tunjukkan kau gila di depan bidadari ini….
            “Melihat wajahmu, aku jadi teringat seseorang, aku sepertinya mengenalimu Nak…” suaranya lagi, sambil mengusapkan tangannya menyentuh kulit wajah Dyra, aku jadi semakin tak tahu harus bagaimana. Please Bu….
            “Oh, maaf Kak, jangan begitu, oh ya Dyra kau diajak Zie keluar…” kata Tante Ulli padanya, syukurlah Tante Ulli bisa menanganinya. Aku hanya terpaku di sudut ruangan ini.
            “Go, temani ibu dulu ya, Tante mau bicara sebentar,”  aku  mengangguk saja dan Tante Ulli keluar menemui Dyra dan Zie.
            “Maafkan Kak Rahma ya, kadang dia memang begitu.”
            “Tidak apa-apa Tante,” jawabnya dengan suara yang masih terdengar dari kamar ini.
            Langkah kaki mereka terdengar menjauhi ruangan rumah sakit ini, dan pastinya mereka pulang.
            “Go, mata wanita itu, mirip dengan mata Aliya, teman ibu sewaktu kecil….” Bisik ibu dengan suaranya yang merintih.
            Aku jadi ingat semalam ibu mengigau dan menyebut-nyebut nama Aliya, ah mungkin ibu kepikiran saja.
            Aku pun menenangkannya dengan kata sebisaku. Dan menyelimutinya. Tak berapa lama Tante Ulli kembali ke kamar ini dan kami pun menjaga ibu.


 


            “Go minum…” suara Joe menawarkan segelas minuman untukku. Kala itu aku lagi nongkrong di tempat ngumpul teman-teman yang cukup gila itu.   
            “No, Thanks….”
            “Rokok?” lanjut Joe.
            “No.”
            “Loe beda ya Go,” kali ini Ipang yang bicara.
            “Gak apa, lagi gak pengen aja…” jawabku sante…
            “Zie….” Panggilku pada cewek tomboy itu.
            “Napa?” jawabnya cuek tapi ia jalan juga ke arahku
            Sesampai dia di sampingku aku malah diam tak bicara apapun, aku sedang bingung dengan pikiranku sendiri, dari kemarin aku sholat, pertama waktu di ajak Tante Ulli di masjid dekat Rumah Sakit, terus di musholah kampus diajak mahasiswa rokhis yang kalau tidak salah namanya Yusuf, terus diajak Tante Ulli lagi, tapi aku nggak tahu bacaannya, cuma ikut-ikutan aja, aku cuma tahu baca Al-Fatihah yang syukurlah aku masih hafal, tapi bacaan lain aku benar-benar lupa, lupa atau malah tak tahu….
            Aku ingin bisa sholat.
            “Hei, kok malah diem sih…?” suara Zie seperti terdengar sebal kucuekin.
            “Tau tuh, Diego napa sih…?”
            “Loe naksir cewek lagi Go???”
            “Sapa Go, seksi gak neh?”
            Entah siapa lagi yang bicara kali itu, aku hanya mendengarnya samar-samar dan selanjutnya aku ngeloyor pergi dari kerumunan orang-orang itu, berjalan mengikuti arah kaki dan sampai di kamarku. Kuambrukkan saja badanku ini ke tempat tidurku, rasa lelah terasa menjalar di semua sudut ragaku.

I’m tired
With everything….
Cause, many mistakes there
And not to know, maybe…..
Want to be angel, and fly around
Never see darkness

            Pukul delapan malam, kubuka botol Sands untuk sekedar melegakan tenggorokanku yang kering, di samping botol Sands ada Bir yang menggodaku, kusembunyikan setanku, aku tak boleh minum lagi, cukup Sands saja jangan Bir, please…. Oh aku tak kuat rasa ini benar-benar menggerakkanku untuk mengambilnya. Tante Ulli menjaga ibu di rumah sakit, ia tak tahu dan ia tak akan  akan memarahiku jika aku tak sampai mabok, Om Han, hehm… dia juga belum pulang kerja lagian kalau pun melihatku minum Bir ia tak akan memarahiku, maklum dia ingat dia juga dulu begitu meskipun dia sama sekali tak menyentuhnya lagi setelah menikah dengan Tante Ulli.
            Sungguh, sepertinya aku akan kalah….
            Oh, Tuhan, ampuni aku……
            Dadaku sedikit lega perlahan, botol sands juga ku taruh lagi di kulkas. Tanganku bergerak ke arah botol Bir, tapi aku melewati Botol Bir itu dan menyentuh botol yang tak kalah dingin, air putih. Ternyata ini yang akan kuminum.
            Bismillahirahmanirohim……
            Rasa segarnya merasuk di tiap sel darahku, aku merasa di gurun pasir dan menemukan oase yang sejuk.
            Entah kenapa dadaku yang sesak menjadi lumayan tenang.

Seperti cahaya itu menerangiku,
Hingga berbisik pelan menyusup di sela otakku…
Entah apa ini,
Kerinduan pada cahaya
Yang kuharap muncul,
Ketika aku tersesat dalam kegelapan.

            Aku kembali ke kamarku dan meraih ponselku.
            “Zie, aku pengen belajar sholat,” ucapku tiba-tiba, entah heran juga atas dasar apa aku tanya peda Zie, dia kan Non-Islam kenapa aku bilangnya pada Zie… ah jika aku tahu nomor hape Yusuf saja aku pasti menghubunginya, tapi kalo bilang pada Tante Ulli atau Om Han, jujur saja aku malu…
            “Wah, bagus itu Go, ehm gimana kalo besok gue bilang pada Dyra biar dia yang mengajarimu…?” suara Zie terasa sangat segar di pendengaranku, tak salah nih, dia mendukungku….
            “Gila lu, dia kan cewek, pa lagi orang macam dia kan ogah lama-lama sama cowok…” jawabku karena merasa pilihannya kurang tepat, hehm, atau malah tidak tepat, mana mau cewek anti cowok gitu ngajarin aku…
            “Tenang aja Go, besok gue deh yang bilang…. Eh, gue gi ada tamu neh, sori ya, bye….” Ungkapnya.
            Tamu, mang sapa yang berani bertamu, malam minggu lagi, biasanya kan Zie asik dugen sama gebetan ceweknya….
            Tumben dia ada yang ngapel, ah biarin aja, yang penting besok aku ingin belajar sholat.
            Malam pun memalam dan aku tertidur pulas di kamarku.
Benar, cahaya itu….
Menerangi sepotong senyap kalbuku,
Semoga niat ini terlaksana….



 

            ‘Go, jam tiga sore ke masjid Al-Muttaqin, tar lu nebeng gue ma Rafa aja.’ Itu sepotong pesan yang terkirim jam delapan pagi tapi baru kubaca jam sepuluhan, maklum aku baru bangun….
Hari minggu memang waktuku bermalas-malasan.
            Masjid Al-Muttaqin, ehm di mana ya?! Oya, di deket rumah sakit kalo tak salah.
            “Go, kau sudah bangun kan?! Lihat tuh di kamar ibu, ibumu sudah pulang,” ucap Tante Ulli.
            Aku segera keluar kamar dan menemui ibu.
            Ia tersenyum melihatku di pintu.
            “Go, besok ibu mau ke Bogor untuk proses penyembuhan sarafnya, ibu butuh ketenangan, dan dokter menyarankan di rehabilitasi Bogor, gimana boleh tidak?” tanya Tante.
            Meskipun Tante keras dan suka ngatur-ngatur tapi aku suka tante yang demokratis gini.
            “Kalo itu buat kesembuhan ibu, aku setuju aja,” jawabku dan aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
            Jam dua siang Zie dan Rafa sudah menjemputku, lho padahal Zie bilang jam tiga, ya tak apalah, aku pun ikut semobil dengan mereka. Heran juga, Zie mau ya akhirnya deket sama Rafa.
            Kami sampai di depan masjid, Rafa memarkirkan mobilnya di bahu jalan tak jauh dari gerbang masjid, sementara aku turun dan menuju gerbang masjid, Rafa tetap menunggu di mobil, mereka bilang setelah mengantarku mereka akan ke gereja.
            Tak seberapa lama ada dua wanita berjilbab berjalan ke arahku, seorang aku mengenalnya dan satunya tidak, pakaian mereka sama warna cokelat muda dengan kerudung lebar dan bermotif bunga. Yang kukenal kerudungnya polos tak bermotif satu pun, aku tahu kalau dia adalah Dyra.
            “Sudah dari tadi Zie, maaf ya kami membuat kalian menunggu lama….” Sapa wanita yang tadi Zie bilang namanya Tari.
            “Tidak kok, kami yang terlalu bersemangat ke sini…” jawab Zie, dan mereka pun mengobrol sejenak, aku melihat Dyra diam sibuk dengan ponselnya.
            Tak lama, seorang lelaki seumuran denganku tapi postur tubuhnya jelas lebih tinggi aku. Dia Yusuf.
“Oh, Diego, ehm tidak usah canggung ayo ke rumah….” Pinta  Yusuf ramah, kami berdua pun berjalan beriring ke rumah Yusuf.
Di sana aku dikenalkan dengan seorang lelaki dia bernama Ustadz Hafez, dia imam masjid, orang tua Yusuf. Dia baik dan sabar mengajariku. Mereka tak tanya latar belakangku dan aku juga enggan untuk menceritakannya. Aku cuma bilang alamat rumahku, Om Han yang bekerja di sebuah perusahaan, dan Tante Ulli yang seorang Guru, aku bilang mereka waliku.
            Rumah Yusuf sederhana tapi terasa sejuk, aku juga ditunjukkan tempat TPQ dan asrama kecil yang digunakan untuk menginap siapa saja, semua yang di sini khusus lelaki dan wanita dipisah dibatasi rumah Ustadz Hafez. Dari lihat-lihat tempat aku kenal dengan beberapa orang, seorang akuntan di Bank bernama Ustadz Fauzan, dan Seorang Dokter yang tak mau disebut ustadz, ia bernama Zaki, Mas Zaki begitu ia menyuruhku memanggilnya.
            Mereka ramah dan baik, tak seperti yang kukira, hehm… senang  juga belajar dengan mereka. Apalagi Mas Zaki, jujur meski baru pertama aku ketemu tapi aku langsung kagum padanya.
            Waktu Ashar, kami sholat berjamaah di Masjid, yang jadi imam Ustadz Fauzan. Selesai sholat aku mohon diri untuk pulang, Ustadz Fauzan menawarkanku untuk menumpang di mobilnya tapi aku ingin jalan kaki saja. Dari sini lewat jalan pintas di samping rumah sakit melewati are persawahan, mungkin cuma itu sisa sawah di Jakarta, yang aku tahu sih… kalau lewat sana aku bisa melihat sunset, kan keren….
            Aku jalan sendiri, tapi di tikungan sepi belakang rumah sakit tiba-tiba ada mobil yang berhenti dan mereka langsung menghajarku, jika satu atau dua orang pun aku yakin bisa menang tapi lima orang yang langsung mengeroyokku dan aku pun terkapar di tepi sawah dengan luka memar dimana-mana. Aku tak sadar apa yang terjadi, mataku terbuka perlahan dan aku sudah di suatu tempat yang lain. Ini sebuah kamar. Tapi sepertinya bukan kamarku, hehm.. tempat apa ini, bau ini, sepertinya aku di rumah sakit…
            “Kamu sudah sadar Diego…” ucap seorang laki-laki dengan baju putih, seragam dokter.
            “Ehm… Mas, Mas Zaki ya?!”
            “Iya, tadi habis maghrib satpam menemukanmu di tepi sawah pingsan, kau kenapa, sapertinya ada yang mengeroyokmu ya? Sayangnya waktu petang jadi tak ada saksi mata yang, melihat kejadian itu.”
            “Ehm, iya, tapi sepertinya ulah organisasi itu.” Jawabku ngelantur.
            “Apa? Organisasi apa maksudmu?”
            “Eh tidak, aku tadi cuma bercanda, ehm… cuma ingat nama organisasi di komik Detective Conan saja….” Hehm, tak mungkin aku menceritakan pada dokter ini, bisa-bisa malah aku dibunuh dan lebih parah kalau dia yang dibunuh.
            “Detective Conan, kau suka, hehm… Dyra juga suka baca Detective Conan….” Ucapnya
            What, Dyra, jadi Mas Zaki kenal Dyra, memangnya dia siapanya….
            “Mas Zaki kenal Dyra?” tanyaku langsung.
            “Ya, sebatas tahu saja, sudah kamu istirahat di sini saja untuk malam ini, besok kau baru boleh pulang.”
            Dia berjalan keluar dari kamar inapku. Sepertinya ia enggan membicarakan wanita. Hehm… kurapatkan selimutku dan mengistirahatkan badanku yang terasa nyeri, untung aku pingsan jadi mereka tak menghajarku berlebihan.


 


Pagi harinya aku pulang bersiap ke kampus, Alhamdulillah, kesehatan ibu semakin membaik, jadi aku tenang hari ini. Dan selain itu aku juga sudah enggan menyebutnya gila. Bagiku ia ibu terbaik di dunia ini, dan dia tak gila.
            Hari ini cuma ada satu mata kuliah jadi aku bisa langsung pulang, dengan Viatku kuputar arah, tidak ke rumahku tapi ke timur arah pantura, aku terus melajukan Viatku menjauhi Jakarta, kota yang begitu ramai oleh ribuan orang, entah sudah mencapai jutaan belum. Kadang aku ingin kembali ke Madiun saja, rumahku di sana dikontrakkan, dan aku ingin ke sana meski aku sedikit lupa arah jalannya. Sampai juga di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, dibilang ngebut, iya, aku memang ngebut dan ingin segera sampai ke tempat tujuanku.
            Jalan bebas hambatan atau orang biasanya menyebutnya jalan tol, aku sudah sampai Losari, berbelok ke selatan terus sampai menuju pantai Selatan. Jam tiga sore aku sampai di pelabuhan Cilacap, sebentar lagi aku akan menaiki kapal dan menuju ke Nusa Kambangan. Paparan pulau itu sudah ada di hadapanku. Tinggal beberapa menit lagi.
            Ayah,
            Anakmu ini datang….
           
            Gerbang tahanan itu menganga dengan congkaknya, sepertinya di sana banyak sumpah keji yang terlontar dari suara-suara naas yang bersembunyi di tiap balik jeruji besi itu. Aku melihatnya seperti penjara Azkaban saja dalam film Harry Potter. Dan polisi penjaga itu seperti para Dementor yang matanya tak bisa berkedip.
            Lima menit aku menunggu di ruang tunggu, ayah sedang dipanggilkan oleh seorang polisi penjaga bernama Chandra, aku melihat dari nama yang terpampang di baju seragamnya.
            Benar saja, lima menit. Ayah datang dan langsung memelukku.
            “Anakku….” Suaranya terasa parau di telingaku, aku selalu merindukan suara ini, meskipun wajahnya sangar tapi ayah tetaplah seorang ayah yang lembut dan rapuh pada keadaan, ia menangis sambil memelukku.
            “Bagaimana kabarmu Nak? Kau sudah bukan berandalan lagi kan?! Firasat ayah kamu sudah lebih baik, dan ayah percaya semakin kau dewasa kau akan semakin tahu jalan mana yang memang harus kau tempuh, berhati-hatilah pada kawan, jangan sampai kamu terjerumus, jangan seperti ayah Nak….”
            Aku diam mendengar tiap kata yang ia ucapkan dengan terbata-bata. Aku seperti kehilangan kata, semua terjepit di tenggorokanku yang sesak.
            “Kabar Rahma gimana Nak? Dia baik-baik saja kan, ah.. dia pasti menderita karena aku, coba saja dulu aku tidak mencintainya atau setidaknya aku sadar diri untuk tidak mengutarakan perasaanku, mungkin dia tidak akan menderita seperti sekarang ini, mungkin dia akan bahagia dan tinggal di keraton bersama keluarga Raja yang lain, kenapa ayahmu begitu bodoh dan menjerumuskan ibumu yang baik hati itu…..”
            Cukup ayah, kau tak harus membodoh-bodohkan diri begitu, dan kau juga tak salah menikahi ibuku, karena jika kau tak menikahi ibuku aku tak akan terlahir di dunia ini, dan semuanya pasti tidak akan lebih baik dari sekarang ini.