Cari

-----------------------------

Senin, 02 April 2012

Novel Puing Kanaya karya : Widiya Sulistiya part-I



Percikan Gerimis
Di Masjid Al-Muttaqin



Cahaya suci, untuk hati yang sendiri,
Yang selalu dinaungi sepi,
Yang seolah tiada temani.
Cahaya suci, untuk hati yang gundah,
Lara oleh luka,
Hampa pada tawa,
Hilang bersama duka…
Cahaya suci, untuk sahabat sejati.

Senjurai

My Thanks f0r Allah…..

Mom and Dad, who love mE s0 mUch….
Adit
All my fRiEnds…….




Someone who give me tears and happiness
my “Shinichi”…..?





Life is a c0in,
U can spend it aNy way U wish
But U cAn spend it only
ONCE !
Prolog
           
            Ini adalah kisah, meski entah kisah apa, aku hanya menuliskan saja dari curahan mereka, karena kata bersembunyi di tiap bilik hati mereka. Tak kan terungkap jika tak kutulis.
            Aku mengenalnya sebagai gadis berjilbab, awalnya dia malah gadis biasa yang cuek tapi ramah, baik hati dan tak suka membeda-bedakan, pada akhirnya dia berjilbab juga, namanya Dyrania Zahara. Subhanallah… ya mungkin juga karena terpengaruh teman-teman dan dukungan dari orang tuanya yang tinggal di Australia. Ia mahasiswa yang cukup cerdas. Ia bilang ia ingin bekerja di Kedutaan Besar, jika ia tak berkesempatan di luar negeri di Jakarta juga dia mau, yang penting bekerja. Pertama ia ingin mengabdi pada orang tuanya, agama, Negara, tentunya jika pengabdiannya dirasa cukup baru deh ia ingin mengabdi pada suaminya. Ngomong-ngomong soal suami, semua wanita muslimah pasti menginginkan mendapat suami yang shaleh, dia juga. Dan aku pun sama, tentunya kalian juga kan?!”
            Satu lagi yang mencurahkan isi hatinya padaku, Diego Arfanda, begitulah namanya kukenal. Aku tak tahu bagaimana dia sebelum kutemukan yang aku tahu dia lelaki biasa saja yang punya cita-cita mengabdi untuk negeri ketika masih mahasiswa dia nakal juga bahkan ada yang bilang berandalan, ya aku cuma mengutip dari bagaimana ia menceritakannya padaku.
            Oya, dia tampan lho, hehe…
            Astaghfirulloh…..      
Masjid Al-Muttaqin,
Mereka akan menemukan percikan gerimis di sana
Meski bisa menjadi badai tapi
Percikan itu bisa juga jadi pelangi….


Cerminan hati wanita,
Ia layaknya fajar yang suci atau kilau senja yang merona,
kau juga akan melihatnya sebagai malam hening yang memantulkan kedamaiannya,
Bulan layaknya cahaya di pekatnya
Dan bintang adalah pelita yang menerangi gelapnya….

Pesona rupawan wanita,
Karena tiap wanita punya kecantikan, meski kadang tak bisa disadari dengan mata….

Gadis itu bernama Dyra,
Yang terlahir dari sebuah percintaan kudus….
Ia bersemi di tiap hati,
Dan kan terang untuk penyayangnya,
Gadis itu bernama Dyra,
Yang santun dan ramah….
Ya, gadis itu bernama Dyra.
Percikan Gerimis di Masjid Al-Muttaqin
Part.  1

“Dyra
Namaku Dyrania Zahara, aku mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Bahasa Jurusan Sastra Inggris semester tujuh. Aku kos di sini. Teman sekamarku bernama Ulya, Cut Ulya Habsyi, sahabatku ini bercadar, dia dari Aceh. Dia juga setingkat denganku, dan kami sering mengambil kuliah di waktu bersamaan, jadi bisa sering bareng. Dia dah kayak saudaraku sendiri. Kau tahu sendirilah bagaimana pergaulan di kota metropolitan ini, tapi aku bersyukur di sini aku dipertemukan dengan teman-teman yang baik. Selain Ulya aku juga punya kakak angkat, ya sebut saja begitu, namanya Lestari Attina, aku biasa memanggilnya Kak Tari, dia mahasiswa Psikologi semester akhir, bentar lagi juga wisuda. Di kosku sering disebut kos pesma aku sendiri tak tahu itu singkatan atau apa, yang jelas orang-orang menyebut begitu untuk kos yang berisi mahasiswa berjilbab besar atau bercadar. Aku termasuk yang berjilbab tapi tak bercadar, ingin sih mengenakan cadar, tapi masih ragu lagi pula, aku ingin lebih netral saja, ya semoga saja dengan seperti ini  bisa lebih menjagaku. Kami juga sering mengaji bersama atau kegiatan rohani lainnya. Meski kadang melelahkan tapi aku senang yah dari pada kegiatan gak bener seperti dugem de el el, lebih baik kan gini.
Pagi ini aku siap-siap berangkat ke kampus. Aku, Ulya dan teman-teman yang lain juga. Kami suka berangkat bergerombol seperti ini. Di jalan, kami bertemu dengan Ustadz Hanas dengan isterinya sedang olah raga pagi, Subhanallah…. Lihat saja matahari pasti tersenyum melihat pasangan suami isteri itu, Hehm… aku kapan ya? Upst, Astaghfirullah… apa-apaan sih aku ini, kenapa tiba-tiba berpikir gitu….
Kadang,
Kerinduan itu muncul
Karena tulang rusukku mencari badannya….
Entah siapa ia
Kuyakin yang terindah,
Yang sengaja Tuhan ciptakan
Untukku.

Malaikat, Tuhan mengirimkan malaikat terindah itu untukku. Dan aku percaya ia adalah malaikat itu, meski aku sendiri tak tahu siapa, yang jelas ia ada di suatu tempat yang suatu hari nanti akan Tuhan tunjukkan padaku.
Ia berjalan melangkahkan kakinya yang panjang, memasuki ruang kelasku ini. Gaya cueknya seolah tak peduli sudah ada dosen di ruangan ini, rokok di tangannya masih mengepul, ia duduk dengan sangat tidak peduli. Gadis tomboy di sampingnya  segera menegurnya untuk mematikan rokok, dan dia menurutinya lalu duduk santai. Melihatnya ngeri juga rasanya, bagaimana jika Tuhan menciptakan ia menjadi malaikatku? Entahlah… tak mampu otakku menjangkau ke arah sana.
Kubetulkan pemakaian kerudungku sekedar untuk melakukan aktivitas, dari pada mataku terus menatapnya. Dan aku kembali fokus dengan kuliahku.
Sekitar pukul 14.00, aku telah siap dengan paperku yang akan kukirim ke penerbit. Mungkin ini pemasukan dana buatku, ya karena tak enak jika selalu minta pada orang tua apalagi orang tuaku tinggal di Australia, Eyangku tinggal di Surakarta, jadi tak enak jika terus-terusan meminta pada mereka.
            Setelah menaiki angkot, aku berhenti di depan sebuah gedung penerbitan majalah. Aku tak perlu banyak omong di resepsionis, cukup dengan menunjukkan kartu anggota dari majalah itu dan menyerahkan artikelku kemudian tanda tangan, setelah itu tinggal mengecek rekeningku sekitar dua atau tiga hari, jika akan dimuat ya uangku nambah, jika tidak, usaha lagi dong…
            Pulangnya aku jalan kaki karena harus mengikuti Liqoh haflah Qur’an di Masjid Al-Muttaqin, yang letaknya memang tak terlalu jauh dari kantor penerbitan itu. Aku berangkat lebih awal jadi bisa istirahat dulu sejenak, beberapa akhwat juga tengah berkumpul di teras masjid. Yang bercadar abu-abu itu Ulya, teman sekamarku. Di sampingnya ada Zizah yang berkerudung putih, dan seorang lagi yang berkerudung cokelat aku tak kenal. Ternyata dia mahasiswa semester awal yang kos di tempat Zizah. Aku memperhatikannya terus hingga akhwat itu menyapaku sambil memperkenalkan diri, ternyata ia bernama Aliya, namanya sama dengan nama ibuku, mungkin karena itu aku suka melihat wajah manisnya, aku jadi kangen sama ibu, sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya.  Ibu orang Surakarta dan bekerja di Australia sebagai guru bahasa Indonesia, ia mengajar di sebuah universitas di Australia. Sedangkan Ayah, dia asli orang Kediri dan bekerja di sebuah perusahaan di Australi. Ah, aku kangen sama Ayah dan Ibuku….
            Pukul 15.00 tepat, Liqoh dimulai, ada sekitar tujuh akhwat dan seorang ustadzah pembimbing. Setelah itu aku langsung pulang sedangkan Ulya akan mengurusi kemuslimahan di basecamp mahasiswa Aceh.
            Di trotoar aku berjalan sendiri, sebenarnya akhwat tak boleh jalan sendiri tanpa mahramnya, tapi hal ini sudah menjadi biasa bagiku. Di jalan aku melihat seseorang, ya lelaki jangkung yang tadi pagi terlambat masuk kuliah. Ia nongkrong dengan beberapa kawannya, aku melihatnya menatap mataku, tapi aku segera menundukkan pandanganku.
            “Dy…”  suaranya terdengar memanggilku, dan entah kenapa, sisi jantungku tiba-tiba bergetar. “Astaghfirullah… jagalah hamba-Mu yang lemah ini Ya Allah…”
            Aku berhenti tanpa menoleh, ia menghampiriku dan berdiri di sampingku. Ia menghadap ke arah sampingku dan aku tetap menunduk menghadap depan. Pemandangan yang aneh mungkin, aku berkerudung besar begini dan lelaki di sampingku ini dengan pakaian berandalan yang sangat urakan. Tuhan… jangan bilang kalau ia adalah malaikat untukku, tapi kalau iya?!
Aku ingin tertawa tiba-tiba…
“Astaghfirullah… kenapa tiba-tiba aku ingin tertawa…” untung saja aku tak menghadap ke arahnya sehingga wajahku yang mungkin memerah tak akan terlihat olehnya.
            “Tugas menterjemahkan ensiklopedi itu, aku sekelompok denganmu kan?!” akhirnya ia buka suara juga setelah beberapa saat mungkin ia memilih kata-kata yang sesuai.
            Aku mengangguk pelan.
            “Kau sudah mengkopinya kan?!” lanjutnya.
            Tanpa bicara aku sudah tahu maksudnya, aku segera membuka tasku dan menyerahkan Ensiklopedi berbahasa Inggris itu. “Bab ke 3 dan 4,” ucapku singkat.
            Setelah itu aku melanjutkan kembali perjalananku ke tempat kos, tapi heran deh, tumben banget dia menanyakan tugas, aku memang baru pernah sekelompok dengan dia, tapi kata teman-teman yang pernah sekelompok dia tak pernah mengerjakan tugas, kalau tugas pribadi saja sahabatnya yang tomboy itu yang mengerjakannya. Sedikit tidak percaya memang, tapi biarlah barang kali saja dia benar-benar mau mengerjakannya. Meskipun aku sedikit khawatir mempercayakan dia.
            Satu hal lagi yang agak heran, dia kok mengenaliku ya… padahal mengenali orang berjilbab dari kejauhan kan sulit, dan dari dulu juga aku tak pernah bicara dengannya, apalagi mengenalnya, begitu pula sebaliknya, kenapa dia bisa kenal ya…
Ah sudahlah….
            Aku sampai di tempat kos sekitar pukul 16.30, untung tadi aku sudah sholat di Masjid Al-Muttaqin. Rasa lelah membuatku segera membaringkan diri. Kerudungku kulepas tanpa kutaruh di tempatnya, aku lelah sekali. Tapi aku segera sadar, tak boleh malas-malasan gini, aku bangkit membereskan kamarku dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, dan Subhanallah… wanita memang seperti ini, ya seperti tadi untungnya aku sudah sholat ashar di masjid. Setelah mandi kubatalkan shaumku dengan segelas air putih. Aku kembali ke kamarku, rekan-rekan yang lain mungkin pulang nanti ba’da Maghrib karena ikut buka puasa bersama dan sekalian sholat berjamaah, aku hanya dengan Hana yang menempati kamar sebelahku, mungkin dia sedang belajar atau membaca novel, maklum dia memang suka sekali membaca, apa saja, dari Al-Qur’an, kitab-kitab, majalah, buku pelajaran, sampai komik pun ia suka. Mungkin dia memang sudah kutu buku kelas kakap, kalau aku sih cuma buku-buku tertentu saja, maklum…
            Karena sepi begini akhirnya aku menuju ke laptopku, aku memang masih suka chatting, kadang juga baca komik detective… ya, tak ada salahnya kupikir, ini kan refresh otak…
            Adzan Maghrib membuat aku menghentikan chattinganku. Duduk tenang sambil berdzikir. Ba’da Maghrib teman-teman kos pada pulang, untung saja mereka membawa makanan untuk aku dan Hana.
            “Kau tak datang Dy? tanya Farah padaku.
            “Afwan, aku tadi sudah membatalkan puasa,” jawabku.
            “Ya sudah, kamu makan dulu ya Dik…”  ucap kak Tari lembut sambil memberikan sebungkus nasi padaku.
            Setelah itu semua kembali ke kamar, hening… entah apa saja yang mereka lakukan di kamar masing-masing. Ulya sama sepertiku sedang asik dengan laptopnya. Ya aku memang sedang mengerjakan terjemahan ensiklopedi, planningku aku mengerjakan empat bab, dua bab tugasku dan dua bab tugas lelaki berandalan itu, ya jujur aja aku memang agak ragu dan khawatir mempercayakan dia.
Malam pun memalam dan pagi pun akan menjelma.


 


Kampus,
Menjadi tempat berkumpulnya berbagai manusia, dari yang pakaiannya terpotong-potong sampai kumpulan pakaian rapat bercadar, aku termasuk di bagian itu meski kadang aku bosan dengan pakaianku.
            Akwat bercadar dan beberapa yang lain tidak tetapi tetap memakai jubah dan kerudung besar itu berkumpul dengan masing-masing membahas buku di tangan mereka. Tak berapa lama seorang pemuda jangkung dengan celana jeans borju yang berlubang,  kaos hitam polos yang bagian bawah kiri bertuliskan “Damn!”, di telinga kirinya terdapat anting berbentuk kancing hitam di alis kanannya juga dengan bentuk mutiara hitam. Rambutnya harajuku stile dicat merah maron, dan tiba-tiba pemuda itu memanggilku. Akhwat lain pun kaget olehnya, mungkin mereka akan lebih kaget lagi jika aku memenuhi panggilannya. Tapi kenyataannya aku memang tidak memenuhi panggilannya. Hanya jantungku yang tiba-tiba bergetar.
            “Sori ganggu, nih paper terjemahanku,” ucapnya sambil menyerahkan perkamen tugas di meja depanku.
            Sedikit mataku mencuri pandang ke arahnya, menatap wajahnya yang putih bersih, Subhanallah…
            “Dy, Gadhul bashar….”  bisik Ulya tiba-tiba dan aku segera menunduk, Astaghfirullah…. Aku segera beristighfar berkali-kali. Lelaki itu tersenyum tipis sambil berlalu meninggalkan perkamen tugasnya. Kertas di meja itu melambai-lambai oleh angin seakan memanggilnya untuk tidak segera pergi.
            Kuliah usai hari ini, hampir saja aku bangkit dari kursiku, tapi…
            “Dyra, ehm… sori Dyra yang mana ya?!” seru seorang gadis dengan pakaian aneh yang sama sekali tak menunjukkan kalo dia wanita. Gadis itu menatap aku dan Ulya yang duduk bersampingan. Ulya tak menjawab hanya menatapku dengan tatapan yang memicing. Ia sedikit tak suka dengan gadis itu. Ya, Ulya memang kadang terlalu fanatik pada orang-orang di sekitarnya. Sebenarnya kebanyakan keluarga kos pesma dimana saja memang cukup fanatik, meski aku tak ingin begitu.
            “Aku Dyra, ada apa ya?” tanyaku.
            “Aku ingin bicara denganmu,” ungkapnya dengan mata berharap.
            “Dy, kau tak lupa kan hari ini kau harus segera mengajar mengaji anak-anak panti di masjid?” kata Ulya seolah ia tak mengizinkan aku bicara dengan cewek berandalan ini, atau apa mungkin Ulya percaya gossip cewek ini lesbian, hehm.. entahlah.
            “Tidak Ulya, aku tidak lupa, tapi aku sedang tidak ke masjid, dan aku sudah bilang Zizah untuk menggantikanku,” terangku.
            “Ya sudah, aku pulang dulu ya, kau berhati-hatilah,” ucap Ulya aku tahu dia memang sahabat yang sangat perhatian.
            “Syukron ukhti…”
            Zie mengajakku mengobrol di kantin.
            “Kau ingin bicara apa Zie?” tanyaku langsung.
            “Makasih ya, kamu mau bicara denganku, ku kira orang-orang sepertimu enggan bicara dengan golongan Lumpur,” ucapnya.
            “Ah, kamu ada-ada saja.”
            “Dy, kamu satu kelompok dengan Diego kan?!”
            “Iya, dia juga sudah mengumpulkan tugasnya kok.”
            “Oya, hehm.. bagus deh, akhirnya dia berusaha sendiri.”
            “Dy, kamu pernah dijahati lelaki tidak?”
            “Alhamdulillah, bahkan kurasa aku tak pernah didholimi sesama manusia, memangnya kenapa?”
            “Aku sering Dy. Sampai aku benci sekali dengan lelaki, mungkin satu-satunya lelaki yang ku kenal dan ku anggap baik hanya Diego, teman-teman segeng atau anak-anak band pun tak sebaik dia.”
            “Memangnya ayahmu tak baik?!”
            “Ayah? Hehm, kalo dia tak jahat mungkin aku tak akan ditaruh di panti asuhan dan kalo ayah angkatku tak jahat juga ibu angkatku pasti masih hidup.”
            “Oh, maaf telah membuatmu semakin sedih.”
            “Tak apa, aku hanya iri pada kamu dan rekan-rekanmu, sepertinya kalian begitu damai menjadi wanita, tak seperti cewek-cewek pada umumnya yang tak lepas dari urusan lelaki.”
            “Kenapa musti iri, tak baik lho, kami sama saja denganmu, kadang juga ada masalah, tapi ikhlas dan tawakal serta ikhtiar untuk menyelesaikannya. Istilah bekennya dengan kepala dingin, slow but sure.”
            “Ah kau bisa saja, aku senang Dy, mengobrol denganmu, eh kau tak takut denganku kan?!”
“Takut, memangnya takut kenapa? Kita hanya boleh takut pada Allah yang menciptakan kita dan seisi alam semesta ini.”
            “Benar kau tak takut denganku meski aku lesbian?”
            “Jadi gossip kau lesbian itu benar?”
            “Kau tak akan menjauhiku kan?”
            “Tak apa, aku percaya Allah akan melindungi dan meridhoi persahabatan kita.”
            “Thanks Dy…”
            Aku pulang berjalan kaki dengan gadis tomboy itu, sepanjang jalan mungkin orang yang melihat kami akan heran, ah peduli amat toh kita sesama wanita tak salah jalan berdua.
            “Aku kos di pesma itu, kalau kau ingin main datang saja, setiap sabtu dan minggu aku cuma di kos.”
            “Iya makasih, rumahku jalan Kemayoran Lama, tak jauh juga dari sini, tapi maaf aku tak berani mengundangmu main ke rumahku,” ucapnya sambil tersenyum.
            “Lho memangnya kenapa?”
            “Rumahku terlalu kotor untuk wanita suci sepertimu.”
            “Jangan bilang begitu, aku jadi tak enak, ya kau bersihkan dulu dong sebelum aku datang…”
            “Ah kau ini, masalahnya ada Tante aneh, isteri baru ayah angkatku yang sekali pun aku tak ingin mempertemukanmu dengannya, dia itu seperti nenek sihir yang jahat.”
            “Hush jangan bilang begitu, tak baik….”
            “Hehe…. Sudah ya, aku pulang dulu.”
            “Iya, berhati-hatilah….”
            Gadis tomboy itu berjalan sendiri melalui garangnya siang, semoga dia baik-baik saja.
            Sesampai kos aku mengecek perkamen tugasnya, kemudian aku tersenyum puas. Tapi tetap saja sedikit tak percaya, ia benar-benar mengerjakannya atau dikerjakan orang lain. Tapi tak apalah, good work, padahal aku sendiri belum selesai mengerjakannya, mungkin aku terlalu menyepelekannya.
            “Bagaimana tadi dengan wanita itu?” tanya Ulya langsung.
            “Kami hanya mengobrol biasa.”
            “Ku dengar dia lesbian, apa benar?”
            “Setiap orang punya kelemahan masing-masing kan?! Bukan suatu hal yang dijadikan alasan untuk menjauhinya.”
            “Semoga Allah memberinya hidayah ya…”
            Amin…. Bisikku dalam hati.
            Kami terdiam dengan pikiran masing-masing.
            “Oya Dy,  aku tadi melihatmu menatap Diego,” ucap Ulya saat aku asik dengan laptop di kamarku. Aku cukup kaget mendengar Ulya mengatakan hal itu. Untung saja aku masih bisa mengendalikan diri dan menutupi rasaku.
            “Mungkin sebatas mengagumi saja,” jawabku santai.
            “Iya, tapi kau harus ingat, jangan sampai terlalu berlebihan,” ungkapnya sopan.
            Benar juga kata Ulya, sebenarnya aku ingin cerita tentang jantungku yang nyeri saat mendengar ia memanggilku. Tapi, aku sunggguh tak berani, biar sajalah aku yang merasakannya sendiri.
            Sekitar ba’da ashar teman-teman sekosku berkumpul di depan televisi, sepertinya mereka sedang asik membicarakan sesuatu. Ternyata Kak Tari yang sudah semester akhir itu dipinang. Hehm… pantas saja wajahnya yang lembut itu berseri-seri.
            “Kak Tari menerima pinangan dari siapa?” tanyaku pelan.
            “Ehm, Ustadz Fauzan. Alhamdulillah Dik, aku juga suka dengan kepribadian Ustaudz Fauzan. Orang tuaku yang memilihkannya dan Subhanallah, cocok dengan harapanku. Ya, siapa sih yang tidak berharap dapat suami yang shaleh,” ujar Kak Tari dengan senyumnya yang mengembang.
            Aku tersenyum senang atas jawabannya, tapi kata-kata terakhirnya membuat hatiku miris. Aku juga heran pada diriku sendiri, aku ingin memiliki suami yang shaleh, taat beribadah dan jelas dari keluarga baik-baik. Tapi aku juga tak mengerti mengapa jantungku bergetar ketika lelaki seperti Diego yang memanggilku, padahal semua juga tahu bagaimana laku berandalan itu.
            “Dy, kau melamun?” tanya Farah padaku.
            “Ah, tidak, aku hanya teringat sesuatu saja,” jawabku mengalihkan.
            “Farah, Dy kenapa?” tanya Kak Tari tiba-tiba.
            Farah diam saja sambil menatap ke arahku,
            “Kau jatuh cinta Dik…?” tanya Kak Tari langsung padaku.
            Dan entah kenapa aku menangis tiba-tiba. Rasanya aku bodoh sekali tak bisa menjaga hati dan mata, kenapa aku harus jatuh cinta sekarang dan pada orang yang sangat tidak masuk harapanku.
            “Dy, cinta itu bukan musibah, cinta itu anugerah dari Allah yang harus kita syukuri…” terang Farah.
            “Benar kata Farah Dik, kau tak harus menyesali rasamu, sekarang katakan pada kakak, siapa lelaki beruntung itu, jika dia sudah mapan dan siap ada kemungkinan kan dia segera melamarmu,” ujar Kak Tari sambil senyum.
            Mendengar kata-kata itu tangisanku malah semakin menjadi. Kak Tari segera memelukku erat,
            “Adikku….” Bisiknya sambil mengusap rambutku.


 


Pagi ini aku siap untuk kuliah, seperti biasa aku berangkat dengan kawan-kawanku. Hari ini aku berniat tak ingin memikirkan lelaki yang terus-terusan mengisi fikiranku. Huh, menurutku tak penting.
            “Dik, waktu itu kau bilang kau jatuh cinta dengan siapa Dik?” tanya Kak Tari tiba-tiba.
            Waduh… baru saja aku berpikir untuk tak mengarah ke sana….
            “Lho, kapan aku bilang jatuh cinta? Rasanya aku tak pernah bilang kok…”
            “Waktu kau menangis, meskipun tak kau lisankan tapai kakak tahu dari wajahmu….”
            “Ah, tidak kok…. cuma kurang cermatnya aku menjaga pandangan,” jawabku.  Ya, aku masih enggan untuk berpikir ke arah sana.
            Kami pun melanjutkan perjalanan ke kampus.
            Sesampainya di kampus, aku tak sanggup melihat lelaki itu, di kampus aku hanya menunduk dan berusaha menghindari agar tidak berpapasan dengannnya. Aku terus saja bergabung dengan akhwat lain dan menyibukkan diri dengan apapun yang jelas jangan sampai mataku mencarinya.
            Takdir mungkin, sehabis Dzuhur aku berjalan sendirian dari mushola kampus hendak ke kelas. Dan…
            “Dy, “
            Suara itu benar-benar membuat sisi dari jantungku bergetar. Aku ingin segera berjalan cepat seolah tak dengar panggilannya dan berlalu menghindarinya, tapi aku tak kuasa melangkahkan kakiku yang tiba-tiba berhenti.
            Lelaki yang memanggilku kini menghampiriku. Aku terpaku dan terus menunduk, berusaha tak melihat wajahnya.
            “Minggu depan paper terjemahan harus segera dikumpulkan, tadi aku bertemu Mr. Albert dan beliau bilang begitu,” ucapnya sopan.
            Aku mengangguk pelan, tumben kata-katanya sopan, ah tidak. Setiap bicara denganku dia selalu memilih kata-kata yang sopan. Hehm…
            Astaghfirullah, aku tak boleh begini.                                             
            “Permisi, aku buru-buru, ya, nanti aku bilang Niken, biar dia yang menjilid tugas kelompok kita.”
            “Its Okey!”
            Aku pun berlalu cepat.

Keraguan membuat nyeri hatiku,
Entah apa ini…
Kadang terasa seperti serpihan kaca yang mengenai jantungku
Nyerinya tak bisa kutahan….

            Di kelas Ulya duduk di sampingku. Kami diam tak bicara apapun, aku menatapnya yang menunduk memainkan buku di tangannya. Sepertinya ia sedang tak tertarik untuk membaca. Aku menunggunya saja barang kali ia mau bicara denganku, tapi ia diam saja. Niken memasuki ruang kelas ini dan duduk di barisan depan. Aku beranjak ke tempatnya.
            “Ken, ini tugas paper terjemahan milikku dan Diego, nanti kumpulkan semua dan dijilid. Minggu depan dikumpulkan di tempat Mr. Albert,” ucapku.
            “Siap bos!” jawabnya sambil senyum, rambutnya yang lurus tergerai dengan dihiasi pita warna pink yang manis. Wajahnya cantik dengan make up minimalis dan lipgloss pink yang bertenger di bibirnya. Setelan rok panjang hitam dan kaos putih, pullover pink, manis sekali, sepatunya hitam dengan garis putih dipadu kaos kaki corak putih pink, she’s perfect I think, but she’s not Moslem
            “Eh, Dy, tunggu dulu Baby…, aku ingin bicara sebentar.”
            Aku menunggunya sambil tersenyum dan berbalik menatap wajahnya yang kini sedikit tampak serius.
            “Kau mengerjakan tugas Diego ya?”
            “Tidak, memangnya kenapa?”
            “Gini, kudengar Zie, sahabat karibnya itu sudah tak mau mengerjakan tugasnya, jadi kupikir kamu yang mengerjakannya, ehm.. apa mungkin ia mengerjakan sendiri…?” ujar Niken heran.
            “Ya barang kali saja dia memang mengerjakan sendiri.”
            “Hehm, kalau begitu berarti dia sudah mulai bersemangat untuk jadi manusia,” celoteh Niken diiringi tawa kecilnya.
            “Dasar, ada-ada saja kau ini,” timpalku dan kembali ke kursiku.
            History of  England menjadi menu kuliah siang ini, setelah itu kuliah pun usai. Kini Ulya menatapku dengan mata dinginnya.
            “Aku ingin bicara denganmu,”
            Dan mata kami saling bertatap.
            “Tadi siang ba’da Dzuhur aku melihatmu berbicara dengan Diego,” ungkapnya.
            Oh, jadi ini yang membuat Ulya diam denganku.
            “Iya, tadi dia bilang padaku tentang tugas kelompok kami,” jawabku mencairkan suasana.
            “Aku tak masalah kau bicara dengan siapa dan tentang apa, aku hanya mengingatkan saja, hati-hati dengan pandangan.”
            Kata-katanya tajam mengarah padaku, selanjutnya kami berjalan pulang ke kos.
            Benar kata Ulya, huh.. mungkin aku terlalu memanjakan pandanganku. Hingga aku terseret arus….
Pandangan itu anugerah,
Meski seringnya menjadi busur panah setan….
Dan ia menikamku, dengan rasa sakit yang tak kumengerti….
Adakah aku kalah dan terperosok?
Atau aku memang menjatuhkan diri ke jurang tanpa dasar itu….
Mana kutahu,
Semua begitu cepat, dan aku tak tahu sisi mana yang kulalui.


 


            Sampai di kos aku langsung bersiap, hari ini aku harus mengikuti liqoh di Masjid Al-Muttaqin, aku dan Ulya berjalan barsama ke masjid itu. Sesampai di sana sudah lengkap dan langsung dimulai saja, siraman rohani serasa memang penyejuk hati dan fikir setelah benar-benar seharian dengan kesibukan duniawi.
            Adzan berkumandang sebagai tanda waktu Ashar sudah tiba, kami mengakhiri liqoh, dan sholat berjamaah di masjid. Hawa sucinya benar-benar terasa. Masjid ini bukan masjid terbesar, ya sederhana tapi manis, sejuk dipandang mata dengan warna marmer hijau yang menjadi lantai serta kubah perak yang selalu tampak megah. Di halaman masjid ada banyak pepohonan, benar-benar sejuk terasa apalagi ditambah dengan sungai buatan yang bermuara di sebuah kolam kecil, di sana ada banyak ikan yang tak berhenti bermain dengan air terjunnya.
            Yang datang tentu saja orang-orang sekitar, terutama pegawai rumah sakit ataupun rekan dan keluarga pasien, sangat cocok untuk tempat bertafakkur dan memohon, bertobat dan berdoa untuk kesembuhan pasien. Meskipun di rumah sakit ada musholahnya tapi mereka lebih banyak yang ke sini. Subhanallah… masjid ini seakan punya aura yang membuat kita betah berdoa di sini.
            Aku keluar dari masjid, duduk di pelataran masjid sambil menunggu Ulya yang sedang mengembalikan buku di perpustakaan masjid. Mataku melihat sekeliling. Tiba-tiba mata ini tertuju pada dua orang, seorang lelaki dan wanita berjalan keluar area masjid ini. Tak salah, aku kenal lelaki itu, dia Diego. Dan wanita itu, aku tak tahu. Dia masih muda meskipun tetap saja jika dibandingkan dengan Diego lebih tua wanita itu, sepertinya wanita itu kakaknya, dia memakai celana panjang dan baju lengan panjang yang nampak rapi, rambutnya lurus diikat dengan jepit rambut warna cokelat sesuai dengan celana yang ia kenakan.
            “Hei, melamun….” tegur Ulya tiba-tiba.
Aku cuma tersenyum kecil dan selanjutnya kami pulang ke kos.
Mata ini seringnya tanpa sadar menemukannya,
Meski aku tak mencarinya,
Huh, entahlah….


 


            Kampus,
            Sepertinya jalan hidupku berputar antara, kos masjid dan kampus kadang aku ingin berlalu ke bar atau ke mana saja seperti saudaraku di Amerika, benar-benar berbeda hidupku dengannya.
            “Dyra, ehm kamu Dyra kan?!” tegur Zie dengan pakaiannya yang aneh tiba-tiba muncul dihadapanku.
            “Iya, kenapa? Belum hafal dengan kerudungku…?!” jawabku sambil berbalik menatapnya.
            “Ehm, maaf, orang berjilbab dari belakang kembar semua, kadang juga dari depan tampak mirip-mirip, hehe… Oya, kita bisa mengobrol lagi kan?!”
            “Sepulang kuliah aku ke penerbit mengantarkan artikelku lalu aku harus  nemenin temanku di masjid untuk mengajari anak-anak yang belajar mengaji, ehm… kalau kamu mau mungkin kita bisa bareng sekalian kalau kamu tak keberatan untuk menemaniku, ya soalnya aku sendirian,” terangku lengkap.
            “Beneran nih aku boleh ikut….?”
            “Tentu saja, kenapa tidak?!”
            “Thanks Dy…”
            Benar saja sepulang kuliah aku melihat Zie di depan kelas kuliahku, maklum kuliah terakhir tadi kami tak bareng.
            “Kita jalan kaki Dy…?” tanyanya.
            “Tidak kita naik angkot saja,” kami naik angkot bersama.
            Seperti biasa aku tak perlu berlama-lama di resepsionis, cukup dengan menunjukkan kartu anggota dari majalah itu dan menyerahkan artikelku kemudian tanda tangan, setelah itu tinggal mengecek rekeningku sekitar dua atau tiga hari, jika akan dimuat ya uangku nambah, jika tidak, usaha lagi dong… minggu kemarin aku juga sudah dapat honor, ya lumayan bisa untuk membeli novel…
            Zie mengikutiku terus, dia seperti asistenku saja, hihi… jarang-jarang aku punya asisten… sesekali dia bertanya apa aku tidak panas dengan pakaianku, eh tidak sesekali tapi beberapa kali dia menanyakan begitu.
            Ia juga bertanya tentang berbagai hal, tentang wanita dan bagaimana seharusnya seorang wanita itu. Ia juga bercerita dari kecil ia diperlakukan selayaknya anak laki-laki.
            “Aku bahkan tak tahu caranya menjadi wanita,” ungkapnya sendu.
            Semua berawal sejak ia diadopsi oleh keluarga yang tak punya anak. Seorang wanita datang ke panti tempat ia tinggal, dan mengajaknya untuk tinggal bersama. Dua hari di rumah itu Zie sangat senang, ia mempunyai ibu yang sangat baik padanya, tapi semua berubah saat suami ibu itu yang notabene ayah angkat Zie pulang dari luar negeri. Dan menemukan Zie, ya dia tak terima karena adopsinya anak perempuan, meskipun ibu ingin tetap mengadopsinya. Entahlah sejak itu Zie selalu didandani sebagai laki-laki, jika ibunya memakaikan rok ibunya akan dipukul, hehm… keji sekali memang sampai ibu angkat Zie meninggal dan Zie langsung dijadikan seperti laki-laki, berandalan urakan sampai lesbian. Tragis sekali kedengarannya. Aku sendiri tak bisa membayangkan, aku bersyukur nasibku jauh lebih beruntung dari Zie meski sejak SMP aku juga tak tinggal dengan orang tuaku.
            Kami sampai di masjid, Masjid Al-Muttaqin.
            “Ehm, Dy apa aku boleh masuk ke masjid?” tanyanya padaku.
            “Lho, kenapa tidak?”
            “Ehm, aku Khatolik.”
            “Owh, tidak apa-apa, masuk saja, kau tidak sedang berhalangan kan?!”
            Zie cuma tersenyum dengan pertanyaanku.
            “Lagian kita juga tidak masuk ke masjidnya, kita akan di tempat ngaji, TPQ-nya, ehm kalau kau tak mau ke TPQ mungkin kau bisa ke perpustakaan, di sana ada banyak buku tentang wanita, kau boleh kok membacanya,” terangku.
            Zie tersenyum senang atas ucapanku, dan aku mengantarnya ke perpustakaan masjid. Di sana ada Kak Tari dan Zizah.
            “Assalamu’alaikum……” sapaku.
            “Wa’alaikum salam,” jawab mereka kompak.
            “Eh Dy, kau dengan siapa?” tanya Zizah, ia memang tak kenal Zie, maklum Zizah kan mahasiswa Fakultas Pendidikan, jadi letaknya jauh dari Fakultas Sastra.
            “Ini Zie temanku, Zie kenalkan ini Zizah dan Kak Tari…” ungkapku.
            Beberapa akhwat di situ tercengang melihat aku membawa Zie, memang pakaian Zie yang metal itu sangat mencolok di antara kami yang keseluruhannya berjilbab.
            “Sementara Zie akan di perpus dulu sambil menungguku mengaji di TPQ, ehm kak Tari mau kan menemaninya…?” ujarku.
            “Tentu saja,” jawaban Kak Tari yang diiringi senyum yang membuat aku lega.
            Aku dan Zizah ke TPQ, kami di TPQ puteri dan di TPQ putera sepertinya ada ustadz Fauzan calon suaminya Kak Tari, meskipun Ustadz Fauzan sudah bekerja tapi ia selalu menyempatkan waktu untuk TPQ, kalau tidak salah dia bekerja di sebuah Bank. Yang satunya Ustadz Zaki, ehm… ustadz Zaki itu, favoritnya anak-anak pesma lho, hihi… wajahnya memang tampan dan dia juga sudah jadi dokter, dia asli orang Aceh tapi tinggal di rumah Ustadz Hafez, katanya sih masih ada hubungan saudara, meskipun Ustadz Zaki cukup istimewa tapi aku lebih suka Akhi Yusuf yang sederhana, dia anak bungsu Ustadz Hafez. Dan kuliah Sastra Arab di kampusku juga, kalau tidak salah dia semester tujuh sama denganku.
Astaghfirulloh, kenapa aku jadi membanding-bandingkan mereka sih…
            Dari kejauhan tampak Kak Tari yang menerangkan sesuatu pada Zie, mungkin tata cara berpakaian kali ya, biar Zie tak memakai baju anehnya lagi.
            Adzan Ashar memanggilku untuk segera ke masjid. Kak Tari tidak sholat jadi ia tetap bersama Zie di perpus.
            Setelah itu kami pulang. Zizah ke kosnya dan aku berjalan dengan Zie, sedangkan Kak Tari tetap menjaga perpus sampai nanti jam lima sore ia ditemani  Ukhti Nisa, mereka berdua mahasiswa semester akhir, Kak Tari di Psikologi dan Ukhti Nisa di Pendidikan, bahkan aku dengar dia sudah mengajar di sebuah Sekolah Dasar tak jauh dari sini.
            Belum sempat keluar gerbang masjid tiba-tiba,
            “Diego…” seru Zie, aku kaget sekali mendengarnya.
            Dan Zie pun menarik lenganku ke arah Diego.
            “Lu ngapain di sini…” tanya Zie langsung.
            “Harusnya aku yang tanya lu ngapaen di sini…???” balasnya. Terang saja Diego heran, pastinya Diego tahu Zie non-Islam.
            “Aku sama Dyra,”
            “Oh…” jawabannya pendek dan seperti tak mempedulikan aku di situ, ehm tidak ia sedang mencoba menjaga pandangannya, ah mungkin pikirku saja.
            Tapi heran juga kenapa cowok berandalan ini di masjid.
            “Eh Zie…” sapa seorang wanita ramah, dia wanita yang kemarin kulihat. Kali ini pakaiannya juga tetap rapi. Hanya saja ia memakai rok hitam panjang dan baju warna cream lengan panjang juga, rambutnya tetap diikat dengan pita warna cream. Sepertinya ia punya koleksi banyak ikat rambut di rumahnya.
            “Tante, ehm… ibunya Diego masih di rumah sakit?” tanya Zie seolah mereka sudah sangat akrab.
            “Iya, ehm kamu tak mampir menjenguk ibu, dengan temanmu juga, siapa namanya?”
            “Saya Dyra, Tante…” jawabku canggung sambil menyalami wanita itu.
            Akhirnya kami pun mampir ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya Diego yang sedang sakit.
            Dari obrolan kami, aku tahu kalau wanita itu Tantenya Diego yang bernama Ulli, dia guru di sebuah Sekolah Dasar.
            Diego tak banyak bicara, sampai di kamar Ibunya pun Diego cuma diam.
            “Siapa lagi Dik?” tanya ibu setengah baya yang terbaring di tempat tidurnya.
            “Ini Zie dan temannya, namanya Dyra…”
            “Oh….”
            Aku menyalami seorang Ibu, itu ibunya Diego, Rahma namanya, dan mata ibu Rahma menatapku tajam.
            “Nak…. Sepertinya ibu kenal denganmu…” kata ibu Rahma tiba-tiba.
            “Ehm,” aku tak tahu harus menjawab apa, entahlah kenapa aku sampai kehilangan kata-kata begini, padahal tak biasanya aku begini.
            “Melihat wajahmu, aku jadi teringat seseorang, aku sepertinya mengenalimu Nak…” suaranya lagi, sambil mengusapkan tangannya menyentuh kulit wajahku, aku jadi semakin tak tahu harus bagaimana.
            “Oh, maaf Kak, jangan begitu, oh ya Dyra kau diajak Zie keluar…” kata Tante Ulli padaku, aku tahu maksudnya supaya ibu Rahma tak menanyakan hal macam-macam lagi.
            “Go, temani ibu dulu ya, Tante mau bicara sebentar,” Diego mengangguk dan Tante Ulli keluar menemui aku dan Zie.
            “Maafkan Kak Rahma ya, kadang dia memang begitu.”
            “Tidak apa-apa Tante,” jawabku.
            Kami pun pamit dan pulang, sampai rumah aku kepikiran ibunya Diego terus, entahlah kenapa aku seperti terikat sesuatu yang aku sendiri tak tahu.


 

            Hari Minggu aku tak ada kuliah, sengaja kuhabiskan waktuku di kos, kadang-kadang aku pergi ke perpus masjid menemani Kak Tari tapi aku lebih senang di kos untuk menyelesaikan artikelku.
            “Dik, kau tak kemana-mana?” tanya Kak Tari tiba-tiba.
            “Eh, iya Kak, Ulya pulang ke Aceh satu minggu ini jadi aku sendirian terus, kakak sendiri belum ke perpus?”
            “Tidak, tadi Zizah sama Aliya sudah di sana, mereka bilang ini hari special untuk aku libur, hah ada-ada saja mereka, mungkin nanti kalo kakak sudah pindah dan menetap di Bandung mereka yang akan menggantikan kakak untuk menjaga perpus, kakak jadi merasa lega Dik…”
            “Ujian kakak sudah selesai belum?”
            “Tinggal revisi skripsi, ugh… padahal tinggal nunggu disetujui aja, yang satu ini mbikin pusing…”
            “Sabar kak, jika semua dijalani dengan ikhlas pasti menyenangkan kok… pasti kakak sudah tak sabar ingin menikah ya jadi kepikiran pengen cepet-cepet lulus….”
            “Ih kamu, nte atuh Neng, ya kalo sudah lulus kuliah kan enak…”
            “Oya Dik, temanmu yang tomboy itu saha atuh Neng namanya?” lanjutnya, aku tahu yang ia maksud adalah Zie.
            “Dia ingin benar-benar jadi wanita Kak, namanya Zie.
            “Subhanallah, bagus Deh kalo gitu, dari pada urakan…..”
            Kak Tari masuk ke kamarnya dan sepertinya ia juga akan asik dengan laptopnya untuk mengerjakan entah apa.
            Aku kembali fokus dengan artikelku. Tak berapa lama,
            Triiit….
            Hand phone ku berbunyi, ternyata telepon dari Zie,
            “Halo,” sapaku.
            “Dyra kamu ada waktu tidak? Temanku minta diajari sholat….” Ucapnya.
            “Subhanallah… Benar Zie, untuk belajar aku pasti ada waktu.”
            “Ehm, nanti sore ya….?”
            “Insya Allah, eh temanmu itu siapa Zie?” tanyaku penasaran.
            “Ada deh, surprise nanti…”
            “Wanita kan?!”
            “Bukan, dia cowok….”
            “Oh, kalo gitu afwan ya Zie, aku gak bisa ehm, tapi aku punya teman yang bisa bantu, nanti aku hubungi dia dan temenmu itu bisa bertemu dengannya, ehm, kalo orangnya sudah kuberi tahu nanti aku sms kamu ya Zie,” terangku.
            “Ya sudah kalo gitu, Thanks ya Dy….”
            Subhanallah, siapa ya yang akan belajar sholat, hehm, orang yang ingin belajar supaya lebih baik, benar-benar istimewa kupikir.
            Aku sebenarnya tak tahu hendak menghubungi siapa….
            “Kak, bisa bantu Dyra tidak?” pintaku pada Kak Tari.
            “Insya Allah, kalo kakak bisa Dik…”
            “Ehm, seorang laki-laki ingin belajar sholat, kira-kira pada siapa ya Kak yang tepat…”
            “Ikhwan ya? Bilang pada Ustadz Hafez saja biar mengaji bersama ikhwan yang lain…. Nanti kakak bilang pada Umi Sarah isterinya Ustadz Hafez, biar dia yang bilang langsung pada Ustadz Hafez…”
            “Ya sudah kalau begitu, syukron ya kak….”
            “Ana bikhoir.”  Jawabnya.
            Setelah itu, aku segera menghubungi Zie,
            ‘sudah Zie, nanti yang ngurus Ustadz Hafez, rumahnya di belakang Masjid Al-Muttaqin yang kemarin kamu kuajak ke sana, tau kan?! Ajak saja temanmu ke sana, nanti insya Allah, aku menjemput kamu di gerbang, kamu ikut aku dan biarkan teman cowokmu itu ke rumah Ustadz Hafez, oke Zie, Semangat ya….’
            Pesan singkat itu kukirim ke nomor Zie.
            ‘Thanks Girl’ balasannya.
            Sore hari, sekitar pukul tiga, aku ditemani Kak Tari ke Masjid, di gerbang ternyata sudah ada Zie dan seorang lelaki, Masya Allah, lelaki itu adalah Diego…
            “Sudah dari tadi Zie, maaf ya kami membuat kalian menunggu lama….” Sapa Kak Tari.
            “Tidak kok, kami yang terlalu bersemangat ke sini…” jawab Zie.
            Aku diam mendengar mereka bercakap-cakap. Sambil diam kuketik sms untuk Akhi Yusuf,
            ‘ Ass… Akhi, ikhwan sudah di gerbang, tolong segera ke sini.’
            Tak berapa lama benar saja Akhi Yusuf datang,
            “Oh, Diego, ehm tidak usah canggung ayo ke rumah….” Pinta akhi Yusuf ramah, mereka berdua pun berjalan beriring ke rumah akhi Yusuf.
            “Ya sudah Dy, aku duluan,” ucap Zie tiba-tiba.
            “Lho kamu tak ingin ke perpus dulu Zie?” tanya kak Tari.
            “Tidak, tuh saya sudah ditunggu Rafa, kami mau ke gereja bersama,” jawab Zie sambil menunjuk ke arah Jazz silver tak jauh dari letak kami berdiri.
            “O, ya sudah, hati-hati ya Zie…” sapaku dan ia pun memasuki Jazz silver itu dan berlalu di garangnya siang.
            Aku berjalan dengan kak Tari ke perpus.
            “Dik apa kamu menyukai Yusuf?” tanya Kak Tari tiba-tiba.
            “Eehm, tidak, ya hanya sebatas kagum saja, memangnya kenapa Kak?” aku cukup kaget juga mendengar kak Tari tanya begitu.
            “Sepertinya matamu mengatakan binar yang lain kali  ini, tapi kakak tak tahu rasamu yang sebenarnya karena apa, apa karena melihat Yusuf atau lelaki yang mau belajar itu…”
            “Tidak Kak, aku hanya salut pada lelaki yang berniat belajar itu…”
 Hehm, aku bohong padahal dari tadi jantungku bergetar hebat saat masih ada Diego di sini, Astaghfirulloh….  aku benar-benar lemah dan tak bisa menjaga detak jantung ini.
            “Ya, barang kali kamu suka, juga gak apa kok…” jawab kak Tari seolah ia tahu aku memang menaruh perasaan yang lain pada lelaki itu.
            Kami berdua berjalan ke perpus dan melalui hari dengan menyenangkan.
indah memang,          
cahaya senja yang merona,
dan hidup pasti akan kian menawan…


 


            Sore hari, di pesma ramai, ternyata skripsi Kak Tari sudah disetujui dan dia bisa ikut wisuda bulan depan, wah-wah senangnya. Dan itu berarti ia akan segera menikah dengan Ustadz Fauzan. Aku berbeda dengan Kak Tari, jika lulus kuliah nanti aku lebih ingin kerja dulu baru deh mikirin nikah, ya tiap orang kan boleh berpendapat.
            Aku pun sudah selesai ujian tinggal menunggu yudisium, dan semester delapan, ya nggak nyangka aja bisa cepat gini, moga-moga aja, maksimal aku lulus semester sembilan, aku tak ingin berlama-lama menjadi mahasiswa, ingin cepat-cepat kerja di kedutaan besar, ya kalau tidak diterima di luar negeri, di Jakarta juga tak apa kok, yang penting mengabdi untuk negeri.
            “Selamat ya Kak….” Ucapku.
            “Iya, Alhamdulillah dan syukron ya untuk semua, anti semua ini sahabat dan adik yang baik….” Jawabnya dengan senyumnya yang khas.
            “Kapan menikah Kak?!” tanyaku ngelantur…
            “Kamu atuh Dik, bisa-bisanya tanya gitu…”
            Kami pun tersenyum senang dan bangga.
            Kak Tari pun cerita ia akan menikah di Bandung, Insya Allah, bulan depan, setelah wisuda. Waktu kami semua liburan semester jadi ia berpesan pada anak-anak pesma dan rekan-rekan pengurus TPQ dan Perpus untuk tidak mudik dan bersama-sama ke Bandung mengunjungi pernikahan Kak Tari.
            Wah, senangnya, jadi kita semua liburan ke Bandung nih… sudah tak sabar menantikannya….
Inilah keindahan,
Saat Langit mengkhitbah  Bulan….
Bintang pun bertasbih melihat keindahannya
Dan Bumi menatap oleh jutaan pesonanya,
Malam pun menawan

            Kak Tari masih duduk di depan meja riasnya saat aku, Zizah, dan Farah memasuki ruang kamarnya. Ia didandani oleh peñata rias, mengenakan gaun pengantin kebaya warna putih dan kain songket batik cokelat, kerudungnya berrenda motif bunga, yang tergerai panjang. Ia sangat cantik.
            Sebentar lagi ijab qabul setelah itu, pengantin wanita akan di panggil turun ke pelaminan.
            Setengah jam kemudian,  sayup-sayup terdengar doa, berarti ijab qabul telah selesai, dan pengantin wanita akan diantar ke pelaminan. Aku berjalan di belakang rombongan atau aku ikut dalam rombongan itu, entahlah….
            Sesampai di tempat resepsi aku duduk di sebuah kursi, berjejer dengan teman yang lain, di samping kananku ada Ulya, dan di kiriku ada Zizah, entah berurut siapa lagi tak usah disebut satu per satu.
            Rombongan pengantin pria memasuki ruangan, dan entahlah mata ini tak kuasa menunduk ketika aku melihat seseorang, ya seorang lelaki yang berjalan beriring dengan Ustadz Zaki dan Yusuf, lebih tepatnya berjalan diantara mereka. Bukan, dia bukan pengantin pria, dia lelaki pengiring sama seperti yang lain, memakai kemeja biru muda yang sama dengan yang lainnya. Celana kain warna hitam, dan peci hitam yang menutupi rambutnya yang sepertinya dipangkas pendek dan lebih rapi. Jika kau melihatnya sekarang mungkin kau tak akan menyangka kalau lelaki itu biasanya memakai jeans berlubang, kaos hitam, rambut harajuku stile, ah apa lagi aku tak melihat anting-anting yang biasa dipakainya, ia berubah. Kau tahu siapa dia, Diego.
            Aku kembali duduk, dan menahan pandangan, tak baik terlalu lama memandang.
            “Subhanallah…” lirih Zizah dan Ulya hampir bersamaan.
            Aku menatap mereka bergantian dengan bingung, mereka kenapa… jangan-jangan mereka juga melihat Diego…
            “Kalian kenapa?” tanyaku polos.
            “Astaghfirulloh… ampuni aku ya Allah, aku hanya mengagumi ciptaan-Mu….” Bisik Ulya sambil menunduk.
            “Ustadz Zaki, Dy…” kini Zizah yang berbisik.
            “Ustadz Zaki kenapa?” tanyaku tambah tak paham.
            “Subhanallauh… Maha suci Allah yang menciptakan lelaki dan seluruh makhluk di alam semesta ini,” bisik Ulya.
            Aku menatap mereka lagi bergantian, ada-ada saja mereka.
            Langit pun tersenyum oleh keindahannya, dan kami menikmati keindahan itu dengan senyum.


 



Gerimis itu memancarkan kesejukan di tiap sudut hati,
Ia berjatuhan satu per satu
Gemericik oleh senyum tiap malaikat-malaikat yang tak lelah bertasbih,
Gerimis itu semakin besar,
Ada kalanya menjadi hujan,
Tapi
Bagaimana jika menjadi badai…?

Badai Kecil di Masjid Al-Muttaqin…
            Sore itu, kos pesma ramai oleh anak-anak pesma yang berkumpul di ruang TV, mereka sadang asik menonton TV sambil makan lotis buah yang diracik sendiri, aku juga ada di kumpulan itu, meski aku hanya memakan buahnya karena aku tak suka sambal buatan mereka, hehm, apa lagi yang membuat Hana yang orang Padang, pasti pedasnya bikin telingaku menguap.
            “Assalamualaikum…” aku tahu suara itu, itu suara Zizah, hehm… pasti dia tahu kami sedang lotisan jadi langsung deh ke sini.
            “Wa’alaikum salam….” Jawab kami kompak.
            “Wah wah, enak nih, mau dunks…..” tuh kan bener dugaanku apa lagi ya, akhwat yang satu ini doyan banget sama sambal, hehm…
            “Eh, Zizah dateng-dateng langsung…. Oya kamu dari mana Neng?” tanya Farah langsung.
            “Dari rumah Akhi Yusuf,”
            “Hayo kamu….. ngapain ke sana….” Ledek kami.
            “Astaghfirulloh….. jangan menuduh, tapi kalo benar tak apa, hihi…” ugh dasar Zizah, kalau mau bercanda ya gitu deh ceria mulu.
            “Dasar kamu!”
            “Oh ya, tadi ada pesen dari Umi Sarah, katanya di pesma akan ada yang dilamar lagi lho…, tapi aku tak tahu pesma berapa, kalau pesmaku kan yang mahasiswa tingkat akhir Kak Annis, tapi dia sudah wisuda, dan katanya sih mau pulang kampung, mingggu depan, ehm… berarti kemungkinan angkatan kita nih…, kalo angkatan kita di pesmaku ada aku, ukhti Hani, sama Tara, cuma tiga orang, kalo di pesma kalian kan hampir semua tingkat akhir ya…” ujar Zizah panjang lebar.
            “Iya sih, yang semester empat paling Alin sama Ummah, semester enam ada Lusi sama Anin, yang lainnya kan semester delapan, termasuk aku, ehm… memangnya yang mau melamar siapa?” tanya Farah.
            “Ehm, Ustadz Zaki….” Jawab Zizah dengan suaranya yang kecil.
            “Masya Allah…” seru mereka kompak. Aku sih biasa saja, kan memang Ustadz Zaki sudah dewasa jadi sah-sah saja kalau dia ingin mengkhitbah wanita. Aku hanya tersenyum saja. Kira-kira siapa ya wanita pilihan Ustadz Zaki….?
            “Kau tak bohong Zizah?!” ujar Hana meyakinkan lagi.
            “Iya benar, Umi Sarah yang bilang padaku soalnya pas aku di sana Ustadz Zaki datang,” jawab Zizah dengan wajah yang serius.
            “Menurutku nih, yang beneran suka sama Ustadz Zaki mending ngomong saja dari pada nanti sakit hati, ya kecuali kalo bisa ikhlas….” Suara Farah terdengar jelas sambil menatap ke arah kami masing-masing.
            Untuk yang kesekian kali aku cuma tersenyum saja, ada-ada saja mereka...
            Triit….
            Ponselku tiba-tiba berbunyi, aku beralih ke kamarku, ternyata Kak Tari.
            “Assalamualaikum,” sapanya.
            “Waalaikum salam, ada apa Kak?” jawabku balik beratnya.
            “Dik, aku mau tanya nih, ehm… kau suka Yusuf tidak?” ujarnya. Upst, apa-apaan Kak Tari kenapa tiba-tiba tanya gitu….
            “Kenapa sih Kak, kok tanya gitu…?!”
            “Ya, untuk memastikan saja…” jawabnya santai.
            “Insya Allah, saat ini tidak Kak…” jawabku ringan.
            “Oh, ya sudah kalau begitu, syukron ya, met ngapain aja… Assalamualaikum…” sapanya sambil menutup telfon.
            “Waalaikum salam…”
            Ponselku kutaruh di mejaku saja, aku menatap ke cermin, suka? Hehm, aku ingin tersenyum sendiri jika ingat siapa yang kusuka…
                                                                 

            Pagi ini, aku tersenyum senang, entahlah rasanya aku lega banget hari ini, aku pun tak takut untuk ke kampus, tak takut dibayang-bayangi orang yang kusuka. Karena cinta seperti cokelat manis….
            Tapi, something lose, aku kehilangan sesuatu, Diego, kemana dia hari ini tak nampak, padahal ini kan hari pertama semester delapan, kenapa tak masuk kuliah sih… dan satu lagi, rambutnya kan dipangkas pendek pasti akan tampak lebih rapi, tapi kok dia tak ada sih…
Aku bingung mencarinya,
Ia sepeti Nala yang hilang di tengah keramaian orang mencarinya,
Sambil berteriak,
“Nala ilang…!!!”

            “Zie… Diego kemana?” tanyaku pada Zie. Saat kami bertemu di koridor kampus.
            “Gak tau tuh, dia ngilang gitu aja….” Jawabnya cuek.
            “Kamu nggak tanya ke rumahnya?” tanyaku, entah kenapa aku sekhawatir ini ya…
            “Katanya sih sakit, tapi aku gak percaya orang kayak dia bisa sakit…. Rencananya sih aku mau ke sana, kamu mau ikut Dy?”
            “Oh, kamu mau ke sana ya, ehm… ya sudah, aku tidak ikut, aku tak berani ke rumah cowok. Eh, kalo sudah tahu keadaannya kabari aku ya….” Pintaku.
            Kami pun berpisah, aku kembali dengan sobat-sobatku, kami berjalan bersama ke tempat kos kami.
            Sesampai di kos, ternyata sudah ada yang menungguku, Umi Sarah dan Zizah, aku heran kenapa mereka menungguku ya….
            “Dy, Umi mau bicara denganmu…” ucap Zizah dan ia masuk ke kos, meninggalkan aku dan Umi Sarah di ruang tamu.
            “Nduk, kamu sudah punya calon suami belum?” tanya Umi langsung.
            “Kenapa tiba-tiba tanya begitu Umi? Dyra sudah punya calon suami, tapi yang tahu Allah, Dyra belum dikasih tahu,” jawabku sambil bercanda.
            “Nduk, nduk…. Kamu tuh ya….” Umi tersenyum manis sekali padahal ia sudah berusia empat puluh tahun, tapi tetap manis saja.
            “Lha maksud Umi apa, kok tiba-tiba tanya gitu, Dyra kan bingung mau jawab apa.
            “Maksud Umi, apa sudah ada yang meminangmu, atau sudah ada yang bilang pada orang tuamu…?”
            “Belum Umi, memangnya kenapa, lagian Dyra juga belum ada niatan menikah di waktu dekat ini…” jawabku, jantungku mulai berdetak hebat kali itu, entah aku tiba-tiba takut pada sesuatu, entah perasaan apa ini…
            “Begini Nduk, ada lelaki insya Allah, dia shaleh, sudah bekerja dan baik hati, ia ingin menjadikanmu isterinya, bagaimana Nduk…?” ujar Umi Sarah.
            Aku diam terpaku mendengarnya, ada yang meminangku, ya Allah, apa ini…. Kenapa tiba-tiba begini, aku belum siap sungguh Ya Allah, aku belum siap….
            “Tapi Umi, Dyra belum berpikir untuk menikah di waktu dekat ini, Dyra pengin nyelesein kuliah, terus Dyra pengin kerja dulu…”
            “Lelaki itu tak memaksamu secepat ini Nduk, dia mau menunggu sampai kamu siap, bahkan jika telah menikah kau ingin tetap bekerja Insya Allah, dia akan mengizinkan….”
            Subhanallah, bijaksana sekali lelaki itu, pikirku….
            “Kalo Dyra boleh tahu, siapa dia Umi…?” tanyaku gugup.
            “Tentu saja kau boleh tahu Nduk, dia Nak Zaki, Umar Zaki Abdillah. Kau kenal dia kan?!” ucap Umi pelan.
            Ya Allah…..
            Aku terdiam tak bisa bicara, tanpa sadar air mataku jatuh satu per satu, aku benar-benar tak habis pikir, ada lelaki seistimewa dia yang memintaku menjadi isterinya. Aku tak percaya, tapi inilah kenyataannya…
            Ya Allah…..
            Kali itu aku tak tahu aku harus bagaimana, bahagia atau sedih, aku bingung menempatkan perasaanku, aku bingung sungguh aku bingung….
            Baru kali ini ada orang yang menanyakan kesiapanku menjadi isterinya, dan orang itu adalah orang yang mendekati sempurna, lihat saja dia shaleh, dia Ustadz, sudah bekerja, dia mandiri, berwibawa, bahkan ia sungguh bijaksana untuk tidak memaksakan aku…
            “Nduk… kamu kenapa kok malah nangis…? Hush…. Cup,cup… jangan nangis Nduk, Umi jadi bingung kalo kamu gini…. Umi gak ingin maksa kamu, kamu berhak menerima atau menolaknya, Umi cuma menyampaikan amanat dari Nak Zaki saja….”
            “I…Iya Umi, eh…. Tidak apa-apa, mungkin Dyra cuma terharu saja… tapi maaf Umi, Dyra tak bisa menjawabnya….”
            “Ndak apa Nduk…. Nanti Umi sampaikan pada Nak Zaki, dan orang tuamu juga harus dikasih tahu….”
            “Iya Umi, terima kasih ya…”
            Setelah itu, Umi Sarah pamit pulang dan aku mengantarnya dengan senyum sampai gerbang kos setelah itu aku masuk kamarku dan menangis di kamar, Ulya juga heran melihatku tiba-tiba menangis, awalnya dia tanya tapi ketika aku tak menjawabnya ia tahu aku memang begitu, kalau nanti aku sudah tenang aku juga pasti akan cerita, ia pasti berpikir begitu, yang jelas aku masih kalut tak karuan….
Oh Bumi….
Inikah kenyataan….
Aku sampai tak tahu,
Takut menolak sesuatu yang begitu indah,
Begitu pula takut menerima yang indah itu…
Lalu apa  yang kucari…
Aku seperti enggan memikirkannya,
Aku ingin pulang ke rumah….
Aku takut di sini…
           
            Akhirnya ponsel juga yang kutuju,
            “Assalamualaikum ibu….” Ucapku sambil tak tahan menahan air mata…
            “Kenapa Nduk?” suaranya kudengar sangat lembut di telingaku.
            “Dyra sayang Ibu….” Entah kenapa tiba-tiba aku bicara begitu, tapi cuma itu kata yang aku punya…
            “Nduk… kamu kenapa tho???” Ibu sepertinya panik mendengar aku menangis.
            “Dyra tak apa, Dyra hanya kangen sama Ibu dan Bapak….” Ungkapku,
            “Tenang sayang Insya Allah minggu depan Ibu sama Bapak pulang, tapi ke Surakarta dulu, nanti baru ke Jakarta, atau kau mau dijemput supir dan pulang ke Surakarta saja…”
            “Dyra tak mau dijemput supir, Bapak sama Ibu ke Jakarta saja nanti kalo Dyra pengin, Dyra ikut Ibu sama Bapak…”
            “Lho.lho… kenapa ini anak Ibu, kok jadi manja gini sih…., ya sudah ya, ni ibu masih di kampus, nanti minggu depan ya ibu pulang….”
            “Iya Bu, terima kasih, salam ya Bu buat Bapak…”
            “Iya sayang, assalamualaikum….”
            “Waalaikum salam….” Aku menutup telponku dan tertidur di kamarku.
            Rasa lelah terbayar oleh istirahatku semalaman, aku belum bisa tenang, Ya Allah, kenapa aku ragu begini, antara menerima dan tidak. Aku belum cerita pada siapa pun, aku cuma merasakannya saja, ngilu dan perih fikiran ini, di ponselku ada pesan tapi aku masih enggan membacanya entahlah dari siapa, beberapa kali juga ada yang menelfonku tapi aku masih malas. Astaghfirulloh… aku tak boleh begini….tapi aku benar-benar merasa lemah…


 

            Pagi, terasa seperti kilau sinar emas yang rupawan, seperti biasa aku pun berjalan dengan kawanku  ke kampus, sebenarnya hari ini aku masih malas melakukan apapun, tapi aku harus bangkit, dilamar orang kan anugerah bukan musibah, heran deh kenapa aku nelangsa begini….
            “Dy, kau semalam kenapa?” tanya Ulya padaku saat kami berjalan melewati perumahan ke kampus.
            “Aku…. Ehm, ada yang meminangku,” jawabku sambil menunduk.
            “Subhanallah… benar Dy? Siapa?” tanyanya langsung.
            “Tapi aku ragu,” jawabku tak jauh beda dengan ekspresi pada jawaban pertama.
            “Ragu? Memangnya siapa yang meminangmu, kok kamu sampai ragu gitu?” tanyanya serius.
            “Ustadz Zaki.”
            “Masya Allah….” Ia hanya berucap begitu sambil menutup mulutnya, ia terkejut.
            Aku diam dengan tetap menunduk, aku tak tahu bagaimana perasaan Ulya yang sebenarnya pada Ustadz Zaki, tapi kenyataannya memang Ustadz Zaki yang melamarku.
            Kami sampai juga di kampus, hari ini ada jadwal kuliah dengan Diego. Sebentar lagi pasti dia memasuki ruangan ini.
            Benar saja, Diego dan Zie, gadis tomboy yang pakaiannya semakin feminism bahkan hari ini dia memakai blouse yang sangat cantik, hehm… sudah berubah dia.
            Zie tersenyum padaku dan memilih tempat duduk di sampingku, tak biasanya dia meninggalkan Diego yang tetap memilih tampat duduk di belakang.
            “Pagi Dyra…” sapanya.
            “Pagi, Zie kau tampak cantik memakai blouse…” ucapku.
            “Ah, kau memang pintar memuji ya..” jawabnya tetap dengan senyum dan wajah yang memerah, ya jika wanita dipuji memang begitu, aku juga.
            “Oya Dy, nanti aku mau tanya sesuatu denganmu, tapi nanti… habis kuliah saja,” ujarnya.
            “Tanya apa sih, mbikin penasaran saja…”
            Kami terdiam saat dosen IC memasuki ruang kelas ini, dan kuliah pun dimulai.
            Setelah kuliah, aku tetap di kursi menunggu Zie yang katanya ingin tanya sesuatu, Zie sendiri sedang asik mencatat materi kuliah tadi di laptopnya.
            “Dy, aku ke tempat Hana ya…” ujar Ulya  sambil berlalu ke luar kelas.
            Mataku yang mengantarnya sampai pintu kelas. Entah kenapa sejak tadi pagi ada yang lain di mata Ulya, apa mungkin gara-gara dia tahu aku dilamar Ustadz Zakki, apa mungkin Ulya menyukai Ustadz Zaki….
            “Hei, sori ya lama… tanggung sih…” tegur Zie mengagetkan lamunanku.
            “Iya tak apa, memangnya kau mau tanya apa?”
            “Ehm, tapi kamu jangan marah ya…” pitanya dengan wajah memelas.
            “Insya Allah, memangnya tanya apa sih, kok serius banget kayaknya.”
            “Iya Dy, memang serius, menyangkut kelangsugan hidup seseorang.”
            “Ih, kamu, jangan begitu ah ngomongnya….”
            “Hehe… tapi kurang lebihnya gitu.”
            “Iya tapi tanya apa?”
            “Ehm, apa ada lelaki yang meinangmu?” tanyanya langsung, deg…. Masya Allah, aku kaget benget Zie tanya begitu, dia tau dari siapa, nggak mungkin dia tahu begitu saja, aku kan cuma cerita dengan Ulya itu pun baru tadi pagi, nggak mungkin kan Ulya langsung cerita pada Zie, lagian Ulya juga tak akrab dengan Zie.
            “Tapi, kau tahu dari siapa…?” tanyaku canggung.
            “Ehm, kau jangan marah dengan orangnya ya, dia tak bilang siapa yang meminangmu, dia cuma bilang sudah ada yang meminangmu, dan aku Cuma memastikan saja benar atau tidak….”
            “Iya Zie, siapa?”
            “Diego yang bilang padaku,” suaranya lirih dan aku terdiam mendengar nama itu disebut, jadi Diego tahu kalau ada yang meminangku, entah apa yang terbesit di otakku, pikiranku kacau tiba-tiba, Ya Allah… kenapa aku merasa sangat menyesal jika Diego tahu Ustadz Zaki yang meminangku….
            “Tapi kau jangan benci pada Diego ya Dy….” Lanjut Zie. “Karena ia akan lebih jatuh lagi jika kau membencinya, karena….” Zie tak melanjutkan kata-katanya. Ia menunduk dan tak berani bicara.
            “Hehm… jangan berwajah ketakutan begitu, aku tak marah kok…” kini aku sudah bisa mengontrol emosiku. Sudah lumayan tenang sampai aku juga bisa tersenyum.
            “Sungguh Dy, kau tak marah?”
            Aku mengangguk sambil senyum,
            “Jawabannya benar, ada yang meminangku tapi aku belum menjawabnya, aku masih ragu…. Entah seperti ada perasaan yang enggan menerimanya, seperti ada yang bilang dia bukan jodohmu…. Kau tercipta bukan dari tulang rusuknya, pikirkan lagi… padahal kau tahu Zie, yang meminangku orang baik-baik dan tak ada alasan menolaknya, entahlah aku juga bingung dengan perasaanku, mungkin juga karena perasaanku pada orang lain,” tak tahu kenapa aku jadi cerita isi fikirku padanya.
            “Kau menyukai orang lain?” tanya Zie serius.
            “Iya, tapi sudahlah, harusnya aku tak memikirkannya, lagian aku juga bukan tipe wanita harapannya mungkin….” Jawabku lugas.
            “Memangnya seperti apa lelaki yang kau suka, pasti dia juga mengharapkan wanita seperti kamu yang jadi isterinya, meskipun lelaki itu separah Diego.”
            Aku menatap Zie dengan mata yang penuh harapan, meski akhirnya aku tersenyum dan menatap ke arah yang lain, dan di arah yang lain itu mataku malah menemukan orang lain itu, Diego.
            Jantungku bergetar tiba-tiba, Astaghfirulloh…. Kutundukkan pandanganku, sambil terus beristighfar.
            Ya Allah, ampuni hambamu yang lemah ini….
            “Dy….” Suara Zie memecah keheningan fikirku.
            “Eh, iya….” Jawabku gugup aku masih terfikir kata-kata Zie yang tadi, “Memangnya seperti apa lelaki yang kau suka, pasti dia juga mengharapkan wanita seperti kamu yang jadi isterinya, meskipun lelaki itu separah Diego.”
            “Dy, kau melamun lagi…. Ehm, kalau begitu maaf ya, aku dah tega bertanya begitu sama kamu…” ungkap Zie menyesal.
            “Eh, gak pa pa… aku cuma kepikiran sesuatu aja…”  jawabku mencoba menenangkan fikir yang entah berlabuh kemana.
            “Ya sudah, ehm, kita pulang saja yuk, kau masih ada kuliah tidak, sekalian aku mengantarmu pulang….” Pintanya, ia seperti merasa bersalah padaku.
            “Iya ini juga aku mau pulang,” jawabku singkat.
            “Bareng ya?! Ku antar,” pintanya.
            “Jalan bareng kan?!”
            “Aku bawa mobil Dy…”
            “Kalau begitu tak usah, aku jalan kaki saja, kosku kan deket….”
            “Ehm, gini aja, mobilku biar Diego yang bawa, aku jalan sama kamu…” ujarnya ia seperti ingin sekali menemaniku pulang, entahlah padahal ia tak salah apa-apa, aku hanya teringat perasaanku saja.
            “Sebentar ya…” Lanjut Zie seraya berlari menemui Diego, bicara beberapa kata dan Zie sudah kembali  bersamaku.
            “Yuk jalan, mobilku dah kutitipkan sama Diego, ntar dia njemput aku di depan kosmu, gak papa kan?!” ungkapnya.
            Aku cuma mengangguk sambil senyum. Dan kami pun berjalan bersama ke pesma.
            Kami bercakap beberapa hal, aku mending lega dan sedikit lupa kalau aku sedang dilanda kebimbangan. Beberapa hal aku tahu, Zie bilang Diego kangen sama minuman alkoholnya, dan Zie juga bilang dia minum bir lagi karena kesal dan ngerasa kehilangan semangat dari seseorang. Hehm… tu kan, Diego dah punya seseorang yang memberinya semangat jadi, selama ini aku memang cuma merasakan sendiri, dan tak ada jawaban dari harapan yang kugantungkan, memang sih… aku tak seperti wanita yang biasanya jalan sama dia.
            Tak berapa lama Zie di kos ku, jazz blue wonder memasuki pekarangan kos pesma. Itu Diego,

1 komentar:

  1. Maaf, anda siapa kenapa tidak izin dulu dengan saya untuk menuliskan karya saya di blog anda?

    BalasHapus