Percikan Gerimis
Di Masjid Al-Muttaqin
Cahaya suci, untuk
hati yang sendiri,
Yang selalu dinaungi
sepi,
Yang seolah tiada
temani.
Cahaya suci, untuk
hati yang gundah,
Lara oleh luka,
Hampa pada tawa,
Hilang bersama duka…
Cahaya suci, untuk sahabat sejati.
Senjurai
My Thanks f0r Allah…..
Mom and Dad, who
love mE s0 mUch….
Adit
All my
fRiEnds…….
Someone who give
me tears and happiness
my “Shinichi”…..?
Life is a c0in,
U can spend it aNy
way U wish
But U cAn spend it
only
ONCE !
Prolog
Ini adalah kisah, meski entah kisah
apa, aku hanya menuliskan saja dari curahan mereka, karena kata bersembunyi di
tiap bilik hati mereka. Tak kan terungkap jika tak kutulis.
Aku mengenalnya sebagai gadis
berjilbab, awalnya dia malah gadis biasa yang cuek tapi ramah, baik hati dan
tak suka membeda-bedakan, pada akhirnya dia berjilbab juga, namanya Dyrania
Zahara. Subhanallah… ya mungkin juga karena terpengaruh teman-teman dan
dukungan dari orang tuanya yang tinggal di Australia. Ia mahasiswa yang cukup
cerdas. Ia bilang ia ingin bekerja di Kedutaan Besar, jika ia tak berkesempatan
di luar negeri di Jakarta juga dia mau, yang penting bekerja. Pertama ia ingin
mengabdi pada orang tuanya, agama, Negara, tentunya jika pengabdiannya dirasa
cukup baru deh ia ingin mengabdi pada suaminya. Ngomong-ngomong soal suami,
semua wanita muslimah pasti menginginkan mendapat suami yang shaleh, dia juga.
Dan aku pun sama, tentunya kalian juga kan?!”
Satu lagi yang mencurahkan isi hatinya
padaku, Diego Arfanda, begitulah namanya kukenal. Aku tak tahu bagaimana dia
sebelum kutemukan yang aku tahu dia lelaki biasa saja yang punya cita-cita
mengabdi untuk negeri ketika masih mahasiswa dia nakal juga bahkan ada yang
bilang berandalan, ya aku cuma mengutip dari bagaimana ia menceritakannya
padaku.
Oya, dia tampan lho, hehe…
Astaghfirulloh…..
Masjid
Al-Muttaqin,
Mereka
akan menemukan percikan gerimis di sana
Meski
bisa menjadi badai tapi
Percikan
itu bisa juga jadi pelangi….
Cerminan
hati wanita,
Ia
layaknya fajar yang suci atau kilau senja yang merona,
kau
juga akan melihatnya sebagai malam hening yang memantulkan kedamaiannya,
Bulan
layaknya cahaya di pekatnya
Dan
bintang adalah pelita yang menerangi gelapnya….
Pesona
rupawan wanita,
Karena
tiap wanita punya kecantikan, meski kadang tak bisa disadari dengan mata….
Gadis
itu bernama Dyra,
Yang
terlahir dari sebuah percintaan kudus….
Ia
bersemi di tiap hati,
Dan
kan terang untuk penyayangnya,
Gadis
itu bernama Dyra,
Yang
santun dan ramah….
Ya,
gadis itu bernama Dyra.
Percikan Gerimis di Masjid Al-Muttaqin
Part. 1
“Dyra
Namaku Dyrania Zahara, aku
mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Bahasa Jurusan Sastra Inggris
semester tujuh. Aku kos di sini. Teman sekamarku bernama Ulya, Cut Ulya Habsyi,
sahabatku ini bercadar, dia dari Aceh. Dia juga setingkat denganku, dan kami sering mengambil kuliah di waktu
bersamaan, jadi bisa sering bareng. Dia dah kayak saudaraku sendiri. Kau tahu
sendirilah bagaimana pergaulan di kota metropolitan ini, tapi aku bersyukur di
sini aku dipertemukan dengan teman-teman yang baik. Selain Ulya aku juga punya
kakak angkat, ya sebut saja begitu, namanya Lestari Attina, aku biasa
memanggilnya Kak Tari, dia mahasiswa Psikologi semester akhir, bentar lagi juga
wisuda. Di kosku sering disebut kos pesma
aku sendiri tak tahu itu singkatan atau apa, yang jelas orang-orang menyebut
begitu untuk kos yang berisi mahasiswa berjilbab besar atau bercadar. Aku
termasuk yang berjilbab tapi tak bercadar, ingin sih mengenakan cadar, tapi
masih ragu lagi pula, aku ingin lebih netral saja, ya semoga saja dengan
seperti ini bisa lebih menjagaku. Kami
juga sering mengaji bersama atau kegiatan rohani lainnya. Meski kadang
melelahkan tapi aku senang yah dari pada kegiatan gak bener seperti dugem de el
el, lebih baik kan gini.
Pagi ini aku siap-siap berangkat ke
kampus. Aku, Ulya dan teman-teman yang lain juga. Kami suka berangkat
bergerombol seperti ini. Di jalan, kami bertemu dengan Ustadz Hanas dengan isterinya
sedang olah raga pagi, Subhanallah…. Lihat saja matahari pasti tersenyum melihat pasangan suami isteri itu,
Hehm… aku kapan ya? Upst, Astaghfirullah… apa-apaan sih aku ini, kenapa
tiba-tiba berpikir gitu….
Kadang,
Kerinduan
itu muncul
Karena
tulang rusukku mencari badannya….
Entah
siapa ia
Kuyakin
yang terindah,
Yang
sengaja Tuhan ciptakan
Untukku.
Malaikat, Tuhan mengirimkan malaikat
terindah itu untukku. Dan aku percaya ia adalah malaikat itu, meski aku sendiri
tak tahu siapa, yang jelas ia ada di suatu tempat yang suatu hari nanti akan
Tuhan tunjukkan padaku.
Ia berjalan melangkahkan kakinya yang
panjang, memasuki ruang kelasku ini. Gaya cueknya seolah tak peduli sudah ada
dosen di ruangan ini, rokok di tangannya masih mengepul, ia duduk dengan sangat
tidak peduli. Gadis tomboy di sampingnya
segera menegurnya untuk mematikan rokok, dan dia menurutinya lalu duduk
santai. Melihatnya ngeri juga rasanya, bagaimana jika Tuhan menciptakan ia menjadi
malaikatku? Entahlah… tak mampu otakku menjangkau ke arah sana.
Kubetulkan pemakaian kerudungku sekedar
untuk melakukan aktivitas, dari pada mataku terus menatapnya. Dan aku kembali
fokus dengan kuliahku.
Sekitar pukul 14.00, aku telah siap dengan
paperku yang akan kukirim ke penerbit. Mungkin ini pemasukan dana buatku, ya karena
tak enak jika selalu minta pada orang tua apalagi orang tuaku tinggal di Australia,
Eyangku tinggal di Surakarta, jadi tak enak jika terus-terusan meminta pada
mereka.
Setelah
menaiki angkot, aku berhenti di depan sebuah gedung penerbitan majalah. Aku tak
perlu banyak omong di resepsionis, cukup dengan menunjukkan kartu anggota dari
majalah itu dan menyerahkan artikelku kemudian tanda tangan, setelah itu
tinggal mengecek rekeningku sekitar dua atau tiga hari, jika akan dimuat ya
uangku nambah, jika tidak, usaha lagi dong…
Pulangnya
aku jalan kaki karena harus mengikuti Liqoh haflah Qur’an di Masjid
Al-Muttaqin, yang letaknya memang tak terlalu jauh dari kantor penerbitan itu.
Aku berangkat lebih awal jadi bisa istirahat dulu sejenak, beberapa akhwat juga
tengah berkumpul di teras masjid. Yang bercadar abu-abu itu Ulya, teman
sekamarku. Di sampingnya ada Zizah yang berkerudung putih, dan seorang lagi
yang berkerudung cokelat aku tak kenal. Ternyata dia mahasiswa semester awal
yang kos di tempat Zizah. Aku memperhatikannya terus hingga akhwat itu
menyapaku sambil memperkenalkan diri, ternyata ia bernama Aliya, namanya sama
dengan nama ibuku, mungkin karena itu aku suka melihat wajah manisnya, aku jadi
kangen sama ibu, sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya. Ibu orang Surakarta dan bekerja di Australia
sebagai guru bahasa Indonesia, ia mengajar di sebuah universitas di Australia.
Sedangkan Ayah, dia asli orang Kediri dan bekerja di sebuah perusahaan di
Australi. Ah, aku kangen sama Ayah dan Ibuku….
Pukul
15.00 tepat, Liqoh dimulai, ada sekitar tujuh akhwat dan seorang ustadzah
pembimbing. Setelah itu aku langsung pulang sedangkan Ulya akan mengurusi
kemuslimahan di basecamp mahasiswa Aceh.
Di
trotoar aku berjalan sendiri, sebenarnya akhwat tak boleh jalan sendiri tanpa
mahramnya, tapi hal ini sudah menjadi biasa bagiku. Di jalan aku melihat
seseorang, ya lelaki jangkung yang tadi pagi terlambat masuk kuliah. Ia
nongkrong dengan beberapa kawannya, aku melihatnya menatap mataku, tapi aku
segera menundukkan pandanganku.
“Dy…”
suaranya terdengar memanggilku, dan
entah kenapa, sisi jantungku tiba-tiba bergetar. “Astaghfirullah… jagalah hamba-Mu yang lemah ini Ya Allah…”
Aku
berhenti tanpa menoleh, ia menghampiriku dan berdiri di sampingku. Ia menghadap
ke arah sampingku dan aku tetap menunduk menghadap depan. Pemandangan yang aneh
mungkin, aku berkerudung besar begini dan lelaki di sampingku ini dengan
pakaian berandalan yang sangat urakan. Tuhan… jangan bilang kalau ia adalah
malaikat untukku, tapi kalau iya?!
Aku ingin tertawa tiba-tiba…
“Astaghfirullah…
kenapa tiba-tiba aku ingin tertawa…” untung saja aku tak menghadap ke arahnya sehingga wajahku yang mungkin
memerah tak akan terlihat olehnya.
“Tugas
menterjemahkan ensiklopedi itu, aku sekelompok denganmu kan?!” akhirnya ia buka
suara juga setelah beberapa saat mungkin ia memilih kata-kata yang sesuai.
Aku mengangguk pelan.
“Kau
sudah mengkopinya kan?!” lanjutnya.
Tanpa
bicara aku sudah tahu maksudnya, aku segera membuka tasku dan menyerahkan
Ensiklopedi berbahasa Inggris itu. “Bab ke 3 dan 4,” ucapku singkat.
Setelah
itu aku melanjutkan kembali perjalananku ke tempat kos, tapi heran deh, tumben
banget dia menanyakan tugas, aku memang baru pernah sekelompok dengan dia, tapi
kata teman-teman yang pernah sekelompok dia tak pernah mengerjakan tugas, kalau
tugas pribadi saja sahabatnya yang tomboy itu yang mengerjakannya. Sedikit
tidak percaya memang, tapi biarlah barang kali saja dia benar-benar mau
mengerjakannya. Meskipun aku sedikit khawatir mempercayakan dia.
Satu
hal lagi yang agak heran, dia kok mengenaliku ya… padahal mengenali orang berjilbab
dari kejauhan kan sulit, dan dari dulu juga aku tak pernah bicara dengannya,
apalagi mengenalnya, begitu pula sebaliknya, kenapa dia bisa kenal ya…
Ah
sudahlah….
Aku
sampai di tempat kos sekitar pukul 16.30, untung tadi aku sudah sholat di Masjid
Al-Muttaqin. Rasa lelah membuatku segera membaringkan diri. Kerudungku kulepas
tanpa kutaruh di tempatnya, aku lelah sekali. Tapi aku segera sadar, tak boleh
malas-malasan gini, aku bangkit membereskan kamarku dan menuju kamar mandi
untuk membersihkan diri, dan Subhanallah… wanita memang seperti ini, ya seperti
tadi untungnya aku sudah sholat ashar di masjid. Setelah mandi kubatalkan
shaumku dengan segelas air putih. Aku kembali ke kamarku, rekan-rekan yang lain
mungkin pulang nanti ba’da Maghrib karena ikut buka puasa bersama dan sekalian
sholat berjamaah, aku hanya dengan Hana yang menempati kamar sebelahku, mungkin
dia sedang belajar atau membaca novel, maklum dia memang suka sekali membaca,
apa saja, dari Al-Qur’an, kitab-kitab, majalah, buku pelajaran, sampai komik
pun ia suka. Mungkin dia memang sudah kutu buku kelas kakap, kalau aku sih cuma
buku-buku tertentu saja, maklum…
Karena
sepi begini akhirnya aku menuju ke laptopku, aku memang masih suka chatting,
kadang juga baca komik detective… ya, tak ada salahnya kupikir, ini kan refresh
otak…
Adzan
Maghrib membuat aku menghentikan chattinganku. Duduk tenang sambil berdzikir. Ba’da
Maghrib teman-teman kos pada pulang, untung saja mereka membawa makanan untuk
aku dan Hana.
“Kau
tak datang Dy? tanya Farah padaku.
“Afwan,
aku tadi sudah membatalkan puasa,” jawabku.
“Ya sudah, kamu makan dulu ya
Dik…” ucap kak Tari lembut sambil
memberikan sebungkus nasi padaku.
Setelah
itu semua kembali ke kamar, hening… entah apa saja yang mereka lakukan di kamar
masing-masing. Ulya sama sepertiku sedang asik dengan laptopnya. Ya aku memang
sedang mengerjakan terjemahan ensiklopedi, planningku aku mengerjakan empat
bab, dua bab tugasku dan dua bab tugas lelaki berandalan itu, ya jujur aja aku
memang agak ragu dan khawatir mempercayakan dia.
Malam
pun memalam dan pagi pun akan menjelma.
Kampus,
Menjadi tempat berkumpulnya berbagai
manusia, dari yang pakaiannya terpotong-potong sampai kumpulan pakaian rapat
bercadar, aku termasuk di bagian itu meski kadang aku bosan dengan pakaianku.
Akwat
bercadar dan beberapa yang lain tidak tetapi tetap memakai jubah dan kerudung
besar itu berkumpul dengan masing-masing membahas buku di tangan mereka. Tak
berapa lama seorang pemuda jangkung dengan celana jeans borju yang berlubang, kaos hitam polos yang bagian bawah kiri
bertuliskan “Damn!”, di telinga kirinya terdapat anting berbentuk kancing hitam
di alis kanannya juga dengan bentuk mutiara hitam. Rambutnya harajuku stile
dicat merah maron, dan tiba-tiba pemuda itu memanggilku. Akhwat lain pun kaget
olehnya, mungkin mereka akan lebih kaget lagi jika aku memenuhi panggilannya.
Tapi kenyataannya aku memang tidak memenuhi panggilannya. Hanya jantungku yang
tiba-tiba bergetar.
“Sori
ganggu, nih paper terjemahanku,” ucapnya sambil menyerahkan perkamen tugas di
meja depanku.
Sedikit
mataku mencuri pandang ke arahnya, menatap wajahnya yang putih bersih, Subhanallah…
“Dy,
Gadhul bashar….” bisik Ulya tiba-tiba
dan aku segera menunduk, Astaghfirullah…. Aku segera beristighfar berkali-kali. Lelaki itu
tersenyum tipis sambil berlalu meninggalkan perkamen tugasnya. Kertas di meja
itu melambai-lambai oleh angin seakan memanggilnya untuk tidak segera pergi.
Kuliah usai hari ini, hampir saja aku
bangkit dari kursiku, tapi…
“Dyra, ehm… sori Dyra yang mana ya?!” seru
seorang gadis dengan pakaian aneh yang sama sekali tak menunjukkan kalo dia
wanita. Gadis itu menatap aku dan Ulya yang duduk bersampingan. Ulya tak
menjawab hanya menatapku dengan tatapan yang memicing. Ia sedikit tak suka
dengan gadis itu. Ya, Ulya memang kadang terlalu fanatik pada orang-orang di
sekitarnya. Sebenarnya kebanyakan keluarga kos pesma dimana saja memang cukup
fanatik, meski aku tak ingin begitu.
“Aku Dyra, ada apa ya?” tanyaku.
“Aku ingin bicara denganmu,” ungkapnya
dengan mata berharap.
“Dy,
kau tak lupa kan hari ini kau harus segera mengajar mengaji anak-anak panti di
masjid?” kata Ulya seolah ia tak mengizinkan aku bicara dengan cewek berandalan
ini, atau apa mungkin Ulya percaya gossip cewek ini lesbian, hehm.. entahlah.
“Tidak
Ulya, aku tidak lupa, tapi aku sedang tidak ke masjid, dan aku sudah bilang
Zizah untuk menggantikanku,” terangku.
“Ya
sudah, aku pulang dulu ya, kau berhati-hatilah,” ucap Ulya aku tahu dia memang
sahabat yang sangat perhatian.
“Syukron
ukhti…”
Zie
mengajakku mengobrol di kantin.
“Kau ingin bicara apa Zie?”
tanyaku langsung.
“Makasih
ya, kamu mau bicara denganku, ku kira orang-orang sepertimu enggan bicara
dengan golongan Lumpur,” ucapnya.
“Ah,
kamu ada-ada saja.”
“Dy,
kamu satu kelompok dengan Diego kan?!”
“Iya,
dia juga sudah mengumpulkan tugasnya kok.”
“Oya,
hehm.. bagus deh, akhirnya dia berusaha sendiri.”
“Dy,
kamu pernah dijahati lelaki tidak?”
“Alhamdulillah,
bahkan kurasa aku tak pernah didholimi sesama manusia, memangnya kenapa?”
“Aku
sering Dy. Sampai aku benci sekali dengan lelaki, mungkin satu-satunya lelaki
yang ku kenal dan ku anggap baik hanya Diego, teman-teman segeng atau anak-anak
band pun tak sebaik dia.”
“Memangnya
ayahmu tak baik?!”
“Ayah?
Hehm, kalo dia tak jahat mungkin aku tak akan ditaruh di panti asuhan dan kalo
ayah angkatku tak jahat juga ibu angkatku pasti masih hidup.”
“Oh,
maaf telah membuatmu semakin sedih.”
“Tak
apa, aku hanya iri pada kamu dan rekan-rekanmu, sepertinya kalian begitu damai
menjadi wanita, tak seperti cewek-cewek pada umumnya yang tak lepas dari urusan
lelaki.”
“Kenapa
musti iri, tak baik lho, kami sama saja denganmu, kadang juga ada masalah, tapi
ikhlas dan tawakal serta ikhtiar untuk menyelesaikannya. Istilah bekennya
dengan kepala dingin, slow but sure.”
“Ah
kau bisa saja, aku senang Dy, mengobrol denganmu, eh kau tak takut denganku
kan?!”
“Takut, memangnya takut kenapa? Kita hanya
boleh takut pada Allah yang menciptakan kita dan seisi alam semesta ini.”
“Benar kau tak takut denganku meski aku
lesbian?”
“Jadi
gossip kau lesbian itu benar?”
“Kau
tak akan menjauhiku kan?”
“Tak
apa, aku percaya Allah akan melindungi dan meridhoi persahabatan kita.”
“Thanks
Dy…”
Aku
pulang berjalan kaki dengan gadis tomboy itu, sepanjang jalan mungkin orang
yang melihat kami akan heran, ah peduli amat toh kita sesama wanita tak salah
jalan berdua.
“Aku
kos di pesma itu, kalau kau ingin main datang saja, setiap sabtu dan minggu aku
cuma di kos.”
“Iya
makasih, rumahku jalan Kemayoran Lama, tak jauh juga dari sini, tapi maaf aku
tak berani mengundangmu main ke rumahku,” ucapnya sambil tersenyum.
“Lho
memangnya kenapa?”
“Rumahku
terlalu kotor untuk wanita suci sepertimu.”
“Jangan
bilang begitu, aku jadi tak enak, ya kau bersihkan dulu dong sebelum aku
datang…”
“Ah
kau ini, masalahnya ada Tante aneh, isteri baru ayah angkatku yang sekali pun
aku tak ingin mempertemukanmu dengannya, dia itu seperti nenek sihir yang
jahat.”
“Hush
jangan bilang begitu, tak baik….”
“Hehe…. Sudah ya, aku pulang
dulu.”
“Iya,
berhati-hatilah….”
Gadis
tomboy itu berjalan sendiri melalui garangnya siang, semoga dia baik-baik saja.
Sesampai
kos aku mengecek perkamen tugasnya, kemudian aku tersenyum puas. Tapi tetap
saja sedikit tak percaya, ia benar-benar mengerjakannya atau dikerjakan orang
lain. Tapi tak apalah, good work,
padahal aku sendiri belum selesai mengerjakannya, mungkin aku terlalu
menyepelekannya.
“Bagaimana
tadi dengan wanita itu?” tanya Ulya langsung.
“Kami
hanya mengobrol biasa.”
“Ku
dengar dia lesbian, apa benar?”
“Setiap
orang punya kelemahan masing-masing kan?! Bukan suatu hal yang dijadikan alasan
untuk menjauhinya.”
“Semoga
Allah memberinya hidayah ya…”
Amin…. Bisikku dalam hati.
Kami
terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Oya
Dy, aku tadi melihatmu menatap Diego,” ucap
Ulya saat aku asik dengan laptop di kamarku. Aku cukup kaget mendengar Ulya
mengatakan hal itu. Untung saja aku masih bisa mengendalikan diri dan menutupi
rasaku.
“Mungkin sebatas mengagumi saja,” jawabku
santai.
“Iya, tapi kau harus ingat, jangan sampai
terlalu berlebihan,” ungkapnya sopan.
Benar
juga kata Ulya, sebenarnya aku ingin cerita tentang jantungku yang nyeri saat
mendengar ia memanggilku. Tapi, aku sunggguh tak berani, biar sajalah aku yang
merasakannya sendiri.
Sekitar
ba’da ashar teman-teman sekosku berkumpul di depan televisi, sepertinya mereka
sedang asik membicarakan sesuatu. Ternyata Kak Tari yang sudah semester akhir
itu dipinang. Hehm… pantas saja wajahnya yang lembut itu berseri-seri.
“Kak
Tari menerima pinangan dari siapa?” tanyaku pelan.
“Ehm,
Ustadz Fauzan. Alhamdulillah Dik, aku juga suka dengan kepribadian Ustaudz
Fauzan. Orang tuaku yang memilihkannya dan Subhanallah, cocok dengan harapanku.
Ya, siapa sih yang tidak berharap dapat suami yang shaleh,” ujar Kak Tari
dengan senyumnya yang mengembang.
Aku
tersenyum senang atas jawabannya, tapi kata-kata terakhirnya membuat hatiku
miris. Aku juga heran pada diriku sendiri, aku ingin memiliki suami yang
shaleh, taat beribadah dan jelas dari keluarga baik-baik. Tapi aku juga tak
mengerti mengapa jantungku bergetar ketika lelaki seperti Diego yang
memanggilku, padahal semua juga tahu bagaimana laku berandalan itu.
“Dy,
kau melamun?” tanya Farah padaku.
“Ah,
tidak, aku hanya teringat sesuatu saja,” jawabku mengalihkan.
“Farah,
Dy kenapa?” tanya Kak Tari tiba-tiba.
Farah
diam saja sambil menatap ke arahku,
“Kau
jatuh cinta Dik…?” tanya Kak Tari langsung padaku.
Dan
entah kenapa aku menangis tiba-tiba. Rasanya aku bodoh sekali tak bisa menjaga
hati dan mata, kenapa aku harus jatuh cinta sekarang dan pada orang yang sangat
tidak masuk harapanku.
“Dy,
cinta itu bukan musibah, cinta itu anugerah dari Allah yang harus kita
syukuri…” terang Farah.
“Benar
kata Farah Dik, kau tak harus menyesali rasamu, sekarang katakan pada kakak,
siapa lelaki beruntung itu, jika dia sudah mapan dan siap ada kemungkinan kan
dia segera melamarmu,” ujar Kak Tari sambil senyum.
Mendengar kata-kata itu tangisanku malah
semakin menjadi. Kak Tari
segera memelukku erat,
“Adikku….”
Bisiknya sambil mengusap rambutku.
Pagi ini aku siap untuk kuliah, seperti
biasa aku berangkat dengan kawan-kawanku. Hari ini aku berniat tak ingin memikirkan lelaki
yang terus-terusan mengisi fikiranku. Huh, menurutku tak penting.
“Dik,
waktu itu kau bilang kau jatuh cinta dengan siapa Dik?” tanya Kak Tari
tiba-tiba.
Waduh…
baru saja aku berpikir untuk tak mengarah ke sana….
“Lho, kapan aku bilang jatuh cinta?
Rasanya aku tak pernah bilang kok…”
“Waktu kau menangis, meskipun tak kau
lisankan tapai kakak tahu dari wajahmu….”
“Ah, tidak kok…. cuma kurang cermatnya aku
menjaga pandangan,” jawabku. Ya, aku masih enggan untuk berpikir ke
arah sana.
Kami
pun melanjutkan perjalanan ke kampus.
Sesampainya
di kampus, aku tak sanggup melihat lelaki itu, di kampus aku hanya menunduk dan
berusaha menghindari agar tidak berpapasan dengannnya. Aku terus saja bergabung
dengan akhwat lain dan menyibukkan diri dengan apapun yang jelas jangan sampai
mataku mencarinya.
Takdir
mungkin, sehabis Dzuhur aku berjalan sendirian dari mushola kampus hendak ke
kelas. Dan…
“Dy,
“
Suara
itu benar-benar membuat sisi dari jantungku bergetar. Aku ingin segera berjalan
cepat seolah tak dengar panggilannya dan berlalu menghindarinya, tapi aku tak
kuasa melangkahkan kakiku yang tiba-tiba berhenti.
Lelaki
yang memanggilku kini menghampiriku. Aku terpaku dan terus menunduk, berusaha
tak melihat wajahnya.
“Minggu
depan paper terjemahan harus segera dikumpulkan, tadi aku bertemu Mr. Albert
dan beliau bilang begitu,” ucapnya sopan.
Aku
mengangguk pelan, tumben kata-katanya sopan, ah tidak. Setiap bicara denganku
dia selalu memilih kata-kata yang sopan. Hehm…
Astaghfirullah,
aku tak boleh begini.
“Permisi,
aku buru-buru, ya, nanti aku bilang Niken, biar dia yang menjilid tugas
kelompok kita.”
“Its
Okey!”
Aku pun berlalu cepat.
Keraguan
membuat nyeri hatiku,
Entah
apa ini…
Kadang
terasa seperti serpihan kaca yang mengenai jantungku
Nyerinya
tak bisa kutahan….
Di
kelas Ulya duduk di sampingku. Kami diam tak bicara apapun, aku menatapnya yang
menunduk memainkan buku di tangannya. Sepertinya ia sedang tak tertarik untuk
membaca. Aku menunggunya saja barang kali ia mau bicara denganku, tapi ia diam
saja. Niken memasuki ruang
kelas ini dan duduk di barisan depan. Aku beranjak ke tempatnya.
“Ken, ini tugas paper terjemahan milikku
dan Diego, nanti kumpulkan semua dan dijilid. Minggu depan dikumpulkan di tempat Mr. Albert,”
ucapku.
“Siap
bos!” jawabnya sambil senyum, rambutnya yang lurus tergerai dengan dihiasi pita
warna pink yang manis. Wajahnya cantik dengan make up minimalis dan lipgloss
pink yang bertenger di bibirnya. Setelan rok panjang hitam dan kaos putih,
pullover pink, manis sekali, sepatunya hitam dengan garis putih dipadu kaos
kaki corak putih pink, she’s perfect I
think, but she’s not Moslem…
“Eh,
Dy, tunggu dulu Baby…, aku ingin
bicara sebentar.”
Aku
menunggunya sambil tersenyum dan berbalik menatap wajahnya yang kini sedikit
tampak serius.
“Kau mengerjakan tugas Diego
ya?”
“Tidak,
memangnya kenapa?”
“Gini,
kudengar Zie, sahabat karibnya itu sudah tak mau mengerjakan tugasnya, jadi
kupikir kamu yang mengerjakannya, ehm.. apa mungkin ia mengerjakan sendiri…?”
ujar Niken heran.
“Ya
barang kali saja dia memang mengerjakan sendiri.”
“Hehm,
kalau begitu berarti dia sudah mulai bersemangat untuk jadi manusia,” celoteh
Niken diiringi tawa kecilnya.
“Dasar, ada-ada saja kau ini,” timpalku
dan kembali ke kursiku.
History of England menjadi menu kuliah siang ini,
setelah itu kuliah pun usai. Kini Ulya menatapku dengan mata dinginnya.
“Aku
ingin bicara denganmu,”
Dan
mata kami saling bertatap.
“Tadi
siang ba’da Dzuhur aku melihatmu berbicara dengan Diego,” ungkapnya.
Oh, jadi ini yang membuat Ulya diam
denganku.
“Iya,
tadi dia bilang padaku tentang tugas kelompok kami,” jawabku mencairkan
suasana.
“Aku
tak masalah kau bicara dengan siapa dan tentang apa, aku hanya mengingatkan
saja, hati-hati dengan pandangan.”
Kata-katanya
tajam mengarah padaku, selanjutnya kami berjalan pulang ke kos.
Benar
kata Ulya, huh.. mungkin aku
terlalu memanjakan pandanganku. Hingga aku terseret arus….
Pandangan
itu anugerah,
Meski
seringnya menjadi busur panah setan….
Dan
ia menikamku, dengan rasa sakit yang tak kumengerti….
Adakah
aku kalah dan terperosok?
Atau
aku memang menjatuhkan diri ke jurang tanpa dasar itu….
Mana
kutahu,
Semua
begitu cepat, dan aku tak tahu sisi mana yang kulalui.
Sampai
di kos aku langsung bersiap, hari ini aku harus mengikuti liqoh di Masjid
Al-Muttaqin, aku dan Ulya berjalan barsama ke masjid itu. Sesampai di sana
sudah lengkap dan langsung dimulai saja, siraman rohani serasa memang penyejuk
hati dan fikir setelah benar-benar seharian dengan kesibukan duniawi.
Adzan
berkumandang sebagai tanda waktu Ashar sudah tiba, kami mengakhiri liqoh, dan
sholat berjamaah di masjid. Hawa sucinya benar-benar terasa. Masjid ini bukan
masjid terbesar, ya sederhana tapi manis, sejuk dipandang mata dengan warna
marmer hijau yang menjadi lantai serta kubah perak yang selalu tampak megah. Di
halaman masjid ada banyak pepohonan, benar-benar sejuk terasa apalagi ditambah
dengan sungai buatan yang bermuara di sebuah kolam kecil, di sana ada banyak
ikan yang tak berhenti bermain dengan air terjunnya.
Yang
datang tentu saja orang-orang sekitar, terutama pegawai rumah sakit ataupun
rekan dan keluarga pasien, sangat cocok untuk tempat bertafakkur dan memohon,
bertobat dan berdoa untuk kesembuhan pasien. Meskipun di rumah sakit ada
musholahnya tapi mereka lebih banyak yang ke sini. Subhanallah… masjid ini
seakan punya aura yang membuat kita betah berdoa di sini.
Aku
keluar dari masjid, duduk di pelataran masjid sambil menunggu Ulya yang sedang
mengembalikan buku di perpustakaan masjid. Mataku melihat sekeliling. Tiba-tiba
mata ini tertuju pada dua orang, seorang lelaki dan wanita berjalan keluar area
masjid ini. Tak salah, aku kenal lelaki itu, dia Diego. Dan wanita itu, aku tak
tahu. Dia masih muda meskipun tetap saja jika dibandingkan dengan Diego lebih
tua wanita itu, sepertinya wanita itu kakaknya, dia memakai celana panjang dan
baju lengan panjang yang nampak rapi, rambutnya lurus diikat dengan jepit
rambut warna cokelat sesuai dengan celana yang ia kenakan.
“Hei,
melamun….” tegur Ulya tiba-tiba.
Aku cuma tersenyum kecil dan selanjutnya kami pulang
ke kos.
Mata
ini seringnya tanpa sadar menemukannya,
Meski
aku tak mencarinya,
Huh,
entahlah….
Kampus,
Sepertinya
jalan hidupku berputar antara, kos masjid dan kampus kadang aku ingin berlalu
ke bar atau ke mana saja seperti saudaraku di Amerika, benar-benar berbeda
hidupku dengannya.
“Dyra, ehm kamu Dyra kan?!” tegur Zie
dengan pakaiannya yang aneh tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Iya,
kenapa? Belum hafal dengan kerudungku…?!” jawabku sambil berbalik menatapnya.
“Ehm,
maaf, orang berjilbab dari belakang kembar semua, kadang juga dari depan tampak
mirip-mirip, hehe… Oya, kita bisa mengobrol lagi kan?!”
“Sepulang
kuliah aku ke penerbit mengantarkan artikelku lalu aku harus nemenin temanku di masjid untuk mengajari
anak-anak yang belajar mengaji, ehm… kalau kamu mau mungkin kita bisa bareng
sekalian kalau kamu tak keberatan untuk menemaniku, ya soalnya aku sendirian,”
terangku lengkap.
“Beneran nih aku boleh ikut….?”
“Tentu
saja, kenapa tidak?!”
“Thanks
Dy…”
Benar
saja sepulang kuliah aku melihat Zie di depan kelas kuliahku, maklum kuliah
terakhir tadi kami tak bareng.
“Kita
jalan kaki Dy…?” tanyanya.
“Tidak
kita naik angkot saja,” kami naik angkot bersama.
Seperti
biasa aku tak perlu berlama-lama di resepsionis, cukup dengan menunjukkan kartu
anggota dari majalah itu dan menyerahkan artikelku kemudian tanda tangan,
setelah itu tinggal mengecek rekeningku sekitar dua atau tiga hari, jika akan
dimuat ya uangku nambah, jika tidak, usaha lagi dong… minggu kemarin aku juga
sudah dapat honor, ya lumayan bisa untuk membeli novel…
Zie
mengikutiku terus, dia seperti asistenku saja, hihi… jarang-jarang aku punya
asisten… sesekali dia bertanya apa aku tidak panas dengan pakaianku, eh tidak
sesekali tapi beberapa kali dia menanyakan begitu.
Ia
juga bertanya tentang berbagai hal, tentang wanita dan bagaimana seharusnya
seorang wanita itu. Ia juga bercerita dari kecil ia diperlakukan selayaknya
anak laki-laki.
“Aku
bahkan tak tahu caranya menjadi wanita,” ungkapnya sendu.
Semua
berawal sejak ia diadopsi oleh keluarga yang tak punya anak. Seorang wanita
datang ke panti tempat ia tinggal, dan mengajaknya untuk tinggal bersama. Dua
hari di rumah itu Zie sangat senang, ia mempunyai ibu yang sangat baik padanya,
tapi semua berubah saat suami ibu itu yang notabene ayah angkat Zie pulang dari
luar negeri. Dan menemukan Zie, ya dia tak terima karena adopsinya anak
perempuan, meskipun ibu ingin tetap mengadopsinya. Entahlah sejak itu Zie
selalu didandani sebagai laki-laki, jika ibunya memakaikan rok ibunya akan
dipukul, hehm… keji sekali memang sampai ibu angkat Zie meninggal dan Zie
langsung dijadikan seperti laki-laki, berandalan urakan sampai lesbian. Tragis
sekali kedengarannya. Aku sendiri tak bisa membayangkan, aku bersyukur nasibku
jauh lebih beruntung dari Zie meski sejak SMP aku juga tak tinggal dengan orang
tuaku.
Kami
sampai di masjid, Masjid Al-Muttaqin.
“Ehm,
Dy apa aku boleh masuk ke masjid?” tanyanya padaku.
“Lho,
kenapa tidak?”
“Ehm,
aku Khatolik.”
“Owh,
tidak apa-apa, masuk saja, kau tidak sedang berhalangan kan?!”
Zie
cuma tersenyum dengan pertanyaanku.
“Lagian
kita juga tidak masuk ke masjidnya, kita akan di tempat ngaji, TPQ-nya, ehm
kalau kau tak mau ke TPQ mungkin kau bisa ke perpustakaan, di sana ada banyak
buku tentang wanita, kau boleh kok membacanya,” terangku.
Zie
tersenyum senang atas ucapanku, dan aku mengantarnya ke perpustakaan masjid. Di
sana ada Kak Tari dan Zizah.
“Assalamu’alaikum……”
sapaku.
“Wa’alaikum
salam,” jawab mereka kompak.
“Eh
Dy, kau dengan siapa?” tanya Zizah, ia memang tak kenal Zie, maklum Zizah kan
mahasiswa Fakultas Pendidikan, jadi letaknya jauh dari Fakultas Sastra.
“Ini
Zie temanku, Zie kenalkan ini Zizah dan Kak Tari…” ungkapku.
Beberapa
akhwat di situ tercengang melihat aku membawa Zie, memang pakaian Zie yang
metal itu sangat mencolok di antara kami yang keseluruhannya berjilbab.
“Sementara
Zie akan di perpus dulu sambil menungguku mengaji di TPQ, ehm kak Tari mau kan
menemaninya…?” ujarku.
“Tentu
saja,” jawaban Kak Tari yang diiringi senyum yang membuat aku lega.
Aku
dan Zizah ke TPQ, kami di TPQ puteri dan di TPQ putera sepertinya ada ustadz
Fauzan calon suaminya Kak Tari, meskipun Ustadz Fauzan sudah bekerja tapi ia
selalu menyempatkan waktu untuk TPQ, kalau tidak salah dia bekerja di sebuah
Bank. Yang satunya Ustadz Zaki, ehm… ustadz Zaki itu, favoritnya anak-anak
pesma lho, hihi… wajahnya memang tampan dan dia juga sudah jadi dokter, dia
asli orang Aceh tapi tinggal di rumah Ustadz Hafez, katanya sih masih ada
hubungan saudara, meskipun Ustadz Zaki cukup istimewa tapi aku lebih suka Akhi
Yusuf yang sederhana, dia anak bungsu Ustadz Hafez. Dan kuliah Sastra Arab di
kampusku juga, kalau tidak salah dia semester tujuh sama denganku.
Astaghfirulloh,
kenapa aku jadi membanding-bandingkan mereka sih…
Dari
kejauhan tampak Kak Tari yang menerangkan sesuatu pada Zie, mungkin tata cara
berpakaian kali ya, biar Zie tak memakai baju anehnya lagi.
Adzan
Ashar memanggilku untuk segera ke masjid. Kak Tari tidak sholat jadi ia tetap
bersama Zie di perpus.
Setelah
itu kami pulang. Zizah ke kosnya dan aku berjalan dengan Zie, sedangkan Kak
Tari tetap menjaga perpus sampai nanti jam lima sore ia ditemani Ukhti Nisa, mereka berdua mahasiswa semester
akhir, Kak Tari di Psikologi dan Ukhti Nisa di Pendidikan, bahkan aku dengar
dia sudah mengajar di sebuah Sekolah Dasar tak jauh dari sini.
Belum
sempat keluar gerbang masjid tiba-tiba,
“Diego…”
seru Zie, aku kaget sekali mendengarnya.
Dan
Zie pun menarik lenganku ke arah Diego.
“Lu
ngapain di sini…” tanya Zie langsung.
“Harusnya
aku yang tanya lu ngapaen di sini…???” balasnya. Terang saja Diego heran, pastinya
Diego tahu Zie non-Islam.
“Aku
sama Dyra,”
“Oh…”
jawabannya pendek dan seperti tak mempedulikan aku di situ, ehm tidak ia sedang
mencoba menjaga pandangannya, ah mungkin pikirku saja.
Tapi heran juga kenapa cowok berandalan
ini di masjid.
“Eh Zie…” sapa seorang wanita ramah, dia
wanita yang kemarin kulihat. Kali ini pakaiannya juga tetap rapi. Hanya saja ia
memakai rok hitam panjang dan baju warna cream lengan panjang juga, rambutnya
tetap diikat dengan pita warna cream. Sepertinya ia punya koleksi banyak ikat
rambut di rumahnya.
“Tante,
ehm… ibunya Diego masih di rumah sakit?” tanya Zie seolah mereka sudah sangat
akrab.
“Iya,
ehm kamu tak mampir menjenguk ibu, dengan temanmu juga, siapa namanya?”
“Saya
Dyra, Tante…” jawabku canggung sambil menyalami wanita itu.
Akhirnya
kami pun mampir ke rumah sakit untuk menjenguk ibunya Diego yang sedang sakit.
Dari
obrolan kami, aku tahu kalau wanita itu Tantenya Diego yang bernama Ulli, dia
guru di sebuah Sekolah Dasar.
Diego tak banyak bicara, sampai
di kamar Ibunya pun Diego cuma diam.
“Siapa lagi Dik?” tanya ibu setengah baya
yang terbaring di tempat tidurnya.
“Ini
Zie dan temannya, namanya Dyra…”
“Oh….”
Aku
menyalami seorang Ibu, itu ibunya Diego, Rahma namanya, dan mata ibu Rahma
menatapku tajam.
“Nak….
Sepertinya ibu kenal denganmu…” kata ibu Rahma tiba-tiba.
“Ehm,”
aku tak tahu harus menjawab apa, entahlah kenapa aku sampai kehilangan
kata-kata begini, padahal tak biasanya aku begini.
“Melihat
wajahmu, aku jadi teringat seseorang, aku sepertinya mengenalimu Nak…” suaranya
lagi, sambil mengusapkan tangannya menyentuh kulit wajahku, aku jadi semakin tak
tahu harus bagaimana.
“Oh,
maaf Kak, jangan begitu, oh ya Dyra kau diajak Zie keluar…” kata Tante Ulli
padaku, aku tahu maksudnya supaya ibu Rahma tak menanyakan hal macam-macam
lagi.
“Go, temani ibu dulu ya, Tante
mau bicara sebentar,” Diego mengangguk dan Tante Ulli keluar menemui aku dan
Zie.
“Maafkan Kak Rahma ya, kadang dia memang
begitu.”
“Tidak
apa-apa Tante,” jawabku.
Kami
pun pamit dan pulang, sampai rumah aku kepikiran ibunya Diego terus, entahlah
kenapa aku seperti terikat sesuatu yang aku sendiri tak tahu.
Hari
Minggu aku tak ada kuliah, sengaja kuhabiskan waktuku di kos, kadang-kadang aku
pergi ke perpus masjid menemani Kak Tari tapi aku lebih senang di kos untuk
menyelesaikan artikelku.
“Dik, kau tak kemana-mana?” tanya Kak Tari
tiba-tiba.
“Eh,
iya Kak, Ulya pulang ke Aceh satu minggu ini jadi aku sendirian terus, kakak
sendiri belum ke perpus?”
“Tidak,
tadi Zizah sama Aliya sudah di sana, mereka bilang ini hari special untuk aku
libur, hah ada-ada saja mereka, mungkin nanti kalo kakak sudah pindah dan
menetap di Bandung mereka yang akan menggantikan kakak untuk menjaga perpus,
kakak jadi merasa lega Dik…”
“Ujian
kakak sudah selesai belum?”
“Tinggal
revisi skripsi, ugh… padahal tinggal nunggu disetujui aja, yang satu ini mbikin
pusing…”
“Sabar
kak, jika semua dijalani dengan ikhlas pasti menyenangkan kok… pasti kakak
sudah tak sabar ingin menikah ya jadi kepikiran pengen cepet-cepet lulus….”
“Ih
kamu, nte atuh Neng, ya kalo sudah lulus kuliah kan enak…”
“Oya
Dik, temanmu yang tomboy itu saha atuh Neng namanya?” lanjutnya, aku tahu yang
ia maksud adalah Zie.
“Dia ingin benar-benar jadi wanita Kak,
namanya Zie.
“Subhanallah, bagus Deh kalo gitu, dari
pada urakan…..”
Kak
Tari masuk ke kamarnya dan sepertinya ia juga akan asik dengan laptopnya untuk
mengerjakan entah apa.
Aku kembali fokus dengan artikelku. Tak
berapa lama,
Triiit….
Hand
phone ku berbunyi, ternyata telepon dari Zie,
“Halo,”
sapaku.
“Dyra
kamu ada waktu tidak? Temanku
minta diajari sholat….” Ucapnya.
“Subhanallah…
Benar Zie, untuk belajar aku pasti ada waktu.”
“Ehm,
nanti sore ya….?”
“Insya
Allah, eh temanmu itu siapa Zie?” tanyaku penasaran.
“Ada
deh, surprise nanti…”
“Wanita
kan?!”
“Bukan,
dia cowok….”
“Oh,
kalo gitu afwan ya Zie, aku gak bisa ehm, tapi aku punya teman yang bisa bantu,
nanti aku hubungi dia dan temenmu itu bisa bertemu dengannya, ehm, kalo
orangnya sudah kuberi tahu nanti aku sms kamu ya Zie,” terangku.
“Ya sudah kalo gitu, Thanks ya
Dy….”
Subhanallah,
siapa ya yang akan belajar sholat, hehm, orang yang ingin belajar supaya lebih
baik, benar-benar istimewa kupikir.
Aku
sebenarnya tak tahu hendak menghubungi siapa….
“Kak,
bisa bantu Dyra tidak?” pintaku pada Kak Tari.
“Insya
Allah, kalo kakak bisa Dik…”
“Ehm,
seorang laki-laki ingin belajar sholat, kira-kira pada siapa ya Kak yang
tepat…”
“Ikhwan
ya? Bilang pada Ustadz Hafez saja biar mengaji bersama ikhwan yang lain…. Nanti
kakak bilang pada Umi Sarah isterinya Ustadz Hafez, biar dia yang bilang
langsung pada Ustadz Hafez…”
“Ya
sudah kalau begitu, syukron ya kak….”
“Ana
bikhoir.” Jawabnya.
Setelah
itu, aku segera menghubungi Zie,
‘sudah
Zie, nanti yang ngurus Ustadz Hafez, rumahnya di belakang Masjid Al-Muttaqin
yang kemarin kamu kuajak ke sana, tau kan?! Ajak saja temanmu ke sana, nanti
insya Allah, aku menjemput kamu di gerbang, kamu ikut aku dan biarkan teman
cowokmu itu ke rumah Ustadz Hafez, oke Zie, Semangat ya….’
Pesan singkat itu kukirim ke nomor Zie.
‘Thanks
Girl’ balasannya.
Sore
hari, sekitar pukul tiga, aku ditemani Kak Tari ke Masjid, di gerbang ternyata
sudah ada Zie dan seorang lelaki, Masya Allah, lelaki itu adalah Diego…
“Sudah
dari tadi Zie, maaf ya kami membuat kalian menunggu lama….” Sapa Kak Tari.
“Tidak
kok, kami yang terlalu bersemangat ke sini…” jawab Zie.
Aku diam mendengar mereka bercakap-cakap. Sambil
diam kuketik sms untuk Akhi Yusuf,
‘
Ass… Akhi, ikhwan sudah di gerbang, tolong segera ke sini.’
Tak
berapa lama benar saja Akhi Yusuf datang,
“Oh,
Diego, ehm tidak usah canggung ayo ke rumah….” Pinta akhi Yusuf ramah, mereka
berdua pun berjalan beriring ke rumah akhi Yusuf.
“Ya sudah Dy, aku duluan,” ucap
Zie tiba-tiba.
“Lho
kamu tak ingin ke perpus dulu Zie?” tanya kak Tari.
“Tidak,
tuh saya sudah ditunggu Rafa, kami mau ke gereja bersama,” jawab Zie sambil
menunjuk ke arah Jazz silver tak jauh dari letak kami berdiri.
“O,
ya sudah, hati-hati ya Zie…” sapaku dan ia pun memasuki Jazz silver itu dan
berlalu di garangnya siang.
Aku berjalan dengan kak Tari ke perpus.
“Dik
apa kamu menyukai Yusuf?” tanya Kak Tari tiba-tiba.
“Eehm,
tidak, ya hanya sebatas kagum saja, memangnya kenapa Kak?” aku cukup kaget juga
mendengar kak Tari tanya begitu.
“Sepertinya
matamu mengatakan binar yang lain kali
ini, tapi kakak tak tahu rasamu yang sebenarnya karena apa, apa karena
melihat Yusuf atau lelaki yang mau belajar itu…”
“Tidak
Kak, aku hanya salut pada lelaki yang berniat belajar itu…”
Hehm,
aku bohong padahal dari tadi jantungku bergetar hebat saat masih ada Diego di
sini, Astaghfirulloh…. aku benar-benar
lemah dan tak bisa menjaga detak jantung ini.
“Ya,
barang kali kamu suka, juga gak apa kok…” jawab kak Tari seolah ia tahu aku
memang menaruh perasaan yang lain pada lelaki itu.
Kami
berdua berjalan ke perpus dan melalui hari dengan menyenangkan.
indah memang,
cahaya senja yang merona,
dan hidup pasti akan kian menawan…
Sore
hari, di pesma ramai, ternyata skripsi Kak Tari sudah disetujui dan dia bisa
ikut wisuda bulan depan, wah-wah senangnya. Dan itu berarti ia akan segera
menikah dengan Ustadz Fauzan. Aku berbeda dengan Kak Tari, jika lulus kuliah
nanti aku lebih ingin kerja dulu baru deh mikirin nikah, ya tiap orang kan
boleh berpendapat.
Aku
pun sudah selesai ujian tinggal menunggu yudisium, dan semester delapan, ya
nggak nyangka aja bisa cepat gini, moga-moga aja, maksimal aku lulus semester
sembilan, aku tak ingin berlama-lama menjadi mahasiswa, ingin cepat-cepat kerja
di kedutaan besar, ya kalau tidak diterima di luar negeri, di Jakarta juga tak
apa kok, yang penting mengabdi untuk negeri.
“Selamat
ya Kak….” Ucapku.
“Iya,
Alhamdulillah dan syukron ya untuk semua, anti semua ini sahabat dan adik yang
baik….” Jawabnya dengan senyumnya yang khas.
“Kapan
menikah Kak?!” tanyaku ngelantur…
“Kamu
atuh Dik, bisa-bisanya tanya gitu…”
Kami
pun tersenyum senang dan bangga.
Kak
Tari pun cerita ia akan menikah di Bandung, Insya Allah, bulan depan, setelah
wisuda. Waktu kami semua liburan semester jadi ia berpesan pada anak-anak pesma
dan rekan-rekan pengurus TPQ dan Perpus untuk tidak mudik dan bersama-sama ke
Bandung mengunjungi pernikahan Kak Tari.
Wah,
senangnya, jadi kita semua liburan ke Bandung nih… sudah tak sabar
menantikannya….
Inilah
keindahan,
Saat
Langit mengkhitbah Bulan….
Bintang
pun bertasbih melihat keindahannya
Dan
Bumi menatap oleh jutaan pesonanya,
Malam
pun menawan
Kak
Tari masih duduk di depan meja riasnya saat aku, Zizah, dan Farah memasuki
ruang kamarnya. Ia didandani oleh peñata rias, mengenakan gaun pengantin kebaya
warna putih dan kain songket batik cokelat, kerudungnya berrenda motif bunga,
yang tergerai panjang. Ia sangat cantik.
Sebentar
lagi ijab qabul setelah itu, pengantin wanita akan di panggil turun ke
pelaminan.
Setengah
jam kemudian, sayup-sayup terdengar doa,
berarti ijab qabul telah selesai, dan pengantin wanita akan diantar ke
pelaminan. Aku berjalan di belakang rombongan atau aku ikut dalam rombongan
itu, entahlah….
Sesampai
di tempat resepsi aku duduk di sebuah kursi, berjejer dengan teman yang lain,
di samping kananku ada Ulya, dan di kiriku ada Zizah, entah berurut siapa lagi
tak usah disebut satu per satu.
Rombongan
pengantin pria memasuki ruangan, dan entahlah mata ini tak kuasa menunduk
ketika aku melihat seseorang, ya seorang lelaki yang berjalan beriring dengan
Ustadz Zaki dan Yusuf, lebih tepatnya berjalan diantara mereka. Bukan, dia
bukan pengantin pria, dia lelaki pengiring sama seperti yang lain, memakai
kemeja biru muda yang sama dengan yang lainnya. Celana kain warna hitam, dan
peci hitam yang menutupi rambutnya yang sepertinya dipangkas pendek dan lebih
rapi. Jika kau melihatnya sekarang mungkin kau tak akan menyangka kalau lelaki
itu biasanya memakai jeans berlubang, kaos hitam, rambut harajuku stile, ah apa
lagi aku tak melihat anting-anting yang biasa dipakainya, ia berubah. Kau tahu
siapa dia, Diego.
Aku
kembali duduk, dan menahan pandangan, tak baik terlalu lama memandang.
“Subhanallah…”
lirih Zizah dan Ulya hampir bersamaan.
Aku menatap mereka bergantian dengan
bingung, mereka kenapa… jangan-jangan mereka juga melihat Diego…
“Kalian
kenapa?” tanyaku polos.
“Astaghfirulloh…
ampuni aku ya Allah, aku hanya mengagumi ciptaan-Mu….” Bisik Ulya sambil
menunduk.
“Ustadz
Zaki, Dy…” kini Zizah yang berbisik.
“Ustadz Zaki kenapa?” tanyaku tambah tak
paham.
“Subhanallauh…
Maha suci Allah yang menciptakan lelaki dan seluruh makhluk di alam semesta
ini,” bisik Ulya.
Aku menatap mereka lagi bergantian, ada-ada
saja mereka.
Langit
pun tersenyum oleh keindahannya, dan kami menikmati keindahan itu dengan
senyum.
Gerimis itu
memancarkan kesejukan di tiap sudut hati,
Ia berjatuhan
satu per satu
Gemericik oleh
senyum tiap malaikat-malaikat yang tak lelah bertasbih,
Gerimis itu
semakin besar,
Ada kalanya
menjadi hujan,
Tapi
Bagaimana jika
menjadi badai…?
Badai Kecil di Masjid Al-Muttaqin…
Sore
itu, kos pesma ramai oleh anak-anak pesma yang berkumpul di ruang TV, mereka
sadang asik menonton TV sambil makan lotis buah yang diracik sendiri, aku juga
ada di kumpulan itu, meski aku hanya memakan buahnya karena aku tak suka sambal
buatan mereka, hehm, apa lagi yang membuat Hana yang orang Padang, pasti
pedasnya bikin telingaku menguap.
“Assalamualaikum…”
aku tahu suara itu, itu suara Zizah, hehm… pasti dia tahu kami sedang lotisan
jadi langsung deh ke sini.
“Wa’alaikum salam….” Jawab kami kompak.
“Wah
wah, enak nih, mau dunks…..” tuh kan bener dugaanku apa lagi ya, akhwat yang
satu ini doyan banget sama sambal, hehm…
“Eh, Zizah dateng-dateng langsung…. Oya
kamu dari mana Neng?” tanya Farah langsung.
“Dari rumah Akhi Yusuf,”
“Hayo
kamu….. ngapain ke sana….” Ledek kami.
“Astaghfirulloh…..
jangan menuduh, tapi kalo benar tak apa, hihi…” ugh dasar Zizah, kalau mau
bercanda ya gitu deh ceria mulu.
“Dasar
kamu!”
“Oh
ya, tadi ada pesen dari Umi Sarah, katanya di pesma akan ada yang dilamar lagi
lho…, tapi aku tak tahu pesma berapa, kalau pesmaku kan yang mahasiswa tingkat
akhir Kak Annis, tapi dia sudah wisuda, dan katanya sih mau pulang kampung,
mingggu depan, ehm… berarti kemungkinan angkatan kita nih…, kalo angkatan kita
di pesmaku ada aku, ukhti Hani, sama Tara, cuma tiga orang, kalo di pesma
kalian kan hampir semua tingkat akhir ya…” ujar Zizah panjang lebar.
“Iya
sih, yang semester empat paling Alin sama Ummah, semester enam ada Lusi sama
Anin, yang lainnya kan semester delapan, termasuk aku, ehm… memangnya yang mau
melamar siapa?” tanya Farah.
“Ehm,
Ustadz Zaki….” Jawab Zizah dengan suaranya yang kecil.
“Masya Allah…” seru mereka kompak. Aku sih
biasa saja, kan memang Ustadz Zaki sudah dewasa jadi sah-sah saja kalau dia
ingin mengkhitbah wanita. Aku hanya tersenyum saja. Kira-kira siapa ya wanita
pilihan Ustadz Zaki….?
“Kau
tak bohong Zizah?!” ujar Hana meyakinkan lagi.
“Iya
benar, Umi Sarah yang bilang padaku soalnya pas aku di sana Ustadz Zaki
datang,” jawab Zizah dengan wajah yang serius.
“Menurutku
nih, yang beneran suka sama Ustadz Zaki mending ngomong saja dari pada nanti
sakit hati, ya kecuali kalo bisa ikhlas….” Suara Farah terdengar jelas sambil
menatap ke arah kami masing-masing.
Untuk
yang kesekian kali aku cuma tersenyum saja, ada-ada saja mereka...
Triit….
Ponselku
tiba-tiba berbunyi, aku beralih ke kamarku, ternyata Kak Tari.
“Assalamualaikum,”
sapanya.
“Waalaikum
salam, ada apa Kak?” jawabku balik beratnya.
“Dik,
aku mau tanya nih, ehm… kau suka Yusuf tidak?” ujarnya. Upst, apa-apaan Kak Tari kenapa tiba-tiba tanya
gitu….
“Kenapa
sih Kak, kok tanya gitu…?!”
“Ya,
untuk memastikan saja…” jawabnya santai.
“Insya Allah, saat ini tidak Kak…” jawabku
ringan.
“Oh, ya sudah kalau begitu, syukron ya,
met ngapain aja… Assalamualaikum…” sapanya sambil menutup telfon.
“Waalaikum
salam…”
Ponselku
kutaruh di mejaku saja, aku menatap ke cermin, suka? Hehm, aku ingin tersenyum sendiri jika ingat siapa
yang kusuka…
Pagi
ini, aku tersenyum senang, entahlah rasanya aku lega banget hari ini, aku pun
tak takut untuk ke kampus, tak takut dibayang-bayangi orang yang kusuka. Karena
cinta seperti cokelat manis….
Tapi,
something lose, aku kehilangan sesuatu, Diego, kemana dia hari ini tak nampak,
padahal ini kan hari pertama semester delapan, kenapa tak masuk kuliah sih… dan
satu lagi, rambutnya kan dipangkas pendek pasti akan tampak lebih rapi, tapi
kok dia tak ada sih…
Aku bingung mencarinya,
Ia sepeti Nala yang hilang di tengah keramaian
orang mencarinya,
Sambil berteriak,
“Nala ilang…!!!”
“Zie…
Diego kemana?” tanyaku pada
Zie. Saat kami bertemu di
koridor kampus.
“Gak tau tuh, dia ngilang gitu aja….”
Jawabnya cuek.
“Kamu
nggak tanya ke rumahnya?” tanyaku, entah kenapa aku sekhawatir ini ya…
“Katanya sih sakit, tapi aku gak percaya
orang kayak dia bisa sakit…. Rencananya sih aku mau ke sana, kamu mau ikut Dy?”
“Oh,
kamu mau ke sana ya, ehm… ya sudah, aku tidak ikut, aku tak berani ke rumah
cowok. Eh, kalo sudah tahu keadaannya kabari aku ya….” Pintaku.
Kami
pun berpisah, aku kembali dengan sobat-sobatku, kami berjalan bersama ke tempat
kos kami.
Sesampai
di kos, ternyata sudah ada yang menungguku, Umi Sarah dan Zizah, aku heran
kenapa mereka menungguku ya….
“Dy,
Umi mau bicara denganmu…” ucap Zizah dan ia masuk ke kos, meninggalkan aku dan
Umi Sarah di ruang tamu.
“Nduk,
kamu sudah punya calon suami belum?” tanya Umi langsung.
“Kenapa
tiba-tiba tanya begitu Umi? Dyra sudah punya calon suami, tapi yang tahu Allah,
Dyra belum dikasih tahu,” jawabku sambil bercanda.
“Nduk, nduk…. Kamu tuh ya….” Umi tersenyum manis sekali padahal ia
sudah berusia empat puluh tahun, tapi tetap manis saja.
“Lha
maksud Umi apa, kok tiba-tiba tanya gitu, Dyra kan bingung mau jawab apa.
“Maksud
Umi, apa sudah ada yang meminangmu, atau sudah ada yang bilang pada orang
tuamu…?”
“Belum
Umi, memangnya kenapa, lagian Dyra juga belum ada niatan menikah di waktu dekat
ini…” jawabku, jantungku mulai berdetak hebat kali itu, entah aku tiba-tiba
takut pada sesuatu, entah perasaan apa ini…
“Begini
Nduk, ada lelaki insya Allah, dia shaleh, sudah bekerja dan baik hati, ia ingin
menjadikanmu isterinya, bagaimana Nduk…?” ujar Umi Sarah.
Aku
diam terpaku mendengarnya, ada yang meminangku, ya Allah, apa ini…. Kenapa
tiba-tiba begini, aku belum siap sungguh Ya Allah, aku belum siap….
“Tapi
Umi, Dyra belum berpikir untuk menikah di waktu dekat ini, Dyra pengin
nyelesein kuliah, terus Dyra pengin kerja dulu…”
“Lelaki
itu tak memaksamu secepat ini Nduk, dia mau menunggu sampai kamu siap, bahkan
jika telah menikah kau ingin tetap bekerja Insya Allah, dia akan mengizinkan….”
Subhanallah,
bijaksana sekali lelaki itu, pikirku….
“Kalo
Dyra boleh tahu, siapa dia Umi…?” tanyaku gugup.
“Tentu
saja kau boleh tahu Nduk, dia Nak Zaki, Umar Zaki Abdillah. Kau kenal dia
kan?!” ucap Umi pelan.
Ya
Allah…..
Aku
terdiam tak bisa bicara, tanpa sadar air mataku jatuh satu per satu, aku
benar-benar tak habis pikir, ada lelaki seistimewa dia yang memintaku menjadi
isterinya. Aku tak percaya, tapi inilah kenyataannya…
Ya
Allah…..
Kali
itu aku tak tahu aku harus bagaimana, bahagia atau sedih, aku bingung
menempatkan perasaanku, aku bingung sungguh aku bingung….
Baru
kali ini ada orang yang menanyakan kesiapanku menjadi isterinya, dan orang itu
adalah orang yang mendekati sempurna, lihat saja dia shaleh, dia Ustadz, sudah
bekerja, dia mandiri, berwibawa, bahkan ia sungguh bijaksana untuk tidak
memaksakan aku…
“Nduk…
kamu kenapa kok malah nangis…? Hush…. Cup,cup… jangan nangis Nduk, Umi jadi
bingung kalo kamu gini…. Umi gak ingin maksa kamu, kamu berhak menerima atau menolaknya,
Umi cuma menyampaikan amanat dari Nak Zaki saja….”
“I…Iya
Umi, eh…. Tidak apa-apa, mungkin Dyra cuma terharu saja… tapi maaf Umi, Dyra
tak bisa menjawabnya….”
“Ndak
apa Nduk…. Nanti Umi sampaikan pada Nak Zaki, dan orang tuamu juga harus dikasih
tahu….”
“Iya
Umi, terima kasih ya…”
Setelah
itu, Umi Sarah pamit pulang dan aku mengantarnya dengan senyum sampai gerbang
kos setelah itu aku masuk kamarku dan menangis di kamar, Ulya juga heran
melihatku tiba-tiba menangis, awalnya dia tanya tapi ketika aku tak menjawabnya
ia tahu aku memang begitu, kalau nanti aku sudah tenang aku juga pasti akan
cerita, ia pasti berpikir begitu, yang jelas aku masih kalut tak karuan….
Oh Bumi….
Inikah kenyataan….
Aku sampai tak tahu,
Takut menolak sesuatu yang begitu indah,
Begitu pula takut menerima yang indah itu…
Lalu apa
yang kucari…
Aku seperti enggan memikirkannya,
Aku ingin pulang ke rumah….
Aku takut di sini…
Akhirnya
ponsel juga yang kutuju,
“Assalamualaikum
ibu….” Ucapku sambil tak tahan menahan air mata…
“Kenapa Nduk?” suaranya kudengar sangat
lembut di telingaku.
“Dyra
sayang Ibu….” Entah kenapa tiba-tiba aku bicara begitu, tapi cuma itu kata yang
aku punya…
“Nduk…
kamu kenapa tho???” Ibu sepertinya panik mendengar aku menangis.
“Dyra
tak apa, Dyra hanya kangen sama Ibu dan Bapak….” Ungkapku,
“Tenang
sayang Insya Allah minggu depan Ibu sama Bapak pulang, tapi ke Surakarta dulu,
nanti baru ke Jakarta, atau kau mau dijemput supir dan pulang ke Surakarta
saja…”
“Dyra
tak mau dijemput supir, Bapak sama Ibu ke Jakarta saja nanti kalo Dyra pengin,
Dyra ikut Ibu sama Bapak…”
“Lho.lho…
kenapa ini anak Ibu, kok jadi manja gini sih…., ya sudah ya, ni ibu masih di
kampus, nanti minggu depan ya ibu pulang….”
“Iya
Bu, terima kasih, salam ya Bu buat Bapak…”
“Iya
sayang, assalamualaikum….”
“Waalaikum
salam….” Aku menutup telponku dan tertidur di kamarku.
Rasa
lelah terbayar oleh istirahatku semalaman, aku belum bisa tenang, Ya Allah,
kenapa aku ragu begini, antara menerima dan tidak. Aku belum cerita pada siapa
pun, aku cuma merasakannya saja, ngilu dan perih fikiran ini, di ponselku ada
pesan tapi aku masih enggan membacanya entahlah dari siapa, beberapa kali juga
ada yang menelfonku tapi aku masih malas. Astaghfirulloh… aku tak boleh
begini….tapi aku benar-benar merasa lemah…
Pagi,
terasa seperti kilau sinar emas yang rupawan, seperti biasa aku pun berjalan
dengan kawanku ke kampus, sebenarnya
hari ini aku masih malas melakukan apapun, tapi aku harus bangkit, dilamar
orang kan anugerah bukan musibah, heran deh kenapa aku nelangsa begini….
“Dy, kau semalam kenapa?” tanya Ulya
padaku saat kami berjalan melewati perumahan ke kampus.
“Aku….
Ehm, ada yang meminangku,” jawabku sambil menunduk.
“Subhanallah… benar Dy? Siapa?” tanyanya
langsung.
“Tapi
aku ragu,” jawabku tak jauh beda dengan ekspresi pada jawaban pertama.
“Ragu?
Memangnya siapa yang meminangmu, kok kamu sampai ragu gitu?” tanyanya serius.
“Ustadz
Zaki.”
“Masya
Allah….” Ia hanya berucap begitu sambil menutup mulutnya, ia terkejut.
Aku
diam dengan tetap menunduk, aku tak tahu bagaimana perasaan Ulya yang
sebenarnya pada Ustadz Zaki, tapi kenyataannya memang Ustadz Zaki yang
melamarku.
Kami
sampai juga di kampus, hari ini ada jadwal kuliah dengan Diego. Sebentar lagi
pasti dia memasuki ruangan ini.
Benar
saja, Diego dan Zie, gadis tomboy yang pakaiannya semakin feminism bahkan hari
ini dia memakai blouse yang sangat cantik, hehm… sudah berubah dia.
Zie
tersenyum padaku dan memilih tempat duduk di sampingku, tak biasanya dia
meninggalkan Diego yang tetap memilih tampat duduk di belakang.
“Pagi
Dyra…” sapanya.
“Pagi,
Zie kau tampak cantik memakai blouse…” ucapku.
“Ah, kau memang pintar memuji
ya..” jawabnya tetap dengan senyum dan wajah yang memerah, ya jika wanita
dipuji memang begitu, aku juga.
“Oya
Dy, nanti aku mau tanya sesuatu denganmu, tapi nanti… habis kuliah saja,”
ujarnya.
“Tanya
apa sih, mbikin penasaran saja…”
Kami
terdiam saat dosen IC memasuki ruang kelas ini, dan kuliah pun dimulai.
Setelah
kuliah, aku tetap di kursi menunggu Zie yang katanya ingin tanya sesuatu, Zie
sendiri sedang asik mencatat materi kuliah tadi di laptopnya.
“Dy, aku ke tempat Hana ya…” ujar
Ulya sambil berlalu ke luar kelas.
Mataku
yang mengantarnya sampai pintu kelas. Entah kenapa sejak tadi pagi ada yang
lain di mata Ulya, apa mungkin gara-gara dia tahu aku dilamar Ustadz Zakki, apa
mungkin Ulya menyukai Ustadz Zaki….
“Hei,
sori ya lama… tanggung sih…” tegur Zie mengagetkan lamunanku.
“Iya tak apa, memangnya kau mau tanya
apa?”
“Ehm,
tapi kamu jangan marah ya…” pitanya dengan wajah memelas.
“Insya Allah, memangnya tanya apa sih, kok
serius banget kayaknya.”
“Iya
Dy, memang serius, menyangkut kelangsugan hidup seseorang.”
“Ih,
kamu, jangan begitu ah ngomongnya….”
“Hehe…
tapi kurang lebihnya gitu.”
“Iya
tapi tanya apa?”
“Ehm,
apa ada lelaki yang meinangmu?” tanyanya langsung, deg…. Masya Allah, aku kaget
benget Zie tanya begitu, dia tau dari siapa, nggak mungkin dia tahu begitu
saja, aku kan cuma cerita dengan Ulya itu pun baru tadi pagi, nggak mungkin kan
Ulya langsung cerita pada Zie, lagian Ulya juga tak akrab dengan Zie.
“Tapi, kau tahu dari siapa…?” tanyaku
canggung.
“Ehm,
kau jangan marah dengan orangnya ya, dia tak bilang siapa yang meminangmu, dia
cuma bilang sudah ada yang meminangmu, dan aku Cuma memastikan saja benar atau
tidak….”
“Iya
Zie, siapa?”
“Diego
yang bilang padaku,” suaranya lirih dan aku terdiam mendengar nama itu disebut,
jadi Diego tahu kalau ada yang meminangku, entah apa yang terbesit di otakku,
pikiranku kacau tiba-tiba, Ya Allah… kenapa aku merasa sangat menyesal jika
Diego tahu Ustadz Zaki yang meminangku….
“Tapi kau jangan benci pada
Diego ya Dy….” Lanjut Zie. “Karena ia akan lebih jatuh lagi jika kau
membencinya, karena….” Zie
tak melanjutkan kata-katanya. Ia menunduk dan tak berani bicara.
“Hehm…
jangan berwajah ketakutan begitu, aku tak marah kok…” kini aku sudah bisa
mengontrol emosiku. Sudah lumayan tenang sampai aku juga bisa tersenyum.
“Sungguh
Dy, kau tak marah?”
Aku
mengangguk sambil senyum,
“Jawabannya
benar, ada yang meminangku tapi aku belum menjawabnya, aku masih ragu…. Entah
seperti ada perasaan yang enggan menerimanya, seperti ada yang bilang dia bukan
jodohmu…. Kau tercipta bukan dari tulang rusuknya, pikirkan lagi… padahal kau
tahu Zie, yang meminangku orang baik-baik dan tak ada alasan menolaknya,
entahlah aku juga bingung dengan perasaanku, mungkin juga karena perasaanku
pada orang lain,” tak tahu kenapa aku jadi cerita isi fikirku padanya.
“Kau menyukai orang lain?” tanya Zie
serius.
“Iya,
tapi sudahlah, harusnya aku tak memikirkannya, lagian aku juga bukan tipe
wanita harapannya mungkin….” Jawabku lugas.
“Memangnya
seperti apa lelaki yang kau suka, pasti dia juga mengharapkan wanita seperti
kamu yang jadi isterinya, meskipun lelaki itu separah Diego.”
Aku
menatap Zie dengan mata yang penuh harapan, meski akhirnya aku tersenyum dan
menatap ke arah yang lain, dan di arah yang lain itu mataku malah menemukan
orang lain itu, Diego.
Jantungku
bergetar tiba-tiba, Astaghfirulloh…. Kutundukkan pandanganku, sambil terus
beristighfar.
Ya
Allah, ampuni hambamu yang lemah ini….
“Dy….”
Suara Zie memecah keheningan fikirku.
“Eh,
iya….” Jawabku gugup aku masih terfikir kata-kata Zie yang tadi, “Memangnya seperti apa lelaki yang kau suka,
pasti dia juga mengharapkan wanita seperti kamu yang jadi isterinya, meskipun
lelaki itu separah Diego.”
“Dy,
kau melamun lagi…. Ehm, kalau begitu maaf ya, aku dah tega bertanya begitu sama
kamu…” ungkap Zie menyesal.
“Eh,
gak pa pa… aku cuma kepikiran sesuatu aja…”
jawabku mencoba menenangkan fikir yang entah berlabuh kemana.
“Ya
sudah, ehm, kita pulang saja yuk, kau masih ada kuliah tidak, sekalian aku
mengantarmu pulang….” Pintanya, ia seperti merasa bersalah padaku.
“Iya
ini juga aku mau pulang,” jawabku singkat.
“Bareng ya?! Ku antar,” pintanya.
“Jalan
bareng kan?!”
“Aku
bawa mobil Dy…”
“Kalau
begitu tak usah, aku jalan kaki saja, kosku kan deket….”
“Ehm,
gini aja, mobilku biar Diego yang bawa, aku jalan sama kamu…” ujarnya ia
seperti ingin sekali menemaniku pulang, entahlah padahal ia tak salah apa-apa,
aku hanya teringat perasaanku saja.
“Sebentar ya…” Lanjut Zie seraya
berlari menemui Diego, bicara beberapa kata dan Zie sudah kembali bersamaku.
“Yuk
jalan, mobilku dah kutitipkan sama Diego, ntar dia njemput aku di depan kosmu,
gak papa kan?!” ungkapnya.
Aku
cuma mengangguk sambil senyum. Dan kami pun berjalan bersama ke pesma.
Kami
bercakap beberapa hal, aku mending lega dan sedikit lupa kalau aku sedang
dilanda kebimbangan. Beberapa hal aku tahu, Zie bilang Diego kangen sama
minuman alkoholnya, dan Zie juga bilang dia minum bir lagi karena kesal dan
ngerasa kehilangan semangat dari seseorang. Hehm… tu kan, Diego dah punya
seseorang yang memberinya semangat jadi, selama ini aku memang cuma merasakan sendiri,
dan tak ada jawaban dari harapan yang kugantungkan, memang sih… aku tak seperti
wanita yang biasanya jalan sama dia.
Tak
berapa lama Zie di kos ku, jazz blue wonder memasuki pekarangan kos pesma. Itu
Diego,
Maaf, anda siapa kenapa tidak izin dulu dengan saya untuk menuliskan karya saya di blog anda?
BalasHapus